Oleh: Neng Djubaedah
SURAT EDARAN Mahkamah Agung (SEMA) No. 03 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, Bagian III: Rumusan Hukum Kamar Agama, huruf A: Hukum Keluarga, angka 8 merumuskan tentang: Permohonan Isbath Nikah Poligami atas dasar nikah siri“, bahwa “Permohonan isbath nikah poligami atas dasar nikah siri meskipun dengan alasan untuk kepentingan anak harus dinyatakan tifak dapat diterima. Untuk menjamin kepentingan anak dapat diajukan asal-usul anak”.
Menurut penulis, Poligami siri mungkin terjadi;
Pertama, karena suami memang dengan sengaja beristeri lebih dari seorang hanya untuk memperturutkan hawa nafsu, bukan digunakan sebagai pintu darurat.
Kedua, poligami dilakukan sebagai pintu darurat, akan tetapi isteri tidak memberikan izin. Padahal kondisi isteri termasuk dalam suatu kondisi yang menjadi salah satu alasan bagi suami untuk melakukan poligami.
Terhadap permohonan isbath nikah poligami siri yang ditujukan untuk rekreasi seksual, bukan sebagai pintu darurat, maka keputusan neit onvantkelijke verklard atau “dinyatakan tidak dapat diterima” dapat dipertimbangkan.
Dan status perkawinan siri pada poligami siri yang memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan juncto Pasal 14 KHI tentang rukun nikah tetap berlaku, bahwa perkawinan siri tersebut sah menurut hukum agama (Islam), namun KUA tidak dapat mencatatkan perkawinan siri tsb tanpa keputusan Pengadilan Agama.
Dengan demikian, suami isteri yang terikat dalam poligami siri tersebut tidak memiliki Akta Nikah atau Kartu Nikah sebagai alat bukti perkawinan mereka. Pembuktian perkawinan mereka dapat dibuktikan oleh alat bukti selain Akra Nikah dan Kartu Nikah.
Namun terhadap permohonan isbath nikah poligami siri yang dilakukan sebagai pintu darurat yang memenuhi syarat alternatif (isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; atau isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau isteri tidak dapat melahirkan anak), dan suami pun memenuhi syarat kumulatif, terkecuali syarat izin isteri, karena isteri idak memberikan izin.
Oleh karena itu, demi cinta suami kepada isterinya karena Allah semata, dan karena cintanya kepada Allah agar ia tidak melakukan perzinaan atau liwath (homoseksual), maka suami terpaksa melakukan poligami siri.
Maka terhadap poligami siri dalam bentuk kedua ini, yaitu poligami sebagai pintu darurat, hendaknya Hakim tetap memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara permohonan isbath nikah poligami siri tersebut. Supaya rasa keadilan dapat terwujud.
Mengenai status anak hasil poligami siri dijamin oleh SEMA No. O3 Tahun 2018 bahwa untuk kepentingan anak dapat diajukan permohonan penetapan asal-usul anak. Pasal 55 UU Perkawinan juncto Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam menentukan tentang asal-usul anak.
Namun, walau bagaimanapun, asal-usul anak hasil poligami siri tetap harus melibatkan orang-tuanya yang melalukan poligami siri. Wallahu ‘alam bishawab.*
Penulis adalah dosen Fakultas Hukum UI, dan pemerhati keluarga