Sejak Komite Nobel Norwegia, 8 Oktober lalu, mengumumkan Liu Xiaobo dari China terpilih sebagai penerima Nobel Perdamaian tahun ini, hubungan kedua negara berubah suam-suam kuku. Menurut laporan koran Norwegia, Nordlys, Menteri Perikanan Norwegia Lisbeth Berg-Hansen telah dua kali gagal bertemu partnernya dari China tanpa alasan jelas.
Apa yang terjadi mudah ditebak. Begitu nama Xiaobo disebut, juru bicara Departemen Luar Negeri China Ma Zhaoxu menyatakan keputusan itu akan merusak hubungan China – Norwegia, selain mencemarkan integritas Nobel Perdamaian itu sendiri.
Di mata pemerintah China, Xiaobo, 54 tahun, adalah kriminal yang sedang menjalani hukuman penjara di Jinzhou, terpaut 350 km dari ibukota Beijing. Pada Desember lalu, pengadilan memvonisnya 11 tahun penjara karena turut merancang dan menyebarkan Petisi 08 (Charter 08) yang menuntut pemerintah China menjamin kebebasan hak-hak sipil, kebebasan sistem peradilan, serta melakukan reformasi politik. Substansi tuntutan itu akan mengakhiri monopoli kekuasaan Partai Komunis China.
Menurut The New York Times, 8 Oktober 2010, petisi itu terinspirasi sejumlah dokumen, antara lain, konstitusi Amerika Serikat (The American Declaration of Independence) dan Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warganegara Prancis (The French Declaration of the Rights of Man and of the Citizen). Bagi Liu Xiaobo, tulis koran berpengaruh Amerika Serikat itu, Petisi 08 adalah wujud kulminasi dari pencariannya selama ini yang akan mendorong reformasi politik di China.
Tapi Pemerintah yang sedang berkuasa bukan rezim yang gagal. Sejak pemimpin reformasi China, Deng Xiaoping, mengkonsolidasikan kekuasaan di tahun 1978, lalu mencanangkan reformasi dan keterbukaan (reform and opening), ekonomi China seperti disulap: tumbuh di atas 10% (double digits) setiap tahun. Itulah tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia.
Kini setelah 32 tahun ekonomi China – dengan penduduk 1,3 milyar — telah menyalib Jepang untuk menjadi kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat. China adalah negara eksportir terbesar menggantikan Jerman. Dalam tiga dasawarsa ini China mengangkat 400 juta penduduknya keluar dari garis kemiskinan, sesuatu yang belum ada presedennya – dan mestinya layak dapat Nobel.
Ambruknya ekonomi Amerika Serikat diikuti menurunnya pengaruh global negara super-power itu, stagnannya ekonomi Jepang selama lebih satu dasawarsa ini, serta krisis ekonomi yang melanda Eropa, menyebabkan kepercayaan diri para pemimpin China meningkat. Mereka kian yakin kebebasan berbicara (freedom of speech), sistem pemilihan dengan multipartai (multiparty elections) dan hak-hak konstitusional – oleh para aktivis HAM disebut nilai universal – adalah asli dari Barat dan lebih cocok dipakai Barat.
Kolumnis masalah internasional, David Ignatius, belum lama ini mengunjungi China dan menulis dengan bagus di The Washington Post, 21 Oktober lalu, bahwa rakyat China bukanlah seperti yang diasumsikan sementara orang Amerika: karena bertambah kaya membutuhkan lebih banyak kebebasan dan demokrasi.
Pengganti Michael Jackson
Yang terjadi di sana, menurut Ignatius, orang-orang memang menyenangi apa yang mereka peroleh sekarang dan khawatir kalau semua itu hilang. Karena itu mereka membutuhkan stabilitas meski pun untuk itu mereka harus kehilangan “kebebasan” dan “keterbukaan”.
Ketika Ignatius datang ke Beijing, baru saja sebuah peristiwa politik penting terjadi: sebuah perhelatan secara rahasia nampaknya telah menetapkan Xi Jinping sebagai calon pengganti Presiden Hu Jintao. Di mata Ignatius tentu itu peristiwa yang teramat penting.
Anehnya di mana saja pertemuan yang dia hadiri soal itu sama sekali tak menjadi topik pembicaraan. Di Tsinghua University, Yin Wang, seorang mahasiswa berkata kepadanya, ‘’Anak muda tak peduli siapa pengganti Hu Jintao, mereka peduli siapa pengganti Michael Jackson.’’
