~ Siapa rajin ke sekolah cari ilmu sampai dapat, sungguh senang, amat senang, bangun pagi-pagi makan roti…~
Oleh: Ilham Kadir
Penggalan lagu anak Taman Kanak-Kanak di atas seakan menjadi kredo bagi rakyat Indonesia, khususnya mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, dan lebih khusus lagi kepada Menteri Pendidikan.
Penegasan lagu di atas menunjukkan bahwa tempat mendapatkan ilmu sebagai sarana untuk bahagia itu hanya di sekolah. Karena itu, menteri yang semestinya mengurus pendidikan beralih mengurus sekolah.
Buktinya, tahun ini, dunia pendidikan Indonesia dihebohkan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah yang mengatur jam belajar di sekolah yang berjumlah delapan jam, sama dengan jam kerja buruh pabrik, karyawan, dan orang-orang kantoran.
Permendikbud dimaksud adalah No. 23/2017. Aturan ini menuai protes berbagai kalangan, hingga muncul wacana dari Presiden Jokowi untuk mengkaji ulang hingga pembatalan. Namun faktanya, hingga kini, dengan segala polemik yang ada, hampir seluruh sekolah di Indonesia telah menetapkan waktu belajar delapan jam yang lebih dikenal Full Day School (FDS).
Baca: Pemerintah Akan Uji Coba ‘Full day School’ Untuk Sekolah yang Siap
Pengalaman saya mengajar pada sekolah menangah di Johor-Malaysia (1999-2015) merasakan dan menyaksikan bahwa FDS memang sangat berhasil. Anak-anak sekolah mulai dari SD hingga SMA sudah berada di sekolah sebelum jam 06.00 AM dan baru kembali ke rumah pada jam 04.00 PM atau sekitar sepuluh jam di sekolah. Harus ditegaskan bahwa, seluruh anak-anak sekolah disediakan jemputan berupa bus pada halte-halte yang ada, dari kota hingga pelosok. Bus penjemput itu akan datang pada waktu yang tepat, umumnya pada jam 05.30-05.45, bagi yang terlambat harus datang ke sekolah dengan kendaraan pribadi. Demikian pula ketika pulang sekolah, mereka dijemput tepat waktu.
Namun sebagian lainnya hanya sampai jam 02.00 PM, khususnya yang bersekolah di negeri atau sekolah milik pemerintah, namun diwajibkan mengikuti pelajaran tambahan di sekolah agama yang juga disediakan oleh pemerintah negeri bagian.
Dari sekolah agama yang hanya buka waktu sore atau sekali-sekaki pada hari Sabtu itu, para anak-anak muslim belajar mengaji, shalat, memandikan mayat, dan ilmu-ilmu agama, baik teori maupun praktik. Kalau di Indonesia lebih mirip dengan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), bedanya di Malaysia mereka mengelola lembaga pendidikan tambahan secara profesional. Disediakan guru, gedung sekolah, kurikulum yang sesuai standar. Gaji guru maupun sarana dan prasarana lainnya tidak ada bedanya dengan milik pemerintah pusat.
Dengan teori seperti ini maka FDS adalah jalan terbaik. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Tunggu dulu.
Pada dasarnya tidak perlu diperdebatkan terkait jumlah jam belajar di sekolah, lima, delapan, bahkan 24 jam dengan syarat benar-benar bertujuan mengamalkan Konstitusi UUD 45 pasal 31 ayat (c) yang berbunyi seperti ini: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.
Melihat tujuan pendidikan dalam perspektif konstitusi di atas, maka program-program pendidikan harus sesuai napas iman dan takwa. Dengan itu, lembaga pendidikan, guru, murid-murid, program, proses hingga evaluasi tidak bisa dipisahkan dengan agama.
Pantaslah dipertanyakan, apakah selama ini pemerintah Indonesia, khususnya Menteri Pendidikan sudah menerapkan kurikulum iman dan takwa pada lembaga pendidikan kita?
Kita saksikan, justru lembaga-lembaga pendidikan seperti pondok pesantren yang mendidik para santri 24 jam dan berhasil melahirkan alumni yang menjadi dai dan ulama justru tidak diurus oleh Menteri Pendidikan, hanya menjadi urusan Kementerian Agama. Padahal ulama adalah contoh nyata golongan yang beriman dan bertakwa, mereka ini juga tidak boleh diragukan kesetiaannya pada negara, dari dulu hingga sekarang.
Menteri Pendidikan terlihat justru sibuk mengurus sekolah, bukan pendidikan. Padahal sejatinya sekolah hanya salah satu lembaga pendidikan yang dapat melahirkan manusia beriman dan bertakwa.
Baca: Memilih Lembaga Pendidikan untuk Menyelamatkan Buah Hati
Banyak ulama, atau tokoh nasional tidak jelas riwayat sekolahnya, tetapi jelas ketinggian ilmu dan jasanya pada agama, bangsa dan negara. Mereka justru lebih banyak mendapat ilmu dari halaqah di dalam masjid, atau berkunjung ke rumah ulama untuk berguru (mulãzamah ma’al ‘ulamã). Salah satunya tokoh kesohor, dan ulama agung tanah Bugis, Muhammad As’ad Al-Bugisi (1907-1952) adalah contoh nyata. Berkat sentuhan tangan dan jiwa ikhlasnya, hampir semua ulama berpengaruh di Sulawesi Selatan para paruh kedua abad 20 hingga paruh pertama abad 21 adalah hasil didikannya.
Selayaknya paradigma tentang pendidikan direstorasi. Kementerian Pendidikan jangan hanya mengurus sekolah, tetapi segala bentuk aktivitas yang dapat melahirkan manusia beriman dan bertakwa harus didukung dan diberi fasilitas yang manusiawi. Kecuali jika ingin diubah menjadi “Kementerian Persekolahan” maka sebaiknya memang hanya mengurus sekolah. Wallahu A’lam!
Alumni Doktor Pendidikan Islam Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor