Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Menggabungkan Jokowi-Prabowo versi Muhammad Qodari dengan jalan mengajukan Jokowi maju lagi untuk tiga periode, dan tentu akan dilakukan amandenen pada Pasal 7 UUD 45. Itu sebuah wacana tidak sekadarnya. Soal nantinya diterima atau tidak, itu soal lain.
Dengan dipertemukan dua orang itu, Jokowi-Prabowo, menurutnya tidak akan ada lagi polarisasi antardua kubu. Antara kubu cebong dan kampret/kadrun. Pendapatnya itu banyak disanggah dan bahkan dimentahkan. Bukankah saat ini Prabowo Subianto ada dalam kabinet Jokowi, namun polarisasi masih tetap ada, dan justru berkembang.
Ray Rangkuti dari Lingkar Madani, menyanggah dengan pendapatnya yang bertolak belakang dengan yang diajukan Qodari. Katanya, kalau menghindari adanya polarisasi, kenapa tidak Jokowi maupun Prabowo yang ditinggalkan saja. Lebih kurang demikian pendapatnya. Bukan malah dipertahankan, dan cost nya lebih murah karena tidak perlu pakai “buka-tutup” amandemen UUD 45 segala.
Qodari dan relawan jokpro memang buat sensasi, coba-coba menawarkan sesuatu yang absurd. Tawaran yang belum tentu disetujui, baik kubu Jokowi apalagi Prabowo Subianto, yang memang sudah kebelet jadi Presiden RI sejak 2014.
Spekulasi Qodari, yang bisa dikatakan sebagai penggagas atau bahkan inisiator “coba-coba” Jokowi tiga periode, itu tentu tidak berdiri sendiri. Qodari bicara tidak di ruang hampa. Seperti asal bicara, tidak demikian.
Semua sudah diperhitungkan, dan ada nilainya. (Lihat, Wacana Qodari, Itu Pastilah Tidak Berdiri Sendiri, Senin/21 Juni). Maka coba-coba ala Qodari itu bisa disebut sebagai plan A, dan akan muncul plan B, C dan seterusnya. Ini kerja sistemik yang tidak bisa hanya dipandang sebelah mata.
Polarisasi “seolah-olah”, atau “seolah-seolah” polarisasi yang dirisaukan seorang Qodari dan relawan jokpro, itu cuma isapan jempol, itu seolah ikhtiar mulianya agar polarisasi tamat, dan kita utuh lagi sebagai bangsa setidaknya sebelum Jokowi berkuasa.
Polarisasi yang Dipelihara
Polarisasi itu memang diadakan, atau setidaknya diadakan untuk tujuan tertentu. Siapa inisiatornya, pastilah sulit untuk mengurainya. Tapi pada saatnya jika itu akan diurai, maka akan terurai dengan sendirinya. Dan itu perkara mudah.
Karenanya, apa yang diinisiatori Qodari dengan argumen menghilangkan polarisasi, itu pastilah tidak akan menghilangkan polarisasi yang memang kehadirannya dihadirkan. Memelihara relawan dan munculnya buzzer yang semacam ternak, itu tanda bagaimana polarisasi memang diadakan untuk tujuan-tujuan tertentu. Itu realita yang ada.
Jika benar tujuan mulia hendak ditegakkan Qodari, maka ia seharusnya tidak melihat polarisasi hanya diujungnya untuk diakhiri, tapi melihatnya mula awal munculnya polarisasi itu. Mustahil ia tidak faham, tapi lebih pada tidak sudi melihat itu sebagai persoalan utama. Maka memilih Jokowi tiga periode jadi pilihannya.
Plan A sudah dimainkan, apakah akan berhenti di tengah jalan sebagai keriuhan semata, atau akan terus menggelinding. Tidak ada yang tahu. Jika berhenti, maka plan B akan muncul. Bisa jadi perpanjangan jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang sayup-sayup didengungkan, itu akan diperpanjang tiga tahun. Dengan bonus anggota DPR-RI pun akan diperpanjang juga menjadi tiga tahun. Dan lagi-lagi, itu akan “membongkar” pintu amandemen UUD 45.
Plan B, itu dimunculkan dengan argumen bahwa kerja Presiden dan Wakil Presiden tidak efektif selama masa pandemi, atau apapun alasan bisa dibuat untuk meloloskan rencana itu. Semua berpulang pada kesiapan rakyat untuk menerima atau menolak gagasan-gagasan absurd yang dihadirkan semata untuk melanggengkan kekuasaan. Jika plan B pun tertolak, maka plan C akan dimainkan.
Maka mengamandemen Pasal-pasal dalam UUD 45 untuk melanggengkan kekuasaan, itu bisa dilakukan rezim yang berkuasa kapan saja. UUD 45 tidak lagi jadi azimat sakral yang sulit dirubah sekenanya, tapi justru sebaliknya bisa dirubah semau kekuasaan menghendakinya. Rumus Qodari tentang polarisasi seolah-olah, mampu mengajarkan itu semua. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya
Baca: artikel lain Ady Amar