Karena itulah penahanan Liu Xiaobo – atau belakangan hadiah Nobelnya – bukanlah isu yang hangat dibicarakan masyarakat. Media massa lokal yang diawasi pemerintah memboikot beritanya. Cerita itu ada di CNN dengan pemirsa terbatas di kalangan orang kaya atau penduduk asing.
Apa yang terjadi tampaknya sulit dipahami orang luar, termasuk Komite Nobel Norwegia. Kalau dibaca tulisan Thorbjorn Jagland, Ketua Komite Nobel Norwegia, di The New York Times, 22 Oktober 2010, sangat jelas dia tak mengerti – atau tak mau mengerti — apa yang terjadi di China seperti yang dideskripsikan David Ignatius.
Jagland, politisi Partai Buruh Norwegia yang kini menjadi Sekjen Dewan Eropa (Council of Europe), menyatakan pemerintah China – termasuk Pengadilan China – harus mematuhi nilai-nilai internasional tentang HAM, demokrasi, dan kebebasan. ‘’Hukum internasional tentang hak asasi manusia dan standarnya berada di atas negara bangsa dan masyarakat dunia punya tugas untuk memastikan semua itu dihormati,’’ tulis mantan Perdana Menteri Norwegia itu.
Dengan ini bisa dibaca betapa berbahaya pemikiran Jagland. Ia sebetulnya mirip Presiden Amerika Serikat George Bush (dan tokoh-tokoh neo-konservatif pendukungnya) yang ingin menyebarkan nilai-nilai demokrasi ke seluruh Timur Tengah. Hasilnya seperti sudah sama diketahui adalah terbunuhnya sekitar 1 juta penduduk Iraq, sebagai korban langsung atau pun tak langsung dari Perang Iraq untuk mendemokrasikan negeri itu. Belum terhitung korban di Afghanistan, juga untuk menyebarkan HAM, kebebasan, dan demokrasi.
Untungnya China bukan Iraq atau Afghanistan, negeri kecil yang dengan gampang bisa dikeroyok Amerika dan konco-konconya. Sebagai negara berpenduduk terbesar di dunia, kemajuan ekonomi selama tiga dasawarsa ini disertai dengan pembangunan kekuatan militernya. Selain itu China adalah salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang tentu tak bisa diperlakukan seenaknya seperti Iraq.
Memang betul belakangan di China sendiri terdengar suara sementara tokoh seniornya mengeritik sensor yang ketat pada media massa, termasuk internet. Perdana Menteri Wen Jiabao pun sudah sering bicara terbuka tentang demokrasi dan kebebasan. Tapi suara skeptis mengatakan itu biasa dalam dunia politik China, dan sesungguhnya hanya dimaksudkan untuk perbaikan keputusan partai dalam menjadikan birokrasi lebih transparan di negeri itu.
Maka Ketua Parlemen (the National People’s Congress) Wu Bangguo mengenyampingkan segala kemungkinan untuk membawa negerinya ke arah demokrasi Barat. ‘’Kami tak akan pernah menjiplak sistem negara Barat atau memperkenalkan sistem multipartai dalam rotasi kepemimpinan,’’ katanya.
Justru itulah yang diperjuangkan Liu Xiaobo selama ini. Akibatnya selain diberhentikan sebagai pengajar universitas ia sudah 4 kali keluar-masuk penjara, termasuk karena mogok makan dalam demonstrasi paling berdarah di Lapangan Tiananmen, Beijing, Juni 1989.
Maka di mata Pemerintah China Nobel untuk Xiaobo amat jelas adalah upaya memaksakan sistem dan nilai Barat kepada mereka – sebagaimana lebih jelas dalam tulisan Thorbjorn Jagland tadi. Selama ini memang pemberian Nobel Perdamaian dicurigai bias kepentingan negara maju (Barat). Untuk negara berkembang penghargaan seringkali diberikan kepada pembangkang semacam Xiaobo.
Israel Kekasih Barat
Uskup Carlos Ximenes Belo, bisa dijadikan contoh. Ia memperoleh Nobel Perdamaian pada 1996, tentu karena perlawanannya terhadap Jakarta yang pada waktu itu menguasai Timor Timur. Sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik di sana, ia berperan besar dalam kemerdekaan provinsi Indonesia itu. Tapi apakah Uskup Belo konsisten dengan nilai-nilai kebebasan dan demokrasi yang dibawa hadiah Nobel? Ternyata kemudian ia memerintahkan jajarannya mengusir Antonio Sampaio, wartawan kantor berita Portugal, Lusa, di Timor Leste. Sungguh itu tak pantas dilakukan seorang pemenang Nobel. Apalagi alasan pengusiran – terjadi ketika kemerdekaan Timor Leste baru 1 bulan — karena wartawan itu menulis berita menyerang Belo. Tindakan mencederai demokrasi dan kebebasan ini menimbulkan kehebohan dan menyebabkan Belo terpojok.
