Oleh: Maya Dewi
BEBERAPA bulan lagi di negara kita akan digelar pesta demokrasi, ajang pemilihan para wakil rakyat yang akan duduk di parlemen. Yang dilanjutkan dengan pemilihan presiden sebagai pemimpin negara secara langsung. Di sanalah nasib jutaan rakyat Indonesia dipertaruhkan, apakah akan ada lebih baik, stagnan, atau malah semakin terpuruk?
Memilih seorang pemimpin bukan perkara mudah, tak sekedar masuk bilik, mencontreng lalu pulang. Tak bisa hanya dilihat sepintas wajahnya, atau membaca sekilas profilnya, lantas begitu saja masyarakat memilih. Namun harus benar-benar dipikirkan dengan hati yang lurus dan pemikiran yang jernih. Butuh pendalaman visi dan misi dari para calon pemimpin yang berlaga.
Namun sayang, bagai mencari jarum di tumpukan jerami, seakan suatu khayalan menemukan pemimpin sejati saat ini. Hingga kini para calon pemimpin, bahkan yang telah duduk di kursi kepemimpinan hanyalah mengandalkan pencitraan belaka. Bahkan sebagian sekedar jual tampang dan popularitas. Banyak juga yang di awal kampanye getol menentang korupsi, ternyata malah tersandung kasus korupsi uang rakyat.
Tak cuma melanggar janji untuk tidak korupsi, para pemimpin dan calon pemimpin ini juga tak mencerminkan sosok yang bermoral. Maraknya perselingkuhan dan perzinahan, ditambah banyaknya kasus narkotiba dan obat terlarang (Narkoba) yang melibatkan pejabat.
Fakta terbaru tentang rusaknya moral pemimpin saat ini adalah, bagaimana seorang Bupati Mojokerto membanggakan kebiasaannya menenggak minuman keras dan Bupati Kendal yang menyematkan gelar pahlawan bagi PSK.
Gambaran Pemimpin Dambaan
Berbicara tentang pemimpin dambaan, tentu ingatan kita langsung melayang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Beliau adalah pemimpin yang benar-benar mengurusi rakyatnya, bahkan menjelang ajal yang dikhawatirkan adalah nasib ummatnya. Bukan hanya mampu memimpin, Rasulullah juga mampu mengkader para sahabat menjadi sosok yang mumpuni dalam mengurus rakyat dalam Negara Kekhilafahan sepeninggal Rasulullah.
Para khalifah dalam masa kekhilafahan Islam juga banyak yang menjadi sosok pemimpin ideal. Sebut saja para Khulafaur Rasyidin dan Umar bin Abdul Aziz. Bahkan seorang Sultan Abdul Hamid II yang memerintah di masa-masa kemunduran Kekhilafahan juga dapat kita banggakan ketegasan sikapnya melindungi wilayah kaum muslimin dari rongrongan Yahudi, meski akhirnya harus dimakzulkan oleh para penghianat dengan cara keji.
Membentuk sosok pemimpin tangguh yang peduli dan bermoral tidak dapat dilakukan dengan cara instan. Ada pengaruh kuat dari sistem hidup yang menaunginya. Ibarat singa yang ganas hanya datang dari hutan rimba, bukan kebun binatang.
Sistem kapitalisme dan demokrasi yang digunakan saat ini memandang politik sebagai cara untuk meraih kekuasaan, maka tak heran kalau pemimpin yang dihasilkan hanyalah memikirkan kekuasaan semata. Yang ada di benaknya bagaimana meraih kekuasaan dan mempertahankannya, walau harus sikut sana-sini, tanpa pertimbangan halal-haram.
Berbeda dengan sistem Islam. Sistem hidup yang dibangun berdasarkan aqidah Islam, dengan halal-haram sebagai standar perbuatan. Islam memandang politik (as-siyasah) adalah ‘kepengurusan urusan ummat dengan syari’at Islam, baik dalam dan luar negeri’. Sehingga fokus pembahasannya adalah bagaimana mengurus rakyat dengan baik sesuai syari’at. Dengan demikian pemimpin yang akan dihasilkan adalah pemimpin yang takut pada Tuhannya sehingga benar-benar berjuang untuk kemaslahatan rakyat, bukan demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Kepemimpinan dalam Islam ditujukan untuk menerapkan syari’at Islam secara menyeluruh, ada ancaman jika seorang pemimpin enggan menerapkan aturan Alloh. Sebagaimana hadist berikut :
Dari Jabir ra, dari Abu Thalhah ra dan dari Ibnu Abbas ra, bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda: “ada tiga golongan manusia pada hari kiamat nanti yang tidak akan diajak biara, tidak dilihat dan tidak diampuni dosa mereka oleh Allah, bahkan mereka abadi selamanya didalam neraka dengan siksaan yang pedih.” (Nabi mengulangi sabdanya sampai 3x). Ibnu Abbas berkata; “siapakah mereka?” Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda: “yaitu para ulama yang mencari dunia dengan menjual agamanya, Para penguasa yang memberlakukan undang-undang yang mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyatnya dan para penyebar fitnah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Amanah kepemimpinan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Alloh. Begitu beratnya tanggungjawab pemimpin, sampai-sampai Khalifah Umar Bin Khaththab pernah berkata :
“Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad niscaya Umar akan diminta pertanggungjawabannya (oleh Allah), seraya ditanya: Mengapa tidak meratakan jalan untuknya?”
Dengan bentukan sistem Islam yang bersandar pada aqidah Islam, maka akan banyak bermunculan sosok pemimpin yang sejati. Pilihan ada di tangan kita, tetap mempertahankan sistem demokrasi kapitalisme dengan resiko berulangnya krisis kepemimpinan, atau membuangnya dan mengganti dengan sistem Islam yang mampu membentuk generasi berjiwa pemimpin?*
Penulis praktisi pendidikan