Oleh: Imam Nawawi
SAAT banjir tiba dan menghebohkan seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana watak bangsa Indonesia, sebagian besar masyarakat langsung turun membantu, bertindak nyata meringankan beban mereka yang terdampak musibah banjir. Alhamdulillah.
Tetapi kita dipaksa untuk tidak heran. Sebab dalam situasi yang menuntut perbuatan nyata dan empati itu ternyata ada sekelompok orang yang ketika musibah banjir tiba, jangankan peduli, membantu saja tidak, apalagi berbuat nyata sama sekali tidak. Akan tetapi lisannya yang diekspresikan melalui jemarinya di media sosial terus memproduksi kalimat-kalimat yang tidak terpuji. Tak perlu dikutip dalam tulisan ini karena memang amat tidak patut untuk bisa dikonsumsi oleh kita semua.
Pertanyaannya adalah fenomena apa ini? Sejak kapan Indonesia memiliki manusia-manusia yang justru jauh dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri, lebih-lebih agama.
Namun pada saat yang sama seakan-akan tanpa harus disaring, narasi mereka yang negatif itu begitu mudah naik turun ke panggung-panggung publik, entah melalui media massa lebih-lebih media sosial. Hebatnya lagi aspek hukum sama sekali tidak ada artinya bagi mereka yang benar-benar sulit ditakar keberadaannya berdasarkan dasar negara, norma, apalagi agama itu.
Waspada
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa dalam kehidupan akan senantiasa ada manusia yang pekerjaannya hanyalah nyinyir. Kalau bicara seakan-akan paling menguasai persoalan, semua ucapannya dilabeli sendiri dengan istilah open minded. Sementara pihak yang dianggapnya berseberangan diberi stigma yang amat buruk. Kebenaran adalah milik mereka meski tanpa dasar ajaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Opini terbaik adalah yang bersumber dari mereka sekalipun tanpa argumentasi dan sistem penjelas yang memadai. Aneh memang, tapi ini nyata.
Situasi ini mesti dilihat secara cerdas, kita tidak boleh terperangkap, apalagi masuk dalam jebakan mereka. Sebab jika kita layani, maka kita akan kehilangan waktu, pikiran, dan tenaga yang kalau difokuskan pada kebaikan dapat menjadi gelombang besar yang mendorong berfungsinya generator perubahan ke depan.
Oleh karena itu menarik apa yang menjadi sikap dari Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan. Saat akun-akun yang tidak jelas identitasnya atau sebagian yang sudah dikenal memang seperti itu pekerjaan utamanya menyerang habis, menyalahkan, dan meremehkan kinerjanya selama ini, sang gubernur tak pernah melayani juga ogah meladeni. Ia lebih memilih turun ke jalan menemui masyarakat, menemukan inti masalah kemudian mengerahkan seluruh kekuatan Pemprov DKI Jakarta untuk mengatasi masalah ini.
Jika dipantau melalui akun Instagramnya, seperti kondisi Kampung Pulo kala pertama kali terdampak banjir pada Rabu (01/01/2020) dan didatangi sang gubernur pada pukul 20.00 WIB. Keesokan harinya, tepat pukul 15.00 WIB kondisi jalan di Kampung Pulo sudah relatif bersih dan dapat dilalui kendaraan. Bukankah ini kinerja yang luar biasa. Bayangkan kalau sang gubernur meladeni tudingan-tudingan manusia yang tak mampu bernalar dengan benar itu?
Sikap sang gubernur ini patut menjadi inspirasi bagi segenap bangsa Indonesia. Bahwa jangan habis waktu kita untuk meladeni ucapan yang tidak bermutu, pikiran yang primitif (suka menjelek-jelekkan orang tanpa bisa melihat secara objektif) dan cara-cara buruk di dalam berkomunikasi di ruang publik.
Sebab pada dasarnya, semua tudingan itu memang tidak seharusnya dibalas dengan kalimat penyangkal. Cukup secuil data dan fakta, dengan sendirinya narasi mereka runtuh seperti es yang terkena sinar mentari, mencair dengan sendirinya. Jadi, ke depan, terhadap apa pun yang mereka ucapkan, solusinya satu, hadirkan data dan fakta.
Penyebab Banjir
Mengapa ada sebagian barisan yang tergopoh-gopoh menyerang Anies tidak lain karena mereka sadar bahwa memang bukan Anies penyebab utamanya. Sekarang mari perhatikan fakta yang terjadi.
Banjir terjadi tidak saja di wilayah DKI Jakarta, tetapi sampai ke Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang, Banten, bahkan Bandung Barat. Pertanyaannya kenapa Anies yang disalahkan? Apakah Anies seorang gubernur dari semua wilayah terkena banjir itu?
Kemudian negeri ini pernah dijejali isu tidak perlu lagi adanya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Kira-kira kenapa pikiran seperti ini hadir? Siapa yang memiliki dan ingin pikiran seperti ini diterapkan?
Sama-sama kita ketahui bahwa semua itu muncul nyaris beriringan dengan kebutuhan pelaksanaan proyek kereta api cepat, pembangunan jalan tol dan seabreg kebijakan infrastruktur rezim pemerintahan nasional yang berdampak pada masifnya banjir di mana-mana. Dengan kata lain, tidak memadai sekaligus tidak berdasar jika banjir ini diarahkan sebagai buah kebijakan dan kinerja Anies Baswedan.
Terlebih fakta membuktikan, sebelum banjir besar pada Rabu (01/01/2020), siang menjelang sore bahkan hingga malam pada Selasa (31/12/2019) beberapa ruas tol mengalami banjir, terparah adalah Tol Cipali yang banyak orang berkomentar, āInikah tol laut itu?ā
Permainan Remeh
Orang-orang yang memiliki pikiran tidak baik dan terus berusaha melakukan ketidakbaikan pastilah juga memiliki rencana-rencana. Akan tetapi karena memang pada dasarnya akal manusia ini Allah ciptakan untuk mengerti kebenaran dan sangat memadai untuk menjelaskan kebenaran, maka setiap rencana ketidakbaikan itu pasti akan mengganggu kemampuan bernalar akal yang sehat.
Ketika seseorang berbohong, dia sadar dirinya berbohong. Hatinya mengakui dirinya salah. Maka dalam kondisi seseorang secara internal dirinya mengalami itu semua, tidak mungkin ia memiliki kepercayaan diri apalagi sistem penjelas yang bisa diterima akal sehat oleh banyak orang dalam hal ini logika publik.
Tidak heran kalau para penguasa yang korup dalam sejarah dituturkan biasa sangat bernafsu menghilangkan jejak, bahkan mengenyahkan manusia-manusia yang dinilai paham dan dianggap membahayakan rencananya. Artinya apa, jika kebohongan dan ketidakbaikan yang dilakukan tidak segera disadari, maka ia tidak sekadar akan memproduksi narasi palsu, tetapi juga akan menghilangkan nyawa banyak manusia.
Semua ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa langkah-langkah mereka yang sekarang seperti dalam euforia itu sejatinya dijalankan dengan tergopoh-gopoh, seperti orang mabuk, akal dan lisannya tidak sinkron. Itu terjadi bukan karena banyak orang menuruti apa yang mereka lakukan. Tapi fitrah manusia yang juga ada di dalam diri mereka sendiri menyadari bahwa yang apa yang mereka lakukan itu adalah tidak benar. Dan, akal manusia menolak ketidakbenaran.
Karena seperti itu kondisinya sebenarnya apa yang mereka mereka lakukan adalah hal yang sangat remeh. Mimpi mereka mungkin hebat tetapi dengan perilaku seperti itu mimpi itu betul-betul hanya sekadar mimpi. Ibarat orang yang sedang melakukan perjalanan jauh, ia tidak menggunakan kendaraan yang tepat, juga tidak melalui jalur yang seharusnya. Jadi bagaimana mungkin dia akan bertemu dengan kebahagiaan.
Artinya, buat apa kita ladeni mereka yang suka dengan permainan remeh seperti itu, apalagi harus dengan tenaga dan pikiran. Cukup hadirkan bukti, fakta dan data, mereka akan seperti kecoa yang terkena paparan zat antipathogenic yang dengan sendirinya akan lari terbirit-birit dan mati bersama kebencian dan kebohongan yang diproduksinya selama ini.*
Penulis Aktivis Pemuda