Oleh: Novi Arian
MESKI Standar Program Siaran (SPS), siaran iklan dilarang memperagakan wujud rokok juga dilarang tayang di luar pukul 21.30-05.00, di beberapa stasiun televisi, masih ada iklan rokok.
Iklan rokok masih menjadi magnet media massa untuk meraup iklan. Bahkan menurut AC Nielsen Media Research, belanja iklan rokok di negeri kita menduduki peringkat (rating) kedua sebesar Rp 100 triliun (2012), naik berlipat ganda dibanding 2007 sebesar Rp 1,5 triliun. Iklan rokok di televisi kita saat ini terbilang cukup signifikan, yakni mencapai 5 persen dari total belanja iklan, terutama free to air (FTA) TV. Bayangkan, dari 10 TV FTA di Indonesia pada 2014, belanja iklan mencapai Rp 15 triliun. Porsi iklan rokok yang mencapai 5 persen dari total belanja iklan itu berarti sekitar Rp 750 miliar.
Riset Media Partners Asia Database (2014-2015) mengestimasi belanja iklan bersih di Indonesia tahun ini mencapai US$ 3 miliar atau Rp 39 triliun (di semua jenis media), dengan iklan rokok memberikan kontribusi sekitar 4,6 persen. [tempo.co, Larangan Iklan Rokok di Televisi, Kamis, 28 MEI 2015]
Baru-baru ini, secara tidak sengaja saya melihat iklan rokok. Secara teknis, sebenarnya materi iklan kurang berhasil membangkitkan awareness buat saya yang bukan perokok.
Kalau kebanyakan audience seperti saya yang lupa merek tapi ingat narasi. Apakah berarti iklan tadi tidak berhasil atau justru sebaliknya?
Dalam dunia advertising ada istilah yang disebut dengan “subliminal message”. Iklan rokok memang tidak menampilkan bentuk batang rokok yang menggoda, kemasan rokok, atau penampakan pria maskulin yang merem-melek menikmati gurihnya nikotin, bahkan nama merek saja tidak mendapatkan penekanan berarti dalam tayangan sekitar 30 detik itu.
Team product development mereka tahu betul, bahwa jualan rokok sebenarnya bukan hanya soal rasa atau bentuk. It’s more about value!
Nah, value inilah yang coba disampaikan merasuk ke dalam alam bawah sadar melalui teknik yang disebut subliminal message tadi. Konon efeknya lebih efektif dan permanen, apalagi kalau dilihat secara berulang-ulang.
Misalnya dalam iklan disampaikan kalimat seperti ini; “Jangan biarkan dunia mengaturmu, hidupmu terlalu berharga untuk mengikuti alur orang lain.”
Visualisasinya begini: Sekumpulan anak muda bergotong-royong melakukan kegiatan yang tak masuk akal, seperti memindahkan rumah atau gunung. Kalau diperhatikan, value yang yang mereka ajak sebenarnya mudah ditebak “kebebasan dan perlawanan secara bersungguh-sungguh”.
Lalu kenapa produsen rokok perlu menyampaikan value itu?
Memang tantangan terbesar industri rokok saat ini adalah masivenya kampanye anti rokok seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan. Itulah kompetisi sesungguhnya buat mereka. Value “perlawanan dan kebebasan” adalah bentuk anti-campaign yang disampaikan secara halus dan tersembunyi kemudian coba dimasukan melalui alam bawah sadar kita. Sebagian bahkan merasa iklan rokok pesannya lebih baik daripada iklan produk lain yang dianggap kurang mendidik.
Padahal, value kebersamaan dan perlawanan dalam iklan rokok adalah bentuk abstrak dari kalimat “Merokoklah atau tetaplah merokok, Jangan mau diatur, jangan mau ikut-ikutan!”
Itulah tujuan pesan sebenarnya dari iklan rokok yang kebetulan saya lupa namanya.
Sebuah artikel ilmiah mengklasifikasikan industri rokok di negara maju sebagai bagian dari kategori “Sin Industry” seperti layaknya industri prostitusi atau pornografi. Alasannya ada, setelah melakukan survey kepada sejumlah perokok, peneliti menemukan bahwa para perokok di sana merasa hidup dalam kesendirian, asosial, semacam terisolasi dari lingkungan.
Survey sejenis juga menunjukan bahwa bahkan mereka para perokok punya rasa malu meskipun dengan sesama perokok sendiri ketika mereka merokok di depan umum.
Itulah mengapa advertiser rokok di sana lebih menekankan value “ketenangan dan bangga dalam kesendirian”. Perhatikan deh iklan rokok Marlboro, “Kamu tetap keren walaupun kesepian” itu pesannya.
Ini berbeda dengan gaya iklan rokok di sini, sebagian produsen malah vulgar menekankan value “kebersamaan”.
Kalau di sana orang yang malu merokok dibangkitkan kebanggaannya, di sini (di Indonesia) orang malah diajak ramai-ramai melawan rasa malu.
Selain iklan yang saya ceritakan di atas, masih ingat kan, tagline produk rokok yang bunyinya, “Asyiknya rame-rame” ? Nah, kurang lebih value yang ditawarkan sama:
“Yuk, kita bersama-sama melawan (kampanye anti rokok)”!
Jadi, selama iklan rokok ada, jangan heran kalau industri rokok di sini akan tetap tumbuh subur, karena value yang dibentuk (lewat iklan) telah secara empiris terbukti merubah sikap dan perilaku manusia dimana dampaknya bisa lebih kuat dari rasa malu bahkan akal sehat sekalipun.*
Penulis pemerhati marketing, mahasiswa pascasarjana UI tinggal di Depok