Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | PARA da’i atau penceramah, yang sebelumnya langganan tampil pada kajian-kajian dibanyak BUMN, tiba-tiba kajiannya dilarang. Fenomena baru melarang kajian agama dengan stempel radikal.
Diradikalkan, maka pengajian yang sudah dipersiapkan dibatalakan semena-mena dengan alasan tidak ada tempat pada mereka yang mengusung ajaran radikal.
Jika sebelumnya istilah radikal hanya disematkan pada da’i yang acap mengkritik rezim. Biasa disebut ulama nahi munkar. Kelompok utama yang disasar adalah Habib Rizieq Shihab dan FPI, yang lalu harus dipenjarakan dan organisasi FPI dibubarkan.
Belakangan ini isu da’i atau penceramah radikal, dibuat lebih luas. Mengena siapa saja yang bisa disasar. Bahkan da’i-da’i yang dikenal dengan Salafiyah pun distempel radikal.
Ustad Firanda dan Ustad Syafiq Basalamah, dua penceramah garda depan yang mengusung dakwah salaf, akhirnya juga distempel sebagai penceramah radikal.
Pada situasi pandemi ini, dakwah banyak dilakukan via daring. Dan menjelang Ramadhan seluruh panitia masjid mempersiapkan dakwah daring dengan sigap. Termasuk dakwah di BUMN.
Di masjid-masjid BUMN itu pun, sebelum masa pandemi, upaya pembersihan da’i radikal sudah jauh hari dilakukan. Dan itu hanya pada para da’i yang kerap mengkritik rezim. Ustad Tengku Zulkarnain salah satunya, yang tercoret jadwalnya. Sudah bertahun mengadakan kajian rutin di beberapa masjid BUMN, lalu diputus begitu saja.
Fenomena mutakhir yang viral, itu menyasar da’i-da’i Salafiyah (selanjutnya, disebut Salafi). Dimulai dari PT Pelni, yang membatalkan acara kajian Islam Ramadhan daring. Itu diselenggarkan oleh Badan Kerohanian Islam PT. Pelni. Tidak cuma acaranya dibatalkan, tapi pejabat di BUMN itu pun dicopot. Kasihan jadi pihak yang dikorbankan.
Komisaris PT Pelni, Dede Budhyarsyo, yang lalu menjelaskan duduk persoalan kenapa kajian daring itu harus dibatalkan. Katanya, langkah itu diambil sebagai sikap tegas (penolakan) pada radikalisme.
Tambahnya, pencopotan pejabat ini sekaligus peringatan bagi kalangan BUMN, agar tidak sembarangan memberi panggung pada penceramah radikal.
Orang lalu bertanya, kok anggota komisaris PT Pelni yang justru memberi keterangan, meski itu lewat cuitan di akun Twitternya, Jum’at (9 April). Dede memang sebelumnya adalah pegiat sosial pembela jokowers sejati. Jadi sikapnya itu melekat, meski ia sudah jadi pejabat komisaris.
Lobi SAS
SAS itu inisial nama dari Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU. Pak Said akhir-akhir ini aktif bicara radikal, tentu versinya. Ia katakan, bahwa Wahabi atau Salafi itu pintu masuk radikalisme.
Bahkan ia juga menganjurkan, agar di perguruan tinggi umum pelajaran akidah sebaiknya dikurangi. Sulit bisa dinalar sarannya itu. Tapi tentu bukan bagi pengambil kebijakan, bahkan bisa jadi itu masukan yang akan dituangkan dalam kebijakan.
Pak Said memang mengunduh ilmu di Umul Quro’, ia dipintarkan di sana, di negeri “Wahabi”, Saudi Arabia. Tapi Pak Said ini orang langka, bukannya ia simpati pada dakwah Wahabi atau setidaknya tidak bersungut, tapi justru ia orang paling sengit memusuhinya. Ia bisa diserupakan, bagai kacang lupa kulitnya.
Sebagai ketua umum sebuah Ormas Islam terbesar, Pak Said punya kedudukan istimewa di mata rezim. Dan itu lumrah. Ormas Islam yang dipimpinnya itu lumbung suara bagi kandidat siapa saja yang akan maju dari mulai Bupati/Wali kota, Gubernur sampai Presiden. NU sebagai Ormas Islam terbesar menjadi ormas yang diperebutkan.
Maka bukan saja NU sebagai ormas yang harus “dirawat”, tapi juga ketua umumnya. Itu bisa dilihat dari posisi Pak Said, yang lalu diangkat sebagai Komisaris Utama PT KAI. Pak Said duduk sebagai Komut itu, tentu bukan karena kepakarannya dibidang perkeretaapian, tapi lebih pada “hadiah” yang memang pantas didapatnya.
Pak Said menjadi kekuatan tersendiri, yang “dimuliakan” atau bisa disebut “difasilitasi” rezim ini dengan baik. Suaranya didengar, dan bisa langsung jadi kebijakan. Maka gerakan menstempel para da’i yang berseberangan dengan ubudiah nahdliyin (NU) bisa jadi dari masukan yang diberikannya.
Maka, jika di era Pak Tito Karnavian, saat menjadi Kapolri, ia mampu “memanjakan” para da’i Salafi, yang memang “mengharamkan” mengkrtik rezim yang berkuasa. Dakwah yang lebih dikhusukan mengembalikan kemurnian Islam. Dakwahnya lalu “menghantam” ajaran yang menambah-nambah ajaran yang tidak diajarkan Rasulullah.
Dakwah Salafi lalu menjadi berhadap-hadapan dengan NU. Menyulut benturan di sana-sini. Itulah konsekuensi dari dakwah yang dipilihnya. Tidak bersentuhan dengan rezim, tapi berhadap-hadapan dengan nahdliyin dengan jumlah umat tidak sedikit.
Dakwah Salafi itu nggeremet jalan perlahan seperti kura-kura, dan tiba-tiba hadir di masjid-masjid yang “ditinggal” umatnya. Setelah dakwah semarak di masjid itu, maka terjadi keributan dengan teriakan, Masjid kami dirampas, diduduki… dan terjadi gesekan di masyarakat.
Manhaj dakwah Salafi memang menghunjam jantung ubudiah nahdliyin, yang lalu mau tidak mau mengoreksi, lalu muncul ini bid’ah-itu bid’ah. Mestinya cukup dengan adu dalil selesai. Tapi ini tidak, entah sampai kapan.
Lobi Pak Said bisa dipastikan yang mentorpedo para da’i Salafi itu terusir dari masjid-masjid BUMN. Dakwah Salafi yang “mengharamkan” mengkritik rezim, dan konsen pada dakwah kemurnian ajaran Islam, itu pun lalu mesti diradikalkan.
Suara Pak Said tentu lebih didengar, meski rezim tahu bahwa dakwah Salafi itu aman buat kekuasaannya. Tapi bagaimana lagi, pilihan harus dipilih, dan lobi Pak Said dengan gerbong NU nya, yang lalu terpilih… Wallahu a’lam. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya