Oleh: Derajat Fitra
TIDAK terasa sudah sampai di penghujung tahun lagi. Hari demi hari,demikian juga minggu, bulan, dan tahun kita lalui baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Lembaran-lembaran hidup yang setiap tahun kita tutup, kemudian kita buka kembali dengan lembaran selanjutnya. Lembaran-lembaran itu menjadi sejarah kita dan kelak akan dihadirkan lagi kepada kita untuk dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT pada hari pembalasan nanti.
Sebelum melangkah lebih jauh melanjutkan perjalanan hidup, alangkah lebih baik bila kita merenungi bagaimana keadaan kita dan ibadah kita saat ini ? Kapan terakhir kali kepala kita tunduk dihadapan Allah SWT sebagai tanda kefakiran diri dan pemulyaan kepada-Nya ? Adakah rasa malu di hadapan sang Pencipta, yang telah memberi akal dan kemampuan, sedangkan kita terlena dalam kehidupan; makan dan bersenang-senang sebagaimana binatang ? Periksalah diri kembali jangan-jangan kita lali dari berpikir tentang tempat kembali nanti, sehingga ketika datang kematian dengan tiba-tiba, kita berada dalam tempat yang asing dengan tanpa adanya persiapan.
Ketika kita melihat diri kita lalai dalam ibadah dan lupa akan kematian, maka periksalah, barangkali cara pandang materialisme telah mendominasi kesadaran kita. Arus materialisme adalah tantangan yang tanpa disadari dapat semakin menggiring pada surutnya ruh ketuhanan sampai batas maksimal, sehingga membutakan hati dari cahaya kebenaran dan membuat kita tenggelam dalam kubangan rayuan setan dan nafsu duniawi yang sementara. Untuk mencegah cara pandang yang menceraikan agama atau wahyu Tuhan mendominasi pikiran kita,maka perlulah bagi kita sebagai kaum muslimin untuk kembali merenungkan dan memahami bagaimana cara pandang dalam Islam untuk memperoleh kesadaran akan kebenaran.
Baca: Akhir Tahun, Prioritaskan Muhasabah dan Peningkatan Iman
Cara Pandang Islam
Muhammad Imarah menjelaskan, bahwamaterialismeadalah aliran yang hanya mengakui indera sebagai media atau alat untuk mendapatkan pengetahuan dan kesadaran. Segala sesuatu yang tidak dapat dipersepsi oleh indera menurut aliran ini dianggap tidak ada. Apa yang tidak dapat dijangkau oleh nalar, karena nalar adalah potensi yang ditopang oleh indera, bagi mereka mustahil menjadi objek ilmu pengetahuan.
Pandangan aliran materialis ini terkait dengan cara pandang terhadap pengetahuan dan kesadaran, dengan kelemahannya yang membatasi objek pengetahuan hanya pada apa yang mungkin dicerap oleh indera, dalam kenyataannya memang berhasil dalam mengungkap pengetahuan mengenai objek dalam dunia nyata. Namun, pada sisi lainnya ia tidak mampu dan tidak mengakui apa yang yang tidak dapat dipersepsi oleh nalar dan alat-alat indera.
Padahal dalam Islam, segala ilmu pengetahuan dan kesadaran datangnya dari Allah SWT. Menjelaskan hal ini al-Attas menegaskan bahwa oleh karena segala pengetahuan itu datangnya dari Allah SWT dan ia ditafsirkan oleh jiwa dengan perantaraan daya dan indera kerohanian dan jasmaninya, maka ini dengan sendirinya bermaksud bahwa pengetahuan itu apabila merujuk kepada Allah SWT selaku sumbernya, adalah “ketibaan ma’na sesuatu perkara atau sesuatu objek pengetahuan dalam diri” (husul ma’nal-shay’ fi’l-nafs) dan apabila merujuk kepada jiwa selaku penafsirnya, pengetahuan itu adalah “kesampaian jiwa pada ma’na sesuatu perkara atau suatu objek pengetahuan” (wusul al-nafs ila ma’nal-shay). (Syed Muhammad Naquib Al Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin…. hlm 48-58)
Dalam epistemologi Islam, bukan saja hakikat kebenaran yang diakui tetapi juga kemampuan manusia untuk memperolehnya juga turut diakui. Digariskan bahwa tiga saluran utama manusia untuk memperoleh ilmu adalah pancaindera yang baik, akal sehat, dan khabar yang benar. Kitab suci Al-Quran sebagai sumber utama epistemologi Islam menyatakan dengan istilah-istilah yang tanpa keraguan bahwa seluruh alam semesta dengan apa yang ada padanya adalah sebuah ‘Buku’ yang agung, dan terbuka untuk dimengerti dan ditafsirkan. Kitab suci al-Quran juga mengatakan bahwa manusia yang memiliki kecerdasan, pengertian, kefahaman, ketajaman dan ilmu akan mengetahui makna dari ‘Buku’ itu. Gambaran Kitab Suci al-Quran mengenai alam tabii dan manusia-baik yang terjelma di luar maupun yang tersembunyi di dalamnya-sebagai ayat (kata-kata, kalimat-kalimat, tanda-tanda, lambang-lambang) akan memberikan pengetahuan dan menerangkan dengan sendirinya secara jelas kepada manusia tentang Tuhan yang Maha Menciptakan. (Wan Sguhaimi Wan Abdullah, Beberapa Wajah dan Faham Dasar Tasawuf Menurut al-Attas…. hlm 222-224)
Meraih Kesadaran Melalui Ketundukan
Istilah ‘Tuhan’ menunjuk pada Tuhan, yang Ada tertinggi, yang kita junjung dan kita jadikan pusat kehidupan. Jika Tuhan telah mati, seperti yang diucapkan Nietzsche, maka tak pelak lagi manusia akan mencari ‘pegangan’ dalam bentuk lain; sains, ideologi, kepercayaan, bahkan atheisme. Iya, manusia adalah makhluk pemuja, bila Tuhan pujaannya mati, jika menurutnya tidak ada ‘pegangan’ lain yang cukup mantap, boleh jadi ia mengimani ketiadaan Tuhan dengan sepenuh hati. “Tuhan tidak ada”, demikian credo imannya. Jika ada orang membantahnya, ia akan mati-matian mempertahankan kepercayaannya tersebut. Manusia butuh ‘sesuatu’ di luar dirinya untuk dijadikan sebagai ‘pegangan’. Manusia yang kehilangan pegangan adalah manusia yang limbung, resah, terperosok dalam kekosongan. (A. Setyo Wibowo, Para Pembunuh Tuhan… hlm 7-9). Sungguh menyedihkan.
Fitzgerald Sitorus dalam papernya, Nietzsche, Heidegger, dan Kritik atas Metafisika Barat, mengungkapkan bahwa dari perspektif Heidegger, kehadiran nihilisme Nietzsche adalah konsekuensi dari idealisme Plato. Pemosisian nilai ideal sebagai tujuan dan paradigma tunggal memungkinkan terciptanya ketidakpercayaan manusia pada dirinya sebagai penangkap makna realita. Ketidakpercayaan ini dimulai ketika keanekaragaman dinamika kehidupan dunia ini ternyata tidak dapat ditundukkan di bawah nilai tunggal ideal menurut ukuran manusia. (Fitzgerald k. Sitorus, Nietzsche, Heidegger, dan Kritik atas Metafisika Barat… hlm 41-48)
Berdasarkan hal ini, maka baik aliran spiritualis murni ataupun materialis murni yang telah menceraikan wahyu Tuhan dari metode berpikir mereka, ketika mereka menyadari bahwa akal manusia ternyata tidak akan mampu menundukan ‘realita’ Tuhan dan kehidupan, sangat berpotensi terjerembab pada lubang nihilisme juga.