Lebih parah kasus Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Henry Kissinger. Bersama tokoh Vietnam Utara Le Duc Tho, Kissinger dapat Nobel pada 1973 karena Perdamaian Paris yang mereka prakarsai. Le Duc Tho menolak dengan alasan perdamaian belum terwujud. Kissinger menerima.
Kenyataannya baru 2 tahun kemudian tentara Amerika Serikat ditarik dari Vietnam. Itu pun bukan karena Perjanjian Paris, melainkan tak mampu lagi menghadapi gempuran tentara Vietnam Utara. Tapi bukan hanya itu yang menyebabkan Kissinger tak layak dapat Nobel. Tangan orang ini berdarah bagaimana mungkin dia memegang Nobel Perdamaian?
Adalah Kissinger yang bertanggung jawab atas pengeboman Laos dan Cambodia dengan korban rakyat sipil tak sedikit. Ia pula yang mendukung kudeta berdarah Jenderal Augusto Pinochet terhadap Presiden Terpilih Salvador Allende di Chili pada 1973.
Bahkan sebelum menyerang Timor Timur pada 1975, Presiden Soeharto terlebih dulu berunding dengan Presiden Gerald Ford dan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger. Waktu itu, Ford dan Kissinger ada di Jakarta.
Nobel Perdamaian untuk Presiden Amerika Serikat Theodore Roosevelt pada 1906 juga penuh kontroversi. Memang benar waktu itu Roosevelt berjasa memimpin negosiasi yang mengakhiri perang Rusia – Jepang. Tapi jangan lupa Roosevelt adalah seorang ‘’jantan’’ yang gemar berperang (belligerent).
Begitu terjadi sengketa di Terusan Panama ia kirim armada laut untuk bertempur. Ia disebut-sebut sebagai orang yang mendorong petualangan militer Jepang di Asia dengan menyuruh negeri Sakura itu menduduki Korea. Sebagai penggemar perang ia terlibat langsung dalam pertempuran di Kuba.
Anda tahu Mahatma Gandhi? Dialah simbol perdamaian dan tokoh anti-kekerasan dari India. Meski pernah dinominasikan Gandhi tak pernah dapat Nobel. Alasannya ada saja. Yang pasti: di tengah kegigihan Gandhi memperjuangkan kemerdekaan India, hadiah Nobel untuknya akan mempermalukan pemerintah kolonialisme Inggris. Itulah alasan sebenarnya kenapa Komite Nobel Norwegia tak pernah memberikan Nobel untuk Gandhi.
Hal mirip bisa terjadi dalam kasus Profesor Sari Nusseibeh, Rektor Universitas Al-Quds di Jerusalem. Kecintaannya pada perdamaian sudah terbukti dengan aktivitasnya selama ini sebagai tokoh anti-kekerasan. Ia tiada henti mengusahakan tercapainya perdamaian Palestina – Israel. Tapi Nobel bagi warga Palestina ini akan memojokkan Israel, kekasih Barat.
Nobel pun tak pernah diberikan kepada Ken Saro Wiwa, pengarang, produser TV, dan pejuang HAM dan lingkungan hidup paling gigih dan berani di Delta Niger, kawasan kaya minyak Nigeria. Padahal siapa meragukan komitmen dan aktivitas tokoh ini?
Tapi itulah, Nobel bagi Saro Wiwa sama dengan membongkar belang perusahaan raksasa minyak Belanda, Shell, dalam pengrusakan lingkungan yang amat ekstrim untuk mengeksploitasi Delta Niger. Guna mengamankan bisnis minyak, pengadilan militer menghukum mati dan menggantung Saro Wiwa pada 1995, dengan tuduhan dibuat-buat.
Maka bekas Wakil Presiden Jusuf Kalla jangan pernah berharap mendapat Nobel dari keberhasilannya mewujudkan perdamaian di Aceh, Ambon, atau Poso. Nobel itu disediakan untuk Xiaobo-Xiaobo dari Papua, Maluku, Aceh, Bali, atau mana saja. [Amran/hidayatullah.com]*) Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta