Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | MURAL itu tidak sekadar hobi corat-coret tembok semaunya. Bukan juga menggambar asal gambar yang tidak bermakna. Atau hanya sekadar penghias tembok kosong dengan warna-warni laburan cat, hijau, merah, biru, hitam… dan lainnya.
Mural bisa juga jadi arena ekspresi diri atas kondisi yang ada. Maka tembok-tembok kosong, khususnya pada lokasi yang dilalui masyarakat atau yang strategis, itu jadi arena menyuarakan pendapat, dan itu kritik. Mural menjelma jadi alat penyampai kesuntukan hati terhadap berbagai persoalan hidup.
Itu bisa tentang kondisi politik, sosial dan ekonomi yang tidak diharapkan. Maka ekspresi yang ada di pikiran dilepaskan lewat goresan-goresan, yang sesuai dengan apa yang dituju. Maka gambar-gambar yang dihasilkan bisa sentilan lucu tapi telak, tapi ada juga yang ngeri-ngeri sedap.
Mural seolah menjadi media penyampai di ruang terbuka, itu tidak ubahnya sebagai “surat terbuka” pada penguasa. Semua orang bisa membacanya, seperti semua orang bisa menikmati mural berisi protes di dinding-dinding yang ada. Penguasa yang tipis telinga dan mata merah belong, akan menjadikan mural menjadi musuhnya.
Maka disiapkanlah pasukan penghapus mural yang bertebaran di mana-mana. Dan itu dengan cara ngeblok gambar yang tidak diinginkan dengan warna apa saja. Pokoknya mural itu mesti “terkubur”. Alasan penghapusan dicarikan narasi yang seolah bukan karena gambar dan isi mural itu mengkritik rezim, tapi lebih pada kesantunan.
Aneh jika tidak berpikir mengapa muncul dibanyak tempat mural yang seolah bentuk perlawanan, dan itu lewat protes. Jika penguasa bekerja sesuai harapan masyarakat, pastilah tidak akan muncul mural yang tidak diinginkan. Itu lah kritik, bentuk ketidaknyamanan yang diekspresikan, bisa lewat media apa saja, termasuk mural.
Ekspresi “pemberontakan” lewat apa saja, asal tidak merusak, itu dibenarkan. Mestinya tidak jadi larangan. Aneh juga jika pada pujian suka, tapi tidak pada kritik. Ini sih sama dengan jabatan suka, tapi jika salah mengelola jabatan yang diamanahkan tidak siap untuk diluruskan.
Mural yang coba dikubur dengan ditutup cat tebal satu warna, itu tidak lama lagi akan muncul gambar lain yang lebih menyakitkan, dan itu pasti. Apa lalu harus siapkan pasukan penjaga tembok dimana-mana, atau tembok-tembok perlu diberi CCTV, itu agar tidak ada yang berani mengekspresikan kesuntukan dengan mural.
Jika itu yang dilakukan, maka kita sebenarnya sedang menuju negara otoritarianisme, dimana hak bersuara dan berekpresi menjadi terlarang. Demokrasi yang jadi pilihan utama saat reformasi 1998 dicanangkan, itu cuma jadi bualan. Demokrasi ingin disingkirkan pelan-pelan, dan lambat laun faham otoriter, bisa jadi, akan jadi pilihan.
404: Not Found
Mural yang mirip Presiden Joko Widodo (Jokowi) muncul di Batuceper, Tangerang. Gambar yang mirip Jokowi itu pada matanya ditutup dengan tulisan 404: Not Found.
Istilah 404: Not Found, itu bermula atau dipakai oleh CERN/Dewan Eropa untuk Riset Nuklir. Konon dalam gedung CERN itu ada ruang di lantai 4 nomor 04. Jadilah dikenal 404. Di ruang 404, staf di sana diberi tugas melacak berkas-berkas. Setelah hasil didapat akan dikirim lewat sistem informasi yang sudah sangat lazim dikenal, yakni world wide web (WWW).
Berkelanjutan istilah itu dipakai, jika pada sebuah file tidak ditemukan apa yang dicari, maka muncul 404: Not Found. Tidak persis diketahui, kenapa istilah itu lalu “dicantolkan” pada seorang yang mirip Jokowi dalam mural itu. Monggo ditafsir sendiri sesukanya.
Tapi yang jelas polisi sedang memburu siapa yang “berani-berani” menggambar mural seseorang yang mirip Presiden Jokowi dengan tambahan 404: Not Found pada matanya. Alasan yang dikemukakan, sebagai lambang negara, presiden tidak boleh dihina/dilecehkan. Mulai kapan presiden itu lambang negara?
Yang jelas Kepolisian Tangerang sudah bersikap sigap dengan menutup gambar mural itu dengan mengeblok dengan cat hitam. Harusnya kasus sudah dianggap selesai, tidak perlu harus dikejar siapa pembuat mural itu, agar kasus tidak berkepanjangan.
Ada pula mural “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit”, itu muncul di sudut tembok sebuah jalan di Bangil, Pasuruan. Dan Satpol Kabupaten Pasuruan blingsatan mengejar siapa yang menggambar itu. Alasannya, melanggar peraturan. Gak jelas peraturan apa yang dilanggar, kecuali narasi yang dibangun itu “menohok” penguasa berkenaan dengan PPKM.
Seni mural akan terus jalan, bisa muncul gambar bunga-bungaan bak di taman yang indah, atau bahkan gambar dengan muatan kritik sosial. Suka-suka yang ingin menggambar apa yang ingin digambarnya, dan itu panggilan jiwa.
Mural itu muncul tentu tidak berdiri sendiri. Pastilah ada sebab yang melatarbelakangi. Mural itu cuma akibat saja dari sebab-sebab yang muncul. Karenanya, mustahil kritisisme bisa dihentikan, apa pun itu bentuknya, jika persoalan utama yang menyebabkan mural itu muncul tidak pernah jadi perhatian. Dan itu tentang keadilan, hukum, ekonomi, sosial dan seterusnya. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya