Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | JIKA Anda tanya pada sepuluh orang yang masih berpikir lurus, dan itu tentang sikap Pak Muhammad Amien Rais, selanjutnya disebut Amien Rais (AR), yang bisa dilihat itu apa saja. Maka sebelas orang itu mengatakan satu hal: konsisten pada sikap. Bahasa lainnya, istiqomah.
Kenapa yang ditanya sepuluh orang, lalu yang menjawab sebelas orang. Yang satu itu adalah yang bertanya, dan memiliki pandangan yang sama tentang Pak AR. Bertanya untuk memastikan apakah pandangannya itu benar.
Setelah memberi jawaban yang sama tentang konsisten sikapnya. Mereka lalu berbicara macam-macam tentang kelebihan Pak AR lainnya. Berikut sebagian yang bisa disebutkan.
Pak AR itu konsisten dalam semua hal. Terutama dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketauhidan. Pengembaraan intelektualitasnya luas, dan itu bisa jadi yang meneguhkan keyakinannya, bahwa Islam dengan ajaran tauhidnya adalah sistem terbaik yang komprehensif yang menjadi solusi bagi semua problem akut dunia, baik politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Ada juga yang mengatakan disamping sikap konsisten itu, bahwa Pak AR itu meyakini Islam dan demokrasi bisa berdampingan dengan baik dan seiring.
Ada pula yang melihat Pak AR, lagi-lagi setelah menyebut sikap konsistennya, bahwa Pak AR itu punya keberanian melawan arus dan kekuasaan. Beliau tidak mencari popularitas, tapi lebih ingin menguatkan suara publik yang resah.
Ada pula yang melihat Pak AR, setelah sebelumnya menyebut sikap Pak AR yang konsisten, dengan mengatakan kelebihan lainnya. Pak AR itu pribadi yang mampu merumuskan langkah-langkah aksi ke depan dengan baik.
Ada pula lainnya yang menilai Pak AR dengan, setelah juga mengawali dengan sikap konsisten yang dipunyainya, yaitu bahwa Pak AR itu memiliki integritas tinggi, keberanian dalam beramar ma’ruf nahi munkar, dan khazanah literaturnya akan Islam dan Barat sama-sama memadai.
Konsistensi Sikap
Sikap, tindakan, dan kelebihan-kelebihan Pak AR itu jelas bermula dari konsistensi sikapnya. Sehingga semua hal yang disebutkan setelah sikap konsisten yang dimilikinya, itu sebenarnya buah dari sikapnya.
Konsistensi sikapnya selalu berada di tempat yang diyakininya benar. Itu ditampakkan sejak belia, saat menjadi aktivis mahasiswa, sebagai dosen, saat aktif di Persyarikatan Muhammadiyah, dan lalu dinisbatkan sebagai Ketua Umumnya.
Keberanian Pak AR “melawan” rezim represif Orde Baru, adalah sikap perlawanan untuk mengakhiri rezim itu. Lalu Orde Reformasi muncul dengan tumbangnya Soeharto, yang berkuasa selama 32 tahun.
Pak AR itu lokomotif Orde Reformasi, itu tidak dipungkiri. Dan lalu ia bersama kawan-kawannya yang ikut bagian dari menumbangkan Orde Baru, mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN).
Bermunculanlah partai-partai baru, baik yang berbasis kebangsaan ataupun agama. Tidak lagi hanya tiga partai sebagaimana era Orde Baru. Maka bermunculan presiden-presiden yang maksimal menjabat 2 (dua) periode.
PAN menjadi partai elit, yang mengusung faham nasional religius. Tampaknya Pak AR ingin membuktikan bahwa demokrasi bisa bersanding dengan Islam. Maka dalam perjalanannya, PAN tetap hadir jika menyangkut isu-isu yang berkaitan dengan keumatan.
Pak AR lalu menjadi Ketua MPR-RI, dan mengantarkan Abdurrahman Wahid, dan lalu digantikan Megawati sebagai Presiden. Itu era sebelum pemilihan presiden langsung.
Setelah itu amandemen UUD 45 dimulai. Banyak yang lalu menyesalkan adanya perubahan-perubahan dari pasal-pasal yang diamandemen.
Adalah tidak fair jika amandemen itu dianggap kesalahan, yang lalu kesalahan itu hanya ditimpakan pada seorang ketua MPR semata.
