Oleh: Teuku Zulkhairi, MA
PEROLEHAN suara partai politik (Parpol) Islam dan partai berbasis Islam dalam pemilu legislatif (Pileg) 9 April 2014 yang lalu mengalami peningkatan suara yang sangat signifikan. Perolehan ini mementahkan prediksi para pengamat dan lembaga survei sebelumnya yang sering mengecilkan (baca: seolah tak menginginkan partai Islam besar).
Tercatat, berdasarkan hasil perhitungan sementara, gabungan perolehan suara PKB, PAN, PPP, PKS, dan PBB, diperkirakan mencapai angka 32 persen lebih. Perolehan ini terbesar dalam sejarah melewati perolehan suara Partai Masyumi dalam Pemilu 1955 yang menguasai 20,92 persen suara secara nasional.
Dukungan ulama dan ummat
Harus diakui, menjelang Pemilu beberapa waktu lalu, muncul arus dukungan yang sangat kuat dari kalangan ulama kepada parpol Islam. Seruan pada partai-partai Islam melewarti mimbar, ceramah, tulisan-tulisan di beberapa media Islam bahkan di media sosial (Medsos). Seruan-seruan aktivis-aktivis Islam untuk mendukung parpol Islam juga begitu intens. Banyak yang mengorbankan netralitas mereka demi menyuarakan dukungan bagi parpol Islam.
Barangkali, munculnya seruan-seruan tersebut setelah mereka melihat realitas banyaknya produk Undang-Undang berbau Syari’ah yang gagal diperjuangkan di parlemen karena minimnya dukungan dari anggota parlemen pusat di Jakarta. Tercatat, beberapa UU berbau syari’ah gagal diperjuangkan di parlemen karena tidak adanya dukungan dari mayoritas anggota parlemen seperti UU pendidikan, dan UU Jaminan Produk Halal untuk Obat dan Makanan, UU perbankan syariah, UU ekonomi syariah dan sebagainya yang membuktikan bahwa suara parpol Islam seringkali kalah oleh suara parpol nasionalis sekuler.
Di sisi lain, juga muncul sebuah kesadaran bahwa kekuatan nasionalis sekuler yang telah sekian lama menguasai negeri ini telah gagal membangun bangsa ini agar sejahtera dan berdaulat. Bahkan, dalam indeks “prestasi” korupsi, partai-partai nasionalis-sekuler menempati urutan teratas sebagai partai terkorup. Kiprah mereka di parlemen pun seringkali berseberangan dengan kehendak rakyat, misalnya saat wacana penaikan harga BBM dan pengusutan kasus mafia pajak di tengah maraknya kasus korupsi pajak. Beberapa parpol nasionalis mendukung kenaikan harga BBM dan mayoritas anggota DPR RI dari parpol nasionalis-sekuler menolak hak angket pengusutan kasus Mafia Pajak sehingga hak angket itupun kandas. Padahal, usulan hak angket mafia pajak di DPR RI justru memberi peluang penyelidikan secara terbuka seperti penyelidikan DPR RI atas kasus Bank Century.
Hal ini ditambah lagi dengan realitas berbagai kesulitan yang dihadapi umat Islam di tanah air dalam rangka menjalankan ajaran agamanya. Misalnya bagaimana institusi Polri melarang Polisi Wanita (Polwan) mengenakan jelbab. Satu hal yang membuat berbagai kalangan tokoh Islam sadar bahwa lembaga wakil rakyat di Jakarta harus dipenuhi oleh wakil rakyat yang pro pada Islam sehingga mereka akan memiliki agenda advokasi atas kebebasan umat Islam untuk menjalankan ajaran agamanya.
Puncak kekecewaan ini akhirnya membulatkan suara umat Islam untuk mendukung parpol Islam dalam Pileg beberapa waktu yang lalu. Parpol Islam pun disebut-sebut berbagai pengamat meraih keberhasilan yang fantastis, khususnya jika dibandingkan dengan hasil pemilu pada 2009 yang lalu.*/bersambung Partai Islam jangan Ego