Oleh: Muzayyin Marzuqi
hidayatullah.com–Hari-hari ini warga Indonesia beramai-ramai memperingati Hari Kemerdekaan RI ke-64. Dari sudut desa terpencil sampai pusat kota, sibuk memasang umbul-umbul, bendera atau mengadakan acara. Pernyataan menarik yang sering keluar dari berbagai pidato peringatan adalah, “perayaan hari Kemerdekaan RI sebagai bentuk mengenang jasa pahlawan” kita.
Sayangnya, peringatan yang seringkali menelan dana tak sedikit itu, hanya berakhir atau berdampak sia-sia. Hanya sekadar kesenangan sementara yang tak berbekas.
Berbagai macam cara dapat dilakukan untuk memperingati Hari Kemerdekaan RI ke- 64 tahun ini. TNI Angkatan Laut memeriahkannya dengan menggelar Upacara Bendera di Bawah Laut yang dilakukan oleh berbagai penyelam seluruh dunia. Jumlahnya tak main-main, sekitar 2600 orang penyelam di Pantai Malalayang, Manado.
Sejumlah kelompok lain, merayakan Hari Kemerdekaan dan menggelar upacara di dalam perut bumi. Mereka mengadakan upacara, menyanyikan lagu Indonesia Raya, mengucapkan Pancasila, dan membacakan naskah Proklamasi di dalam gua, 25 meter dari permukaan tanah.
Tepatnya di komplek gua Buniayu, Kabupaten Sukabumi. Lantas apa kira-kira hasil yang diperoleh selain sekadar kesenangan sesaat atau rekor pujian yang hanya ditaruh di secarik kertas? Kesenangan sesaat, wah, atau pujian, belum tentu menunjukkan semangat nasionalisme atau sikap mentauladani bagaimana dulu perjuangan ini dipertaruhkan dengan darah dan harga diri.
Rahmat dan Keteladanan
Seorang ulama Palestina, As-Syahid Dr Abdullah Azam, pernah menjelaskan tentang perjuangan fisik melawan penjajah. Barangkali, ini termasuk bentuk perlawanan, baik fisik maupun nonfisik, yang dilakukan oleh para pahlawan kita terhadap penjajah Belanda maupun Jepang terdahulu.
Menurut Dr Abdullah Azam, perlawanan mengusir penjajah dapat dikategorikan sebagai jihad. Jihad yang secara lughowi berarti berusaha sungguh-sungguh, namun secara istilah beliau mendefinisikan dengan, “Ittafaqot al aimmatul arba’atu annal jihaada huwal qitaalu wal ‘aunu fii hi” (Para Imam madzahibul arba’ah bersepakat bahwa jihad adalah qital/perang dan memberikan bantuan dalam urusan peperangan”.
Syeikh Shofiyur Rohman Almubarokfuri dalam bukunya Ar rohiiqul Makhtuum, ketika menggambarkan awal periode Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah, beliau memulai dengan Jihadud Da’wah, yakni jihad dalam bidang da’wah.
Hal ini juga disebutkan dalam firman Allah surat Al-Furqon ayat: 52, yang tergolong dalam surat makiyah, “Falaa thu thi’il kaa firiina wa ja jaahid hum bihi jihaadan kabii ra.” (Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar).
Persoalannya sekarang adalah bagaimana berusaha mengisi kemerdekaan negeri kita yang sudah lewat lebih dari enam dasa warsa itu dengan berbagai kegiatan dan juga konsep kegiatan yang benar benar dapat dipertanggungjawabkan dan termasuk dalam bingkai mensyukuri ni’mat kemerdekaan, yang diakui para founding fathers bangsa dalam mukadimah Undang undang Dasar 1945 sebagai berkat rahmat Allah yang maha kuasa.
Senada dengan perjuangan Rasulullah dalam menyampaikan dakwah, perjuangan bangsa Indonesia (khususnya para pahlawan kita) dalam melawan dan mengusir penjajah dari bumi Indonesia ini adalah semangat untuk menegakkan kedaulatan, harkat, martabat bangsa, bahkan ideologi. Sesuatu yang tak ringan.
Semangat ideologi ini jelas tercermin dalam mukadimah Proklamasi. “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka dengan ini rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya….”
Untuk mencermati makna Kemerdekaan yang diakui oleh para bapak bangsa sebagai berkat dan rahmat dari Allah itu, baik kiranya kalau kita membaca lebih dalam kandungan firman Allah dalam surat al Qashash ayat 5, surat al-Nur ayat 55 dan surat al Anfal ayat 26. Surat al Qashash ayat 5 itu menyatakan, “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang yang mewarisi”.
Disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir dan juga tafsir al Baidhowi, berkaitan dengan ayat ini bahwa, setelah Bani Israil mengalami berbagai penindasan yang dilakukan oleh Fir’aun, maka akhirnya Allah menenggelamkan Fir’aun beserta bala tentaranya ke dalam laut, kemudian Allah mengkaruniakan kepada Bani Israil negeri Mesir, termasuk juga Syam.
Adapun dalam surat an Nur ayat 55, Allah memberikan janji tiga hal kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh yaitu: kekuasaan, tegaknya agama Allah, dan keamanan. Kalau menoleh kepada kehidupan Rasulullah beserta para sahabat, kiranya janji itu telah terbukti setelah mereka berhijrah ke Madinah. Sebelumnya, mereka hidup sebagai umat Islam tertindas di negeri sendiri (Makkah) 13 tahun lamanya. Sebagaimana hal ini diingatkan kembali oleh Allah dalam surat al Anfal ayat 26, setelah baru beberapa saat masa penindasan itu berlalu, “Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi (Makkah), kamu takut orang orang (Makkah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikanNya kamu kuat dengan pertolanganNya dan diberiNya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.”
Dari beberapa ayat tadi dapatlah ditarik beberapa kesimpulan, di antaranya bahwa generasi awal Islam, yang dalam hal ini nabi beserta para sahabat (semoga Allah meridai mereka), pernah mengalami dua tahap besar dalam perjuangan da’wah menegakkan agama Allah. Tahap pertama adalah masa-masa ketertindasan selama di Makkaah yang memakan waktu sekitar 13 tahun, dan tahap kedua adalah ketika kaum muslimin Makkaah mendapatkan tempat baru sebagai Darul Hijroh, (untuk menyelamatkan jiwa dan keyakinan) yaitu Madinah.
Jika kita memaknai merdeka dengan mengambil hikmah dari surat Al-Qoshosh ayat 5 di atas, berarti sekurang kurangnya ada tiga kriteria meraih “Kemerdekaan” di dalamnya. Pertama, dapat meraih kekuasaan setelah mentas dari ketertindasan, Kedua, tegaknya seluruh ajaran Agama yang diridai Allah, yaitu Islam, dan yang, Ketiga adalah tercapainya suasana yang aman dan nyaman setelah sebelumnya harus mengalami suasana-suasana yang mencekam, menakutkan, dan serba tidak menentu.
Dalam konteks negara kita, mana dari tiga kriteria “Kemerdekaan” di atas yang sudah kita laksanakan dan sudah terpenuhi sejak 64 tahun yang lalu?
Jauh dari Kufur
Bangsa kita telah terbebas secara fisik dari penjajahan asing Belanda maupun Jepang. Situasi internal negeri kitapun relatif sangat aman dan nyaman bila ukurannya adalah zaman penjajahan. Dan, ajaran Islam yang berkaitan dengan urusan pribadi, keluarga, dan kemasyarakatan juga telah tegak, meski baru sebagian. Namun, syariat menuntut kita agar ajaran Agama ditegakkan seluruhnya. Allah berfrman :”Hai orang-orang yang beriman masuklah ke dalam Islam secara kafah, dan jangan mengikuti langkah-langkah syetan, sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu,” (QS. Al-Baqara: 208).
Maka, wajarlah bila para founding fathers bangsa dulu, yang di antaranya Kiayi Wahid Hasjim dan Ki Bagus Hadi Koesoemo, berjuang mati-matian agar seluruh syariat berjalan di negara kita. Meski hal tersebut hanya tetap menjadi wacana hingga kini, namun hal tersebut cukup membuktikan betapa sangat tingginya kesadaran religius dari para pendahulu kita. Dan, tugas kita para anak bangsa inilah untuk menyempurnakannya.
Kemudian, untuk mengisi lebih lanjut kemerdekaan kita agar lebih bernilai syukur dan sekaligus terjauh dari muatan-muatan kufur, kiranya dua hal perlu dipertimbangkan. Pertama, pencapaian utama yang pernah diraih oleh para perintis Kemerdeakaan. Dan yang kedua adalah meneladani jejak langkah Rasulullah sholalallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau sampai pada titik perjuangan yang secara “de fakto” telah meraih otoritas untuk menentukan warna, arah, bahkan nama masyarakat Yasrib, yang akhirnya diganti dengan nama Madinah.
Para founding fathers kita dulu, satu bulan sebelum diproklamasikan kemerdekaan negara, telah dengan serius membahas dan memperdebatkan Undang Undang Dasar (UUD), yang nantinya akan dipakai sebagai landasan berdirinya negara kita ini. Dalam perdebatan itu telah disepakati satu klausul yang berisikan tujuh kata, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Meski karena suatu sebab, klausul tersebut tidak jadi dimasukkan dalam batang tubuh Undang- Undang Dasar, namun yang perlu disadari bahwa, ditawarkannya hingga sempat diterimanya klausul tersebut oleh pihak pihak otoritas, merupakan prestasi perjuangan politis yang tidak cukup hanya untuk selalu kita kenang, akan tetapi kita perlu menjadikannya sebagai titik tolak (starting point), yang darinya kita melanjutkan perjuangan mengisi Kemerdekaan, khususnya di bidang politik dan pendidikan.
Dan sebagai umat Islam, kita mesti mempertimbangkan bahwa semua sepak terjang kita haruslah dalam kerangka ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, termasuk di dalamnya urusan perjuangan mengisi kemerdekaan. Di samping itu kita dituntut untuk meneladani jejak langkah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperjuangkan hak untuk hidup, sekaligus hak untuk menentukan nasib sendiri (dalam bahasa sekarang, bukan dalam bahasa akidah). Maka ke arah itulah semestinya perjuangan para pahlawan itu kita teladani.[MM/hidayatullah.com]
Penulis adalah Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Institut Studi Islam Darussalam Gontor
Oleh: Muzayyin Marzuqi
hidayatullah.com–Hari-hari ini warga Indonesia beramai-ramai memperingati Hari Kemerdekaan RI ke-64. Dari sudut desa terpencil sampai pusat kota, sibuk memasang umbul-umbul, bendera atau mengadakan acara. Pernyataan menarik yang sering keluar dari berbagai pidato peringatan adalah, “perayaan hari Kemerdekaan RI sebagai bentuk mengenang jasa pahlawan” kita.
Sayangnya, peringatan yang seringkali menelan dana tak sedikit itu, hanya berakhir atau berdampak sia-sia. Hanya sekadar kesenangan sementara yang tak berbekas.
Berbagai macam cara dapat dilakukan untuk memperingati Hari Kemerdekaan RI ke- 64 tahun ini. TNI Angkatan Laut memeriahkannya dengan menggelar Upacara Bendera di Bawah Laut yang dilakukan oleh berbagai penyelam seluruh dunia. Jumlahnya tak main-main, sekitar 2600 orang penyelam di Pantai Malalayang, Manado.
Sejumlah kelompok lain, merayakan Hari Kemerdekaan dan menggelar upacara di dalam perut bumi. Mereka mengadakan upacara, menyanyikan lagu Indonesia Raya, mengucapkan Pancasila, dan membacakan naskah Proklamasi di dalam gua, 25 meter dari permukaan tanah.
Tepatnya di komplek gua Buniayu, Kabupaten Sukabumi. Lantas apa kira-kira hasil yang diperoleh selain sekadar kesenangan sesaat atau rekor pujian yang hanya ditaruh di secarik kertas? Kesenangan sesaat, wah, atau pujian, belum tentu menunjukkan semangat nasionalisme atau sikap mentauladani bagaimana dulu perjuangan ini dipertaruhkan dengan darah dan harga diri.
Rahmat dan Keteladanan
Seorang ulama Palestina, As-Syahid Dr Abdullah Azam, pernah menjelaskan tentang perjuangan fisik melawan penjajah. Barangkali, ini termasuk bentuk perlawanan, baik fisik maupun nonfisik, yang dilakukan oleh para pahlawan kita terhadap penjajah Belanda maupun Jepang terdahulu.
Menurut Dr Abdullah Azam, perlawanan mengusir penjajah dapat dikategorikan sebagai jihad. Jihad yang secara lughowi berarti berusaha sungguh-sungguh, namun secara istilah beliau mendefinisikan dengan, “Ittafaqot al aimmatul arba’atu annal jihaada huwal qitaalu wal ‘aunu fii hi” (Para Imam madzahibul arba’ah bersepakat bahwa jihad adalah qital/perang dan memberikan bantuan dalam urusan peperangan”.
Syeikh Shofiyur Rohman Almubarokfuri dalam bukunya Ar rohiiqul Makhtuum, ketika menggambarkan awal periode Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah, beliau memulai dengan Jihadud Da’wah, yakni jihad dalam bidang da’wah.
Hal ini juga disebutkan dalam firman Allah surat Al-Furqon ayat: 52, yang tergolong dalam surat makiyah, “Falaa thu thi’il kaa firiina wa ja jaahid hum bihi jihaadan kabii ra.” (Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar).
Persoalannya sekarang adalah bagaimana berusaha mengisi kemerdekaan negeri kita yang sudah lewat lebih dari enam dasa warsa itu dengan berbagai kegiatan dan juga konsep kegiatan yang benar benar dapat dipertanggungjawabkan dan termasuk dalam bingkai mensyukuri ni’mat kemerdekaan, yang diakui para founding fathers bangsa dalam mukadimah Undang undang Dasar 1945 sebagai berkat rahmat Allah yang maha kuasa.
Senada dengan perjuangan Rasulullah dalam menyampaikan dakwah, perjuangan bangsa Indonesia (khususnya para pahlawan kita) dalam melawan dan mengusir penjajah dari bumi Indonesia ini adalah semangat untuk menegakkan kedaulatan, harkat, martabat bangsa, bahkan ideologi. Sesuatu yang tak ringan.
Semangat ideologi ini jelas tercermin dalam mukadimah Proklamasi. “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka dengan ini rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya….”
Untuk mencermati makna Kemerdekaan yang diakui oleh para bapak bangsa sebagai berkat dan rahmat dari Allah itu, baik kiranya kalau kita membaca lebih dalam kandungan firman Allah dalam surat al Qashash ayat 5, surat al-Nur ayat 55 dan surat al Anfal ayat 26. Surat al Qashash ayat 5 itu menyatakan, “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang yang mewarisi”.
Disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir dan juga tafsir al Baidhowi, berkaitan dengan ayat ini bahwa, setelah Bani Israil mengalami berbagai penindasan yang dilakukan oleh Fir’aun, maka akhirnya Allah menenggelamkan Fir’aun beserta bala tentaranya ke dalam laut, kemudian Allah mengkaruniakan kepada Bani Israil negeri Mesir, termasuk juga Syam.
Adapun dalam surat an Nur ayat 55, Allah memberikan janji tiga hal kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh yaitu: kekuasaan, tegaknya agama Allah, dan keamanan. Kalau menoleh kepada kehidupan Rasulullah beserta para sahabat, kiranya janji itu telah terbukti setelah mereka berhijrah ke Madinah. Sebelumnya, mereka hidup sebagai umat Islam tertindas di negeri sendiri (Makkah) 13 tahun lamanya. Sebagaimana hal ini diingatkan kembali oleh Allah dalam surat al Anfal ayat 26, setelah baru beberapa saat masa penindasan itu berlalu, “Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi (Makkah), kamu takut orang orang (Makkah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikanNya kamu kuat dengan pertolanganNya dan diberiNya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.”
Dari beberapa ayat tadi dapatlah ditarik beberapa kesimpulan, di antaranya bahwa generasi awal Islam, yang dalam hal ini nabi beserta para sahabat (semoga Allah meridai mereka), pernah mengalami dua tahap besar dalam perjuangan da’wah menegakkan agama Allah. Tahap pertama adalah masa-masa ketertindasan selama di Makkaah yang memakan waktu sekitar 13 tahun, dan tahap kedua adalah ketika kaum muslimin Makkaah mendapatkan tempat baru sebagai Darul Hijroh, (untuk menyelamatkan jiwa dan keyakinan) yaitu Madinah.
Jika kita memaknai merdeka dengan mengambil hikmah dari surat Al-Qoshosh ayat 5 di atas, berarti sekurang kurangnya ada tiga kriteria meraih “Kemerdekaan” di dalamnya. Pertama, dapat meraih kekuasaan setelah mentas dari ketertindasan, Kedua, tegaknya seluruh ajaran Agama yang diridai Allah, yaitu Islam, dan yang, Ketiga adalah tercapainya suasana yang aman dan nyaman setelah sebelumnya harus mengalami suasana-suasana yang mencekam, menakutkan, dan serba tidak menentu.
Dalam konteks negara kita, mana dari tiga kriteria “Kemerdekaan” di atas yang sudah kita laksanakan dan sudah terpenuhi sejak 64 tahun yang lalu?
Jauh dari Kufur
Bangsa kita telah terbebas secara fisik dari penjajahan asing Belanda maupun Jepang. Situasi internal negeri kitapun relatif sangat aman dan nyaman bila ukurannya adalah zaman penjajahan. Dan, ajaran Islam yang berkaitan dengan urusan pribadi, keluarga, dan kemasyarakatan juga telah tegak, meski baru sebagian. Namun, syariat menuntut kita agar ajaran Agama ditegakkan seluruhnya. Allah berfrman :”Hai orang-orang yang beriman masuklah ke dalam Islam secara kafah, dan jangan mengikuti langkah-langkah syetan, sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu,” (QS. Al-Baqara: 208).
Maka, wajarlah bila para founding fathers bangsa dulu, yang di antaranya Kiayi Wahid Hasjim dan Ki Bagus Hadi Koesoemo, berjuang mati-matian agar seluruh syariat berjalan di negara kita. Meski hal tersebut hanya tetap menjadi wacana hingga kini, namun hal tersebut cukup membuktikan betapa sangat tingginya kesadaran religius dari para pendahulu kita. Dan, tugas kita para anak bangsa inilah untuk menyempurnakannya.
Kemudian, untuk mengisi lebih lanjut kemerdekaan kita agar lebih bernilai syukur dan sekaligus terjauh dari muatan-muatan kufur, kiranya dua hal perlu dipertimbangkan. Pertama, pencapaian utama yang pernah diraih oleh para perintis Kemerdeakaan. Dan yang kedua adalah meneladani jejak langkah Rasulullah sholalallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau sampai pada titik perjuangan yang secara “de fakto” telah meraih otoritas untuk menentukan warna, arah, bahkan nama masyarakat Yasrib, yang akhirnya diganti dengan nama Madinah.
Para founding fathers kita dulu, satu bulan sebelum diproklamasikan kemerdekaan negara, telah dengan serius membahas dan memperdebatkan Undang Undang Dasar (UUD), yang nantinya akan dipakai sebagai landasan berdirinya negara kita ini. Dalam perdebatan itu telah disepakati satu klausul yang berisikan tujuh kata, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Meski karena suatu sebab, klausul tersebut tidak jadi dimasukkan dalam batang tubuh Undang- Undang Dasar, namun yang perlu disadari bahwa, ditawarkannya hingga sempat diterimanya klausul tersebut oleh pihak pihak otoritas, merupakan prestasi perjuangan politis yang tidak cukup hanya untuk selalu kita kenang, akan tetapi kita perlu menjadikannya sebagai titik tolak (starting point), yang darinya kita melanjutkan perjuangan mengisi Kemerdekaan, khususnya di bidang politik dan pendidikan.
Dan sebagai umat Islam, kita mesti mempertimbangkan bahwa semua sepak terjang kita haruslah dalam kerangka ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, termasuk di dalamnya urusan perjuangan mengisi kemerdekaan. Di samping itu kita dituntut untuk meneladani jejak langkah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperjuangkan hak untuk hidup, sekaligus hak untuk menentukan nasib sendiri (dalam bahasa sekarang, bukan dalam bahasa akidah). Maka ke arah itulah semestinya perjuangan para pahlawan itu kita teladani.[MM/hidayatullah.com]
Penulis adalah Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Institut Studi Islam Darussalam Gontor