Amandemen UUD 45 itu buah kesepakatan dari seluruh fraksi yang ada, hasil kesepakatan bersama. Itu bagian dari sejarah bangsa, dan cita-cita reformasi. Tentu dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Amien Rais Gak Ada Matinya
Perjalanan Pak AR adalah perjalanan pasang surut khas seorang pemimpin yang konsisten. Ia suatu waktu ada dalam pusaran kekuasaan, tapi pada waktu lainnya berada di luar kekuasaan.
Di dalam dan di luar kekuasaan, Pak AR tetap kritis. Sikap kritis itu bagian dari sikapnya. Ia akan menyentak jika melihat ada yang tidak sesuai dengan arah perjuangan bangsa.
Maka, mereka yang melihatnya dengan hanya mampu memicingkan mata sebelah, akan mengatakan ia sosok yang “banyak omong”, resek, cuma bisa ngeritik, dan seterusnya. Tapi yang mengenalnya dengan baik, melihat kekritisannya itu hal biasa, itulah Pak AR.
Pak AR tidak perduli dengan apa yang disampaikannya. Tidak memperhitungkan kalkulasi politik, karena itu bukan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, sebagaimana kebanyakan politisi lainnya, yang lalu memilih jalan pragmatis.
Pak AR mewarnai sikap konsisten itu pada partainya. Meski dalam perjalanan waktu, sikapnya yang kritis dan tanpa reserve “dilumpuhkan” oleh arus besar pilihan-pilihan pragmatis partainya. Pak AR lalu terpental dari partai yang didirikannya, PAN.
Apakah Pak AR lalu tamat?
Pak AR tidak berhenti meski ia tidak memiliki kendaraan partai, ia terus bergerak melakukan apa saja yang bisa ia lakukan. Konsolidasi pada siapa saja, yang masih bisa diajak berpikir dan bergerak untuk kepentingan bangsa.
Pak AR sedang mempersiapkan kehadiran Partai UMMAT, yang sudah mulai disosialisasikannya. Kita tunggu saja geliat partai baru gagasannya itu.
Meski usia tidak muda lagi (26 April 1944/76 tahun), Pak AR tetap energik. Pikiran-pikiran kritisnya tidak lalu tumpul, tetap lancip.
Pagi tadi seorang kawan mengirimkan pesan Pak AR via video pendeknya. Akhir-akhir ini beliau memang aktif membuat video-video pendek untuk menyapa umat. Video teranyar pagi tadi, itu tentang musibah yang dialami Front Pembela Islam (FPI), dan terbunuhnya 6 laskar FPI.
Ada saran dan tawaran darinya, itu setelah FPI dibubarkan atau terlarang, berdasar SKB tiga menteri dan tiga lembaga pimpinan tinggi negara.
“Para kuasa hukum FPI dan kita semua yang masih punya sedikit kemauan daya juang, mari kita buat TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) sendiri. Seluruh data yang kita miliki, kita buat narasi yang rapi…
Kita terjemahkan dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Kita hidangkan ke masyarakat bangsa secara nasional dan internasional, supaya ini tidak berlalu begitu saja…”
Pak AR, seperti biasa, selalu aktif bergerak dengan apa saja yang bisa ia lakukan. Tidak ada kata berhenti saat melihat adanya kesewenang-wenangan, ia melawannya. Ia pribadi yang tidak bisa “dihentikan”.
Terus bergerak dengan apa yang diyakininya benar. Ia seolah selalu memposisikan diri berhadap-hadapan dengan kekuasaan. Tidak semacam kebanyakan mantan pejabat lainnya yang lebih memilih hidup aman, dan berlomba mengais berkah dari rezim yang berkuasa.
Membicarakan Pak AR tidak akan ada habisnya, dan itu tentang kebaikan, tentang kejujuran, dan juga kesederhanaan. Itu jika kita membicarakannya dengan hati, dengan tidak memakai kacamata buram.
Sikap Pak AR itu mengingatkan pada Allah Yarham Pak M. Natsir, Mantan Perdana Menteri dari Partai Masyumi, yang konsisten dalam memegang prinsip-prinsip “jalan lurus”.
Pak AR memang akrab menjalin silaturahim menemui Pak Natsir. Bahkan acap menyebut Pak Natsir sebagai gurunya.
Pantaslah jika ia lalu disebut sebagai M. Natsir muda. Sebuah panggilan kehormatan atas konsistensi sikapnya, sebagaimana yang diwariskan Sang Guru itu… Wallahu a’lam.*
Kolumnis, tinggal di Surabaya