oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | INI bukan Taliban di Afghanistan, sebuah gerakan Islam Sunni garda depan yang dianggap puritan. Ini tentang sekelompok mereka yang bekerja di KPK, dan mendapat julukan Taliban. Lebih pada julukan olok-olok, karena penampilan Novel Baswedan dengan jenggotnya yang terurai cukup lebat.
Orang mengatakan, apa jadinya jika KPK tanpa kelompok yang disebut taliban itu. Siapa pencetus julukan “taliban”, itu kurang jelas siapa pemulanya, atau siapa yang memulai mempopulerkan sebuah faksi KPK bernama taliban. Tapi yang jelas itu julukan “menyesatkan”, dan tampaknya diniatkan dikonotasikan negatif.
Kaum taliban dikonotasikan pada Penyidik Senior KPK, khususnya Novel Baswedan dan mereka yang bekerja di sana dengan integritas tinggi. Bekerja sepenuh hati dalam “menghajar” koruptor tanpa ampun. Menjadi aneh kalau lalu integritas mereka itu dikecilkan dengan sebutan sinis taliban.
Bubarkan Saja KPK
Tidak bisa dihitung betapa jasa “kelompok taliban” itu buat KPK. Maka pertanyaan, akan jadi apa KPK tanpa mereka, itu jadi relevan ditanyakan. Tanpa mereka, yang menurut kabar yang hampir pasti, mereka akan terusir dari KPK. Ada sekitar 75 pegawai KPK yang berintegritas, termasuk penyidik, yang dinyatakan gagal dalam tes wawasan kebangsaan (TWK), termasuk Novel Baswedan.
TWK itu tampaknya upaya akal-akalan untuk menyingkirkan “kaum taliban”. TWK ini memang bagian dari alih status pegawai KPK menjadi Aparat Sipil Negara (ASN), yang diatur dalam Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
“Tes ini upaya untuk menyingkirkan pegawai independen, diantaranya penyidik dan penyelidik yang diangkat oleh KPK,” ujar Novel saat ditanya Tempo.co soal pemecatannya.
Segala cara untuk melemahkan KPK dilakukan, dan Undang-undang KPK hasil revisi 2019 itu biang keroknya. Maka janganlah berharap dari lembaga anti rasuah itu. Pantaslah dengan kekecewaannya, Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum Tata Negara UGM, mengatakan, “Bubarkan saja KPK.”
Juga mantan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto pun geram melihat KPK yang sedang dilemahkan. Begini katanya, “Pembusukan di KPK makin degil dan bengis. Insan terbaik di KPK tengah disingkirkan. Mereka yang menegakkan marwah KPK dihabisi. Padahal ada belasan kasus mega korupsi yang sedang diperiksa mereka…,” ujarnya.
Revisi Undang-undang KPK awal pintu masuk melemahkan, dan menjadikan mereka ASN. Maka pegawai yang direkrut secara independen tidak ada lagi. Maka, TWK itulah alat menjegal kelompok taliban dari KPK. Pemecatan dengan dalih tidak lulus tes.
Sholat Pakai Qunut atau Tidak
Materi TWK banyak yang gak nyambung dengan substansi pada pekerjaan mereka di lembaga anti rasuah. Menjadi aneh saat yang ditanyakan adalah pandangan mereka tentang Habib Rizieq Shihab (HRS), FPI, HTI, bahkan kalau sholat shubuh pakai qunut atau tidak.
Dan buzzer Denny Siregar yang sok tahu itu mengatakan, bahwa dia dapat bocoran, mereka yang tidak lulus TWK, itu jatuh pada soal HRS. Katanya, ternyata mereka masih banyak yang suka HRS.
Lalu, pertanyaan yang menyasar khilafiyah dalam keberagamaan, berkenaan dengan sholat shubuh pakai qunut atau tidak. Apa Badan Kepegawaian Nasional (BKN) itu punya parameter, jika sholat pakai qunut itu Islam moderat. Dan itu diwakili Omas Islam NU. Sedang yang tidak pakai qunut itu radikal? Tahu tidak kalau ubudiyahnya HRS itu memakai qunut, sama dengan NU. Lalu apa bisa disimpulkan, bahwa HRS itu moderat. BKN masuk pada wilayah sensitif yang sepertinya diskenariokan. Upaya mendikotomikan muslim dilihat dari pakai dan tidak pakai qunut.
TWK yang dilakukan BKN, ini mengingatkan lembaga sejenis di era Orde Baru, Litsus, guna menyelidiki seseorang berfaham komunis atau tidak. Jadi FPI di era rezim Jokowi ini coba disamakan dengan PKI, yang sama-sama terlarang. Dan apa Habib Rizieq Shihab juga diperhadapkan dengan DN Aidit. Apa skenarionya akan dimainkan ke sana?
Ada lagi yang absurd, dimana Ketua KPK mengatakan, bahwa dokumen dari BKN belum dibukanya, masih tersegel rapi. Tapi orang diluaran sudah tahu siapa yang tersingkir dari KPK. Lantas untuk apa dokumen itu tidak dibukanya, apa menunggu respons masyarakat anti korupsi dulu.
Maka pertanyaan, bagaimana KPK tanpa “kelompok taliban”, itu memang belum bisa dijawab dengan tepat. Tapi setidaknya pastilah KPK sulit bisa memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Kalau begitu untuk apa dipertahankan lembaga anti rasuah itu, bubarkan saja KPK. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya