Oleh: Faris Ibrahim
Hidayatullah.com | GARA-GARA Virus Corona, mendadak segala pengalaman jadi berasa langka. Sebulan yang lalu, saat untuk kali perdana mendengar kumandang adzan Syaikh Samir dari mihrab masjid Nurul- Huda, rasanya seperti sedang melihat langsung Da Vinci melukis Monalisa di depan mata. Benar- benar pengalaman yang amat langka‒ mendengar adzan yang sejak lahir terdengar begitu- begitu saja bunyinya, tiba- tiba terdengar lafaz baru di dalamnya: “alā shollū fī buyūtikum, alā shollū fi rihālikum.”
Demi mengabadikan momen langka tersebut, beberapa kali saya merekamnya dari samping jendela. Saya kira momen yang seperti itu hanya bakal terjadi satu- dua- tiga kali saja. Nyatanya tidak, sampai Ramadhan tiba, ternyata bunyinya masih sama. Sama namun tidak lantas menjadikannya biasa, adzan itu tetap masih langka; ia yang biasanya menyambut kelahiran, belakangan mengiringi pula kematian. Adzan itu seakan jadi obor yang meresmikan Olimpiade Corona, pengganti Olimpiade Tokyo yang ditunda.
Toh seperti biasa, Amerika-lah yang sedang memuncaki daftar perolehan sementara medalinya. Adapun Mesir, sampai tulisan ini diketik sambil rebahan di sofa, cukup menghawatikan juga membacanya: 10. 093 kasus, 21.365 yang sembuh, 544 yang tak beruntung hingga harus meregang nyawa. Belum ada tanda- tanda penurunan, nyatanya perolehan medali itu terus merangkak perlahan- lahan bertambah; karenanya Perdana Menteri Mostafa Medbouly beberapa waktu lalu, kembali menegaskan komitmennya memberlakukan jam malam.
Dari jam 7 petang, sampai dengan jam 6 di pagi hari, setiap detiknya benar- benar terasa mencekam. Keluar dari restoran Thailand jam 5 sore hari, serasa jadi Ashabul Kahfi yang keluar gua langsung melihat perubahan yang mengejutkan. Mendadak semua jadi mulai sepi, sunyi. Menapaki sepanjang jalan Ahmed el- Zomor untuk membeli pisang di tukang buah- buahan, serasa seperti dihantui oleh semacam ketakutan saat siaran dimulainya ‘pembersihan’ di film The Purge (2013) sudah resmi diberlakukan.
The Purge garapan sutradara kenamaan Amerika, James DeMonaco, menggambarkan Amerika yang sudah tidak lagi digdaya. Ledakan populasi penduduk, krisis ekonomi akut, partai penguasa memutarbalik otak untuk mencarikan solusinya. Ketemulah sebuah ide gila namun masuk di akal: pembersihan (purge). Dengan maksim: semua orang memiliki haknya, tak terkecuali hak untuk melampiaskan amarahnya, alhasil Amerika melegalkan kejahatan untuk satu malam, termasuk di dalamnya pembunuhan.
“This is not a test. This is your emergency broadcast system announcing the commencement of the annual purge,” saya jadi terbayang jikalau siaran resmi itu berkumandang dari toa- toa masjid sekitaran, wah mengerikan. Tapi memang kalau dipikir- pikir, wabah Corona ini memang sepenuhnya menyaru pembersihan (purge), di mana orang- orang kaya bisa berlindung darinya sembari rebahan dalam rumah mewahnya, sedang bagi mereka yang tidak punya rumah, hanya bisa pasrah menunggu giliran.
Sepasrah Ahmad‒ tukang sampah yang harus datang ke flat kami setiap hari Sabtu dan Selasa, mau bagaimana lagi, ia dan keluarga harus makan untuk dapat bertahan. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mencatat: lebih dari empat dari lima orang (81 persen) tenaga kerja global terkena dampak penutupan tempat kerja secara langsung, dan Ahmad menolak untuk jadi salah satu dari mereka. Jadi pengais sampah, adalah peruntungannya satu- satunya, ia harus bekerja bagaimana pun caranya.
Orang- orang miskin memang selalu dihadapkan dengan keadaan tanpa pilihan. Keadaan itulah boleh jadi yang seringkali membuat saudagar- saudagar kaya‒ pemilik alat produksi selalu bisa leluasa mengeksploitasi mereka‒ para pekerjanya kapan saja, di mana saja sesuai kehendaknya. Corona apalah dia, biskuit coklat di waralaba? Naguib Sawiris‒ orang terkaya kedua di Mesir tak mau tahu, ia mengancam akan bunuh diri jika sampai 8 April pembatasan terhadap para pekerja di pabriknya tetap diberlakukan.
Seperti logika kebanyakan pialang saham yang gila kekayaan, Sawiris pun mencoba berdalih cari- cari pembenaran: “hanya satu persen dari mereka yang tertular virus akan meninggal karena COVID-19.” Di mata Sawiris, buruh- buruhnya hanyalah kumulasi persenan, mesin- mesin yang mesti bekerja bagaimana pun caranya, tidak ada mulia- mulianya. Kematian para buruhnya yang bekerja di tengah wabah Corona hanyalah statistika, sedang kematiannya, barulah merupakan tragedi yang akan muncul di berita.
Benarlah apa yang pernah dikatakan oleh Joseph Stalin: “Kematian satu orang adalah tragedi; kematian jutaan orang adalah statistik.” Dan itu berkelindan dengan fakta bahwa orang miskin memang selalu lebih banyak jumlahnya ketimbang orang kaya di dunia. Karenanya, kematian para pekerja yang miskin tidak akan pernah sesakral kematian majikannya yang kaya. Kesakralan telah tercerabut dari garis takdir rakyat jelata. Maka menurut hemat Sawiris, tidak perlu hemat- hemat dengan nyawa pekerja.
Lagi pula, kepada The Defense Post, Sawiris bilang: “militer menguasai 40% perekonomian negara.” Ditambah lagi dengan laporan organisasi anti korupsi transparansi Internasional yang memprediksi angkanya lebih besar, yaitu 60%. Lewat pemaparan itu, agaknya seakan Sawiris ingin bilang pada pemerintah: tidak perlu ada dusta di antara kita, pembersihan (purge) terhadap kelas pekerja dan usaha- usahanya telah kita lakukan sejak lama, jauh sebelum datangnya pandemi Corona.
Sulit memang untuk menyangkal, pemerintah tidak ikut bersalah dalam perkara ini. Di negera yang pom bensinnya saja dijaga oleh tentara, adalah perkara yang mudah memang untuk menyimpulkan: negara memang sedari dulu tidak berpihak kepada usaha rakyatnya. Jadi, sebenarnya tidak juga serta- merta Sawiris yang mesti kena getahnya, Abdul Fattah al- Sisi‒ presiden Mesir‒ dan lingkaran oligarki tentaranya sebenarnya lebih patut dikambinghitamkan ketimbang dirinya yang cuman pengusaha.
Toh di Mesir, agaknya jarang pula kita mendengar kicauan media yang bunyinya: pengusaha dan tentara. Seperti kaos oblong menjelang lebaran di Ramayana, yang beli satu dapat dua, di Mesir, jadi tentara artinya jadi juga pengusaha, dia- dia juga orangnya. Berpatroli dengan plat hijau bukan hanya artinya menjaga kedaulatan negara dari pengacau di Sinai, namun juga menjaga proyek pemindahan ibukota yang dibidani oleh El Arish Cement Co yang 51% sahamnya dikuasai tentara.
Beginilah nasib jadi rakyat jelata di negara Piramida. Seperti Sungai Nil, tak ada habis- habisnya dikuras pengusaha dan tentara. Apalagi di tengah wabah Corona, benarlah apa kata Musthafa Mahmud dahulu kala: “akan ada sekumpulan orang yang siang malam berusaha mencari penawar, dan akan ada pula yang hanya bisa pasrah menunggu takdir yang telah ditetapkan,” agaknya untuk yang terakhir, sastrawan kawakan Mesir itu seakan sedang berbicara tentang bangsanya sendiri, terutama nasib kelas pekerjanya.*
Mahasiswa Akidah- Filsafat Universitas al- Azhar