Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | HABIB Rizieq Shihab membacakan pledoi atas “kasus data swab”, Kamis (10/Juni), yang menjadikan dirinya dituntut 6 tahun penjara. Membaca dengan suara menggelegar, yang terdengar bukan saja di gedung Pengadilan Negeri (PN).Jakarta Timur, tapi hingga pelosok negeri dan bahkan manca negara.
Pada pledoi itu Habib Rizieq menyebut bahwa ada operasi intelejen hitam yang menjadikan ia diperlakukan dengan tidak selayaknya. Ia sampaikan semuanya runtut, tanpa merasa ada ketakutan. Maka nama-nama dimunculkan. Ada Wiranto, yang saat itu menjadi Menko Polhukam, ada Tito Karnavian, yang saat itu sebagai Kapolri, dan ada pula Budi Gunawan, Kepala BIN. Dari yang disebut itu, dua orang menemuinya, baik di Mekkah maupun Jeddah, Saudi Arabia. Dua orang itu adalah Tito Karnavian dan Budi Gunawan.
Sedang Wiranto yang aktif mengontak Habib Rizieq dari Indonesia lewat sambungan telepon. Dua orang yang disebut itu menemuinya, lalu membuat kesepakatan. Deal. Semuanya berjalan lancar, bahwa ia boleh balik ke Indonesia tapi dengan syarat tidak ikut politik praktis pada Pilpres 2019. Ia juga menyebut KH Ma’ruf Amien, yang kala itu sebagai Ketua Umum MUI, sebagai pihak yang menandatangani kesepakatan sebagai saksi antara pemerintah dan Habib Rizieq Shihab.
Tapi kesepakatan itu berantakan oleh operasi intelejen hitam, bukannya ia boleh balik ke tanah air, tapi justru operasi itu “bekerjasama” dengan pemerintah Saudi Arabia untuk mencekalnya. Siapa yang terlibat dalam operasi intelejen hitam itu, tentu sulit untuk dibuktikan saat-saat ini. Saat bandul kekuasaan begitu kuatnya untuk tidak memberikan ruang keadilan sedikitpun padanya. Tapi disebutkannya nama-nama itu, tentu bukan isapan jempol. Bukti-bukti pertemuan dan kesepakatan yang dihasilkan dalam pertemuan itu, tentu bukti otentiknya ada padanya. Tidak bicara asal bicara.
Baca: Habib Rizieq, Itu Seperti Juga Soekarno Saat Mencari Keadilan dengan “Indonesia Menggugat”
Habib Rizieq juga menyebut nama Diaz Hendropriyono, yang selaku Staf Khusus Presiden Joko Widodo, terlibat dalam penghilangan nyawa 6 laskar FPI. Ia sebut dengan lantang tanoa ragu. Ia sebutkan beberapa bukti keterlibatannya. Dan ia sampaikan, bahwa Diaz ini yang menghendaki ia “dikandangkan” selama mungkin. Maka muncullah tuntutan sadis jaksa penuntut umum 6 tahun penjara padanya.
Diaz Hendropriyono adalah putra ketiga master of intelligence Jendral (Pur) AM Hendropriyono. Dan adik ipar dari Jenderal Andhika Pratama (Kastaf AD). Ia juga Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), partai yang didirikan almarhum Jenderal Edi Sudrajat. Sebelum Diaz, sebagai ketua umum PKPI adalah ayahnya sendiri, Hendropriyono.

Jadi Diaz secara politik saat ini memang kuat sekali. Sebagai orang dekat Presiden Jokowi, anak jenderal yang meski sudah pensiun tapi masih kuat pengaruhnya. Disamping itu adik ipar dari Jenderal Andhika Pratama, Kastaf AD. Maka apa yang disampaikan Habib Rizieq, bahwa Diaz terlibat dalam pembunuhan 6 laskar FPI, dan upayanya juga yang menginginkan ia di penjara selama mungkin, tentu punya dasar jika melihat posisi politik Diaz itu.
Juga disebut pula nama Letjen Dudung Abdurachman, yang karena “perang” melawan baliho ucapan selamat datang pada Habib Rizieq Shihab, diseputaran eks Markaz FPI dan sekitarnya. Atas perintahnya, baliho-baliho itu dicabuti. Dan karenanya ia mendapat promosi jabatan menjadi Pangkostrad. Saat “perang” lawan penurunan baliho itu, ia selaku Pangdam Jaya. Dan atas kemenangan “perang” itu, ia dipromosikan sebagai Pangkostrad, dan mendapat bintang tiga. Tidak lupa Habib Rizieq mendoakannya agar Letjen Dudung Abdurachman berani mengerahkan pasukannya ke Papua melawan ekstrimis yang membunuh militer dan penduduk sipil.
Inilah pledoi blak-blakan yang disampikannya. Dan itu dimaksudkan agar khalayak memahami, bahwa penyingkiran dirinya itu nyata. Maka penyebutan nama-nama itu, disamping sikapnya yang luwes mau menerima kesepakatan Jeddah dan Mekkah, tapi di intervensi oleh yang ia sebut dengan operasi intelejen hitam. Pledoi yang disampaikannya itu bagai puzzle, yang tinggal dirangkai pada saatnya, siapa aktor utama mengkriminalisasi dirinya, perampasan hak hidup 6 laskar FPI, pembubaran FPI dan rangkaian berbagai peristiwa yang menyertainya.
Baca: Peluang Bebas HRS dalam Perkara RS Ummi
Hilang Sudah Syaraf Takutnya
Lion of the court itu mengaum keras tidak cuma terdengar di ruang sidang pengadilan, tapi menembus tembok pengadilan dan didengar dalam radius tak terukur. Tersirat ia sampaikan, bahwa ada persengkongkolan jahat ingin membungkamnya. Dan ia melawan tidak asal melawan, tapi dengan dasar-dasar argumentasi hukum dan data-data yang dipunya.
Pledoi itu ia manfaatkan untuk bersikap, bahwa ia tidak bersalah, dan meminta majelis hakim utk membebaskannya murni dari tuntutan jaksa penuntut umum, dan meminta agar namanya direhabilitir. Ia menyatakan itu dengan tegas, dengan keyakinannya. Ia tidak mengibah-memelas layaknya para koruptor di depan majelis hakim.
Sikap kerasnya adalah cerminan bahwa keadilan mesti diperjuangkan, dan itu yang ia lakukan. Membaca pledoi yang begitu panjang, ia tidak merasa lelah atau intonasi suaranya menurun. Suara menggelegarnya itu tetap terjaga menyala-nyala. Bisa jadi itu juga yang ia ingin sampaikan pada pengikutnya yang tidak sedikit, “bahwa saya masih seperti yang dulu”. Tidak sedikit pun ada yang berubah-berkurang. Itu setidaknya yang ingin ia sampaikan dan tularkan.
Setuju atau tidak setuju, bahkan mengakui atau tidak mengakui dalam melihat Habib Rizieq Shihab, bahwa ia sebagai simbol perlawanan atas kesewenang-wenangan. Jika tak tampak pada saat ini, tapi pada masanya itu menjadi buah bibir manis, bahwa apa yang diperjuangkannya akan dikenang sepanjang masa.
Situasi yang menghimpitnya saat ini, yang menjadikannya makin besar. Prediksi intelejen yang salah dalam memperlakukannya. Habib Rizieq itu dirangkul bukan dipukul. Ia pribadi yang halus-lembut. Siapa yang mengenalnya menyatakan demikian. Tapi perlakuan menjadi salah, saat menjadikannya sebagai musuh yang mesti dihabisi. Pastilah kodratinya akan melawan, dan tidak sedikit pun ada rasa takut. Syaraf takutnya seolah sudah putus sejak ia lahir ke bumi.
Maka yang terjadi, kekuasaan menyeretnya ke pengadilan yang melelahkan, tapi tidak tampak sedikit pun ia merasa kelelahan. Fisiknya kuat dan mentalnya tidak rapuh. Mestinya jika diukur dengan logika medis, ia sudah rontok seperti daun kering tersapu angin. Tapi perkecualian tidak dengannya.
Lalu logika dusta apa lagi yang ingin menghabisinya. Salah dalam menyikapinya, tidak mustahil akan terjadi hal yang sama-sama tidak diinginkan. Dan itu berbahaya. Jangan pernah bermain-main dengan api, meski kecil nyalanya. Jika tidak memenej dengan baik, api itu akan membesar-membakar menyambar sana-sini , dan tidak mustahil meninggalkan derita penyesalan berkepanjangan. Takbir… (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya
Baca: artikel lain Ady Amar