Oleh: Chusnatul Jannah
DEPARTEMEN Luar Negeri Amerika Serikat (AS) telah menyetujui total penjualan senjata potensial senilai 1 miliar dolar AS ke Arab Saudi. Hal itu merupakan realisasi perjanjian penjualan peralatan pertahanan yang disepakati AS dan Saudi tahun lalu.
Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan, yang bekerja di bawah Pentagon, mengatakan, Saudi telah setuju untuk membeli 6.600 rudal TOW 2B dari AS. Nilai pembelian rudal tersebut diperkirakan mencapai 670 juta dolar AS.(Republika.co.id, 23/03/2018).
Penjualan senjata AS kepada Arab Saudi untuk merealisasikan hubungan diplomatik yang sudah terjalin cukup baik. Nampaknya hubungan AS dan Arab Saudi semakin menunjukkan kemesraan sejak Donald Trump menjadi presiden AS.
“Arab Saudi adalah negara yang sangat kaya, dan mereka akan membagikan kekayaannya ke Amerika Serikat yang saya harapkan dalam bentuk lapangan pekerjaan, pembelian peralatan militer terbaik di dunia,” kata Trump, seperti dilansir dari CNBC International.
Arab Saudi memang menjadi langganan tetap sebagai pembeli senjata militer dari AS, sekutunya. Kebijakan ini beralasan sebab Arab Saudi membutuhkan pasokan senjata lebih banyak dalam mempertahankan kepemimpinannnya di kawasan negara-negara teluk. Terlebih, konflik Yaman yang melibatkan Arab Saudi dan Iran menjadi alasan tersendiri bagi Arab Saudi untuk memperlengkap persenjataan militer di negaranya.
Mengapa Arab Saudi getol membeli senjata dari AS?
Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui alasan Arab Saudi membeli senjata dari AS. Pertama, AS adalah sekutu utama Arab Saudi di timur tengah. Keterpengaruhan Arab Saudi di kawasan teluk tentu menjadi ‘berkah’ tersendiri bagi AS dalam melakukan pengontrolan kekuasaaanya di kawasan teluk. Kedua, permusuhan ‘abadi’ Arab Saudi dengan Iran menjadi alasan kuat bahwa mereka membutuhkan persenjataan canggih dalam menyokong pertahanan negaranya dari Iran. Sudah menjadi pandangan umum bahwa kedua negara tersebut saling berebut kekuasaaan dan dominasinya atas kawasan teluk. Persoalan sekte agama Sunni-Syi’ah juga menjadi pemicu perseteruan keduanya. Ketiga, sebagai negara yang loyal terhadap kebijakan AS, Arab Saudi pun berkomitmen dalam memberantas terorisme dan kelompok ekstremis lainnya di dunia umumnya, timur tengah khususnya. Maka pembelian senjata militer ini menjadi sesuatu yang pasti dilakukan.
Siapa yang untung?
Kawasan timur tengah merupakan kawasan yang strategis karena kawasan ini merupakan jalur pertemuan dari tiga benua Asia, Eropa dan Afrika. Dalam perkembangan politik luar negerinya Amerika Serikat sebagai negara adidaya secara terang-terangan telah terlibat dalam gejolak politik dan keamanan di kawasan timur tengah. Bisnis senjata juga menjadi roda perekonomian negara tersebut.
‘Konflik Timur Tengah’ menjadi keuntungan yang menggiurkan bagi AS dalam menjual produk senjatanya ke negara-negara yang membutuhkan asupan senjata di Timur Tengah. Contohnya Arab Saudi. Konflik di Yaman menjadi pasar menjanjikan bagi AS untuk terus menjual senjatanya ke Arab Saudi.
Senator Partai Demokrat Chris Murphy sangat menentang dukungan Amerika atas kampanye pengeboman Arab Saudi di Yaman, ia mengatakan kepada televisi CNN, “Ada keterlibatan Amerika dalam tiap kematian warga sipil di Yaman. Mengapa? Karena pemerintah Saudi tidak akan bisa menggunakan pesawat tempur dan menjatuhkan bom tanpa bantuan Amerika. Mereka menggunakan senjata buatan Amerika yang kita jual kepada pemerintah Saudi. Dinas intelijen kita membantu pihak Saudi untuk memilih sasaran untuk diserang.”. Hal ini menjadi persoalan dilematis bagi AS, di satu sisi mereka tidak terlalu punya kepentingan di Yaman, di sisi lain, jika mereka memutus keterlibatannya di Yaman, akan menurunkan bisnis pensenjataan yang mereka jual melalui Arab Saudi sebagai negara yang terlibat langsung di konflik Yaman.
Permusuhan antar negara arab di timur tengah sejatinya mempengaruhi roda politik dan ekonomi negara besar seperti AS dan Rusia. Isu perpecahan Sunni – Syi’ah ini terus akan dimunculkan selama negara Barat yang dikomandoi AS juga negara timur yang diinisiasi Rusia terus berebut kekuasaan di kawasan Timur Tengah. Perpecahan negeri-negeri Muslim dengan menjadi pendukung salah satu kekuatan dua negara besar tersebut tentu menguntungkan bagi kepentingan politik ekonomi AS dan Rusia.
Negeri-negeri Muslim terus disibukkan dengan perpecahan dan perebutan kekuasaan di timur tengah, padahal sesungguhnya yang memetik keuntungan dari konflik di kawasan ini sejatinya adalah negara-negara kafir semacam AS dan Rusia. Timur tengah adalah ladang bisnis bagi negara Barat. Ancam terbesar imperialisme mereka adalah Islam. Tidakkah kita memahami bahwa ketakutan yang paling mengkhawatirkan bagi barat adalah persatuan kaum Muslim di dunia.
Maka, konflik Timur Tengah ini akan terus ‘dipelihara’ agar bibit kebangkitan Islam dipusatnya mampu diredam.*
Lingkar Studi Perempuan Peradaban – LSPP