Menanggapi hal ini, perlu dipahami bahwa dalam Islam, dengan segala kemampuan yang dimiliki dan keterbatasan yang ada padanya, setiap manusia yang berakal sehat sesungguhnya dapat mengetahui dan mengenal hakikat realita. (Syamsuddin Arif, Prinsip-prinsip Epistemologi Islam: Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Editor Adian Husaini… hlm 111-113)
Hakikat atau esensi segala sesuatu itu wujud dan tetap– yang berubah-ubah itu hanya sifat-sifat atau a’radh –nya saja – sehingga dapat diketahui dengan jelas, sehingga manusia dapat membedakan ayam dengan burung, roti dengan batu, akar dengan ular dan lain sebagainya. (Syamsuddin Arif, Prinsip-prinsip Epistemologi Islam: Modul Kuliah PKU XI… hlm 1-2). Jadi tidak seperti yang dialami oleh kaum nihilis dan sejenisnya hingga akhir zaman.
Berkenaan dengan hal ini, Syed Muhammad Naquib Al Attas menjelaskan, bahwa dalam Islam, ‘akal yang sehat’ tidak hanya dibatasi oleh unsur-unsur inderawi semata, atau oleh aspek mental yang secara logis mensistematisasi dan menafsirkan fakta-fakta pengalaman inderawi saja. Sebagaimana halnya tidak membatasi akal pada unsur-unsur inderawi, Islam juga tidak membatasi spiritualitas atau intuisi hanya pada kemampuan terbatas manusia tanpa perantara, melainkan teguhtanpa keraguanmenjadikan wahyu sebagai penuntun untuk mencapai ilmu dan kesadaran. Kesadaran intuisi atau hati yang terdalam tidak datang pada sembarang orang, tetapi datang pada orang yang telah menjalani hidupnya dalam kebenaran agama melalui ketundukan hati dalam pengabdian kepada Tuhan dan dalam menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi sesuai dengan ketentuan-ketentuan-Nya. (Syed Muhammad Naquib Al Attas, Islam dan Filsafat Sains… hlm 34-38)
Baca: Muhasabah Awal Tahun
Penutup
Untuk kita yang mencari ketenangan, di tengah berdesak-desakannya orang-orang penghamba nafsu dan dunia, Nabi Musa a.s pernah bertanya kepada Tuhan: “Wahai Rabb, di manakah aku dapat menemukan-Mu ? maka Allah SWT menjawab: “Saat hati tunduk pada-Ku” (Khawatir Al-Fajr, dalam kisah cinta dengan Allah).
Saat hati tunduk: ketika sedang tertimpa musibah, hati tunduk dan patuh lalu berkata:
انالله و انا اليه رجعون {156}
“Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada-Nyalah tempat kembali kami.” (QS: Al-Baqarah [2]: 156).
Saat hati tunduk, ketika sedang menderita penyakit, diri mengharapkan pertolongan dari Tuhan, seraya berkata: “ketika aku sakit, maka Allah-lah yang akan menyembuhkanku”.
Saat hati tunduk, ketika diuji dengan kekerasan hati, diri mengharap pada Tuhan: “lembutkanlah hati hamba dengan kekuasaan-Mu, duhai Sang Maha Lembut”.
Saat hati tunduk, ketika disapa oleh kebahagiaan, bibir melantukan pujian syukur kepada Tuhan.
Saat hati tunduk, ketika diri dianugerahi ilmu, kesadaran dan ketaatan, tangan menengadah penuh harap sembari berkata: “Duhai Allah yang Maha Mulia, kabulkanlah doa kami”.
Mudah-mudahan kita istiqomah menjadi hamba yang senantiasa tunduk kepada Allah SWT hingga berjumpa dengan-Nya kelak di surga. Wallahu a’lam Bish-Shawab.*
Peserta PKU-XI Unida Gontor dan Pegiat PIMPIN Bandung