Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Senin (1/2/2021), media terutama media online dikejutkan dengan dua peristiwa “kudeta” yang tidak boleh terjadi di alam demokrasi.
Dua peristiwa itu adalah kudeta di Myanmar, dan upaya “nyaris” kudeta pada Partai Demokrat.
Kudeta di Myanmar, yang menahan tokoh politik terkemuka Aung San Suu Kyi dan presiden Myanmar Win Myint.
Kudeta yang dilakukan militer, tentu sebuah upaya mengembalikan Myanmar pada pemerintahan diktator militer.
Sebelum ditahan, Suu Kyi, menulis sepucuk surat yang meminta rakyat untuk melawan perlakuan militer.
Suu Kyi (75 tahun), putri dari pendiri Republik Myanmar, Jenderal Aung San, muncul sebagai simbol perlawanan atas pemerintahan militer yang otoriter.
Kudeta Myanmar, atau kudeta di mana saja adalah tindakan primitif. Merampas hak seseorang, yang didapat dalam proses demokrasi dengan cara paksa, dan tentu inkonstitusional.
Kudeta itu tindakan primitif yang tidak boleh terjadi di alam demokrasi. Tapi itu masih terjadi di Myanmar, negeri yang “tidak rela” menjadi demokrasi sebenarnya. Militer yang kuat di sana bisa sewaktu-waktu melakukan kudeta.
Retno Marsudi, Menlu RI, lewat Twitter kemlu_RI, Senin (01/2/2021), prihatin dengan kondisi yang ada di sana.
Retno Marsudi meminta mengedepankan penggunaan prinsip-prinsip yang terkandung dalam piagam ASEAN, yang diantaranya pada komitmen hukum, kepemerintahan yang baik, prinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional.
Himbauan yang memang seharusnya dilakukan pemerintah Indonesia pada negeri sesama anggota ASEAN, dan itu pada titik tekan: pemerintahan yang baik, taat hukum dan prinsip demokrasi.
Nyaris Kudeta
Berita yang juga menggelegar yang tidak kalah dengan kudeta Myanmar, itu adalah “rencana” kudeta dalam negeri.
Berita nyaris kudeta itu disampaikan Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Dalam konferensi pers yang dibuatnya, ia mengungkap ada gerakan merebut paksa partainya, yang melibatkan pejabat di lingkungan presiden Jokowi.
AHY memaparkan informasi soal upaya “kudeta” tersebut secara gamblang, meski tidak menyebut nama pelaku secara terbuka.
“Para pimpinan dan kader Demokrat yang melapor kepada kami tersebut, merasa tidak nyaman dan bahkan menolak ketika dihubungi dan diajak untuk melakukan penggantian Ketum Partai Demokrat,” ujar nya.
Siapa pejabat di lingkaran presiden Jokowi yang disentilnya itu, lalu Andi Arief, salah satu punggawa Partai Demokrat secara terbuka menyebut satu nama, Pak Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan (KSP).
Wah wah wahh… itu setidaknya perasaan terkaget-kaget, perasaan untuk mengungkap kekagetan publik. Pak Moeldoko… Woi…
Kenapa mesti terkejut, bukankah mengganti kepemimpinan ketum partai, bahkan presiden sekalipun itu hal biasa. Tentu itu hal biasa jika ditempatkan pada koridor yang tepat. Jika tidak ikuti itu secara konvensi, ya itu namanya primitif.
Penggantian ketua umum sebuah partai, itu hal biasa. Boleh dilakukan dengan cara yang dibenarkan, dan lewat jalur konstitusional.
Sedang langkah yang ditempuh Pak Moeldoko, jika “tuduhan” itu benar, dengan mempengaruhi pengurus partai untuk mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB), mengganti ketua umumnya, itu tentu hal tidak wajar. Masuk kategori primitif.
Maka AHY melayangkan surat resmi pada Presiden Jokowi, menanyakan kebenaran berita yang diterimanya, perihal rencana “kudeta” inkonstitusional itu.
Kenapa AHY mesti berkirim surat pada presiden segala, ya karena menurut kesaksian pengurus Partai Demokrat yang dibujuk itu, bahwa langkah yang diambil itu sudah mendapat “restu” pesiden Jokowi, dan menyebut juga beberapa nama Menteri dan bahkan Menko segala ikut merestui.
Ha… merestui perbuatan tidak terpuji? Maka untuk membuktikan itu semua, surat AHY itu satu keharusan dilayangkan untuk mendapat kepastian kebenarannya. Apakah presiden Jokowi lalu akan menjawab surat itu? Pastinya jika menjawab, jawabannya pun mudah ditebak.
Meski demikian, jawaban presiden Jokowi tentu dinanti. Tapi sikap AHY yang berani mengungkap “nyaris” kudeta itu patut diacungi jempol. Semua sudah dipikirkannya secara matang dan. Tahu konsekuensi dari yang “dituduhkannya” itu. Tidak asbun.
SBY Masih Hidup, Lho
Semua terheran-heran dengan dua peristiwa yang terjadi Senin kemarin. Februari 2021 diawali dengan peristiwa dan kabar tidak mengenakkan.
Tapi jujur, peristiwa Partai Demokrat yang akan “dikudeta” itu setidaknya paling mendapat pemberitaan luas. Nilai pemberitaannya lebih “menjual” ketimbang kudeta Myanmar, yang memang sudah “langganan” kudeta.
Semalam Pak Moeldoko mengadakan konferensi pers, sepertinya dadakan. Tidak dipersiapkan. Bicaranya gak keruan, tidak terstruktur. Istilah “gua”, saat menyebut dirinya. Juga agar AHY tidak “baperan”. Istilah yang jauh dari budaya keadaban, saat klarifikasi resmi dilakukan. Mau coba rileks bicara, tapi gesturnya pun gak keruan.
Pak Moeldoko, menegaskan bahwa Pak Jokowi tidak tahu apa-apa. Jadi jangan bawa-bawa Pak Jokowi. Ini urusan Moeldoko sendiri, lebih kurang demikian ungkapnya.
Makanya itu, AHY “wajib” klarifikasi pada Presiden Jokowi, karena namanya diseret-seret, juga nama beberapa Menteri/Menko. Karenanya, langkah yang ditempuhnya itu langkah terukur.
Memakai nama Presiden, dan beberapa Menteri bahkan Menko yang katanya “merestui” langkahnya. Jika itu benar, memangnya perbuatan “primitif” itu lalu jadi sah, halal, dan dibenarkan?
Sehari sebelum AHY “teriak” ada upaya kudeta di Partai Demokrat, sang Ayah, Pak SBY yang presiden ke-6 RI, memberikan ujaran wisdom yang dalam, dan itu tentang kepemimpinan dan pemegang kekuasaan politik.
Ditulis dalam akun Twitternya, Ahad malam (31/1/2021), “Ada 3 golongan manusia, yaitu “the good”, “the bad”, “the ugly”. Kalau tidak bisa menjadi “the good” janganlah menjadi “the ugly,” tuturnya.
Intinya, berpolitik itu dengan cara bermoral dan beradab. Itu inti pernyataannya. (Entah siapa yang disasarnya!)
Banyak yang lalu bertanya, meski cuma dalam hati. Jika “tuduhan” pada apa yang dilakukan Pak Moeldoko itu benar, kok gak sungkan ya beliau dengan Pak SBY, itu.
Bukankah perjalanan karir militernya sampai menjadi Kastaf AD, dan lalu Menjadi Panglima TNI, itu setidaknya kan ada jasa Pak SBY, dan itu di zaman saat presidennya Pak SBY.
Maka dijawab, juga dalam hati saja, Ya itu kan dulu. Sekarang presidennya kan sudah berganti. Era berganti, maka pilihan-pilihan dimungkinkan untuk melakukan apa saja. Tidak ada yang abadi, kecuali kepentingan. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya