Oleh: Akbar Muzakki
Hidayatullah.com | AKSI demo menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja (Ciptaker atau Cilaka) turut diikuti sejumlah siswa dan mahasiswa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) angkat bicara terkait kejadian ini.
Dirjen PAUD-Dikdasmen Kemendikbud, Jumeri, sangat menyayangkan keterlibatan pelajar dalam aksi demo. Menurutnya, para pelajar belum tahu persis esensi yang diperjuangkan dalam aksi demo tersebut. “Itu sangat disayangkan pelajar setingkat menengah demo di jalanan yang rentan. Saya juga punya keyakinan mereka belum tahu persis sebenarnya apa yang diperjuangkan,” kata Jumeri kepada wartawan pada Kamis (8/10/2020).
Seperti dikutip oleh www.news.detik.com, Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud, Nizam, menyarankan mahasiswa melakukan telaah kritis terhadap UU Ciptaker yang diprotes dalam aksi demo. Kalau memang dirasa ada yang melanggar Undang-Undang Dasar (UUD), menurutnya, mahasiswa dapat menyampaikan itu ke DPR RI ataupun ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Mestinya mendalami dulu isi RUU nya. Melakukan telaah kritis, objektif atas isi RUU tersebut. Apakah ada yang melanggar UUD, kalau ada berikan koreksi, sampaikan ke DPR dan Pemerintah, bila perlu ke MK,” kata Nizam.
Di kesempatan lain, ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menerbitkan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pencegahan Keterlibatan Peserta Didik dalam Aksi Unjuk Rasa yang Berpotensi Kekerasan. Surat Edaran yang ditandatangani 27 September 2019 itu memuat larangan pelibatan peserta didik dalam kegiatan unjuk rasa yang berpotensi pada tindakan kekerasan, kekacauan, dan perusakan.
Muhadjir mengatakan, penerbitan surat edaran ini merupakan buntut dari aksi unjuk rasa pelajar pada 25 September lalu yang berujung kerusuhan hingga membahayakan keselamatan diri dan orang lain. “Saya ingin mengingatkan peserta didik kita, siswa kita harus kita lindungi dari berbagai macam tindak kekerasan atau berada di dalam lingkungan di mana ada kemungkinan mengancam jiwa yang bersangkutan,” ujar Muhadjir melalui keterangan tertulis, Ahad (29/9).
Dalam surat edaran tersebut, Muhadjir meminta kepala daerah hingga kepala dinas pendidikan setempat untuk memastikan pengawas sekolah, kepala sekolah, dan guru memantau peserta didik di dalam dan luar lingkungan sekolah.
Muhadjir juga meminta pihak sekolah menjalin kerja sama dengan orang tua/wali untuk memastikan putera/puterinya mengikuti proses pembelajaran sesuai ketentuan. “Siswa itu masih tanggung jawab guru dan orang tua, karena menurut undang-undang statusnya masih sebagai warga negara yang dilindungi. Belum dewasa, belum bisa mengambil keputusannya sendiri,” terangnya.
Muhadjir juga meminta kepala sekolah dan guru membangun komunikasi harmonis dan melakukan kegiatan belajar yang dapat menyalurkan pemikiran kritis, bakat, dan kreativitas peserta didik. Pihak sekolah juga diminta memastikan pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan peserta didik tidak mudah terprovokasi informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan menyesatkan.
Sejarah Aksi Pelajar dan Mahasiswa
Sesungguhnya aksi pelajar, pemuda, dan mahasiswa di Indonesia melakukan aksi adalah hal yang lumrah. Sejarah bangsa ini telah melahirkan tokoh bangsa yang bermula dari aksi di zamannya. Dengan kukuh dan kokohnya alam pikirannya yang jernih Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar (KAPPI) yang dimotori Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) lahir digawangi oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dari aksi itu, mereka menjadi tokoh bangsa yang kritis.
Menilik sejarah panjang Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G 30 S PKI), tidak terlepas dari berbagai macam perlawanan. Aksi-aksi dari berbagai kalangan pemuda mewarnai gejolak politik Indonesia guna menuntut keadilan pemerintah yang kala itu masih dipimpin oleh Ir. Soekarno. Hingga G 30 S PKI itu sudah teratasi di akhir tahun 1965, perlawanan masih terus berlanjut.
Ketidakstabilan politik, keamanan, dan ekonomi negara menjadi kacau balau. Perekonomian semakin terpuruk dengan adanya inflasi yang meresahkan rakyat. Terlebih Presiden Soekarno tidak mengambil tindakan tegas, membuat pemuda Indonesia merasa harus mengambil sikap secepatnya.
Pemuda Indonesia yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) mulai melakukan perlawanan menuntut penyelesaian oknum-oknum PKI yang masih berseliweran dalam politik pemerintahan. Perlawanan tersebut mendapat dukungan tambahan ketika gerakan lainnya, seperti KABI (buruh), KASI (sarjana), KAWI (wanita), KAGI (guru) dan lain-lain mulai menyatukan barisan. Kemudian pada 26 Oktober 1965, gerakan-gerakan tersebut menyatukan komando menjadi satu front, yakni Front Pancasila.
Lahirnya Front Pancasila menjadi tonggak awal alur demonstrasi rakyat terhadap pemerintahan Soekarno. Perlawanan yang semakin panas dan keadaan ekonomi Indonesia yang semakin memburuk akibat pengaruh kenaikan harga bensin, memicu inflasi hingga harga kebutuhan pokok lain ikut meningkat. Membuat pemuda Indonesia menyuarakan aspirasi mereka. Aspirasi tersebut tertuang dalam sebuah tuntutan, Tri Tuntunan Hati Nurani Rakyat yang lebih dikenal dengan sebutan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat).
Front Pancasila yang dipelopori oleh KAMI dan KAPPI mendatangi DPR-GR Pada 10 Januari 1966 guna mengajukan tiga buah tuntutan, yaitu:
1. Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya
2. Perombakan kabinet Dwikora
3. Turunkan harga sembako
Pergerakan Mahasiswa
Aksi Tritura tersebut melahirkan aksi-aksi lainnya yang berkepanjangan. Pada tanggal 24 Februari 1966, pada saat pelantikan Kabinet 100 Menteri, para mahasiswa, pelajar, dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka. Terjadi bentrok dengan pasukan Cakrabirawa yang mencoba menghadang. Demonstrasi semakin memanas hingga menyebabkan gugurnya mahasiswa Universitas Indonesia bernama Arief Rachman Hakim. Bentrokan terjadi dan mengakibatkan gugurnya Arief Rahman Hakim yang semakin membuat gerakan mereka solid. kemudian mahasiswa membentuk Laskar Arief Rahman Hakim yang terdiri dari 42 universitas dan perguruan tinggi di Jakarta.
Menindaklanjuti aksi tersebut, berdasarkan keputusan Panglima Komando Ganyang Malaysia (Kogam) yaitu Presiden Soekarno sendiri, KAMI dibubarkan. Namun hal tersebut tidak membuat barisan pemuda Indonesia mundur.
Dalam jurnal karya Darmawijaya yang berjudul ISLAM DAN KEKUASAAN ORDE BARU: Membaca Kembali Politik De-Islamisasi Soeharto, ditegaskan dengan gugurnya Arief Rahman Hakim membuat gerakan KAMI semakin militan. Tanggal 26 Januari 1966, Presiden Sukarno membubarkan KAMI, menutup Kampus UI, dan menggelar kekuatan militer di jalan-jalan Jakarta, dengan kendaraan lapis baja beserta rintangan kawat-kawat berduri.
KAMI tidak tinggal diam atas tindakan Presiden Sukarno tersebut. Pada tanggal 4 Maret 1966, eksponen KAMI membentuk Laskar Arief Rahman Hakim dengan kekuatan 7 batalyon dari 42 Universitas. Tindakan eksponen KAMI ini diikuti pula oleh PII (Pelajar Islam Indonesia). Pada tanggal 5 Maret 1966, PII berhasil mempelopori berdirinya KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) di Markas Besar PII Jakarta.
Pemuda masih bersikukuh mengawal gerakan-gerakan mahasiswa untuk melanjutkan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Hingga gerakan Tritura mencapai puncak ketika keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).
Surat ini menginstruksikan Mayor Jenderal Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu, salah satu diantaranya ialah membubarkan Partai Komunis Indonesia dan ormas-ormasnya.
Mahasiswa yang berjuang saat itu sekarang dikenal dengan angkatan 66. Dikutip dari website http://socio-politica.com Bung Tomo, April 1966 dengan rendah hati mengakui bahwa Angkatan 66 lebih hebat daripada Angkatan 45. Berbeda dengan Angkatan 45 yang berjuang dengan bedil, Angkatan 66 berjuang tidak dengan senapan, tapi dengan “keberanian, kecerdasan, kesadaran politik, motif yang murni”. Dengan semua itu Angkatan 66 “memberi arah baru pada sejarah nasional Indonesia”.
Jadi sejarah telah memberikan pelajaran bahwa aksi pemuda, pelajar, dan mahasiswa sesungguhnya untuk meluruskan dan menegakkan negeri ini agar bijak dalam menyikapi rakyat dan bangsanya sendiri untuk keluar dari berbagai kesulitan ekonomi, sosial dan politik.*
Penulis seorang wartawan, aktivis PII