Oleh: Muhammad Pizaro
HARI Senin siang (08/05/2017) Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menggelar konferensi pers untuk mengumumkan niat pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Wiranto menilai HTI bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 serta menciptakan benturan di masyarakat.
“Setelah melakukan pengkajian yang seksama, dan pertimbangan mendalam, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah hukum untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di seluruh Indonesia,” kata Wiranto dalam jumpa pers di kantor Kementrian koordinator politik hukum dan keamanan, Senin (08/05) siang, seperti dilansir BBC Indonesia.
Pernyataan dari Wiranto itu lantas menciptakan gejolak di masyarakat. Umat Islam yang selama ini berbenturan, bahkan secara perjuangan bertolak belakang dengan HTI pun berbalik menyuarakan ketidaksetujuannya. Mereka menilai tindakan pemerintah tidak adil. Masyarakat merasakan Negara garang melawan gerakan apapun berbau Islam, namun di sisi lain lain bungkam terhadap ancaman kelompok kiri, aliran menyimpang, dan kelompok-kelopok perusak moral, LGBT.
Pancasila Harus Dihadapkan dengan Islam?
Satu hal yang perlu dicermati adalah seringkali pemerintah berupaya membenturkan Pancasila dengan Islam. Pancasila seolah-olah dilahirkan untuk menghadang eksistensi gerakan Islam dan aspirasi umat Islam. Padahal spirit Pancasila justru hadir untuk melindungi hak konstitusional umat Islam pasca kegagalan Piagam Jakarta.
Sebagaimana, pernyataan KH. Saifuddin Zuhri bahwa tidak sedikit orang yang melupakan bahwa justru Piagam Jakarta-lah yang dengan tegas-tegas menyebut kelima sila dalam Pancasila mendahului pengesahan UUD 1945.
Sungguh aneh, setiap pergantian pemimpin, selalu menjadikan Pancasila sebagai alat “legitimasi” untuk memberangus gerakan-gerakan Islam. Terlepas dari berbagai kekurangan HTI, pemerintah seyogyanya menempuh jalan dialog dan persuasif. Sebab, upaya pembubaran ormas Islam di tengah merekahnya fajar kebangkitan Islam pasca Aksi Bela Islam justru akan menjadi blunder dan dapat berbalik menguatkan adanya sentimen anti pemerintah sendiri.
Sementara di sisi lain, pembubaran ormas tidak bisa serta merta dilakukan tanpa melalui pengadilan. Di sinilah tesis pemerintah diuji: apakah HTI bertentangan dengan Pancasila?
LGBT dan Syiah Sesuai dengan Pancasila?
Kalaulah alasan pemerintah membubarkan HTI karena bertentangan dengan Pancasila, lalu bagaimana dengan kelompok kiri-separatis, LGBT, dan kelompok aliran menyimpang lainnya? Setahu penulis, selama ini HTI hanya mampu bermain di area wacana dan alam pikiran. Apakah adil, Negara menghukum pikiran orang?
Sebaliknya, kelompok-kelompok seperti lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender (LGBT) mereka riil keberadaanyaa mempraktekan gagasannya hingga menimbulkan banyak korban. Bahkan baru-baru ini bangsa Indonesia dikejutkan dengan penangkapan 14 orang yang dianggap berpartisipasi dalam kegiatan “pesta seks gay” di Surabaya.Para tersangka ditangkap Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Surabaya dalam kasus Party Gay di Hotel Oval di Jl Diponegoro, Surabaya pada Ahad (30/4/2017) dini hari. Hasilnya, dari 14 pelaku pesta tersebut, 5 diantaranya positif HIV.
Mereka eksis di Indonesia, bahkan bebas melakukan kampanyenya dan mengahak anak-anak muda. Padahal melakukan hubungan sesama jenis jelas tidak sesuai dengan budaya dan karakter masyarakat Indonesia dan dilarang agama manapun di Indonesia.
Namun yang membuat miris adalah, organisasi dan eksistensi gerakan LGBT sangat eksis di Indonesia. Kita sendiri jarang mendengar langkah pemerintah mempersoalkan kelompok-kelompok LGBT dengan spirit Pancasila. Rasanya tidak ada ajaran Pancasila yang membolehkan perkawinan sesama jenis.
Lalu bagaimana pula dengan gerakan Syiah? Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2007 menetapkan 10 kriteria aliran sesat dan menegaskan bahwa Syiah berbahaya karena memiliki ideologi imamah yang dikontrol melalui Iran. Dengan ideologi imamahnya yang dikontrol Iran, Syiah terbukti banyak mengangkat senjata dan melakukan pemberontakan di mana-mana. Dari Iraq, Libanon, Arab Saudi, Yaman sampai Bahrain. Di Indonesia, entah sudah berapa kali warga Nadhlatul Ulama (NU) bentrok dengan pengikut Syiah di Indonesia. Madura, Bangil, Bondowoso, Jember, Surabaya, Bandung, Bogor, Jakarta, dan kota-kota lain lainnya telah menjadi saksi pusaran konflik yang tak kunjung usai hingga kini. Tahun 2011, warga Madura terlibat bentrok dengan Syiah di Sampang. Mereka tidak terima propaganda kelompok yang melecehkan Al Qur’an.
Kasus Syiah di Sampang, Madura ternyata memiliki akar masalah yang panjang. Kasus ini sudah terjadi berlarut-larut selama bertahun-tahun. Pada 20 Februari 2006, lebih dari 50 orang ulama Madura telah mengeluarkan pernyataan bahwa aliran Syiah yang disebarkan oleh Tajul Muluk Ma’mun di Madura tergolong Syi’ah Ghulah (Rafidlah). Salah satu ajaran yang membuat hati kaum Muslim Sunni di Madura tersakiti adalah ajaran yang melecehkan para sahabat NabiMuhammad yang mulia. Masyarakat juga marah ketika Tajul Muluk mempropagandakan bahwa Al Qur’an sudah tidak orisinal.
Selanjutnya, pada tahun 2013 di Jember, bentrokan warga NU dengan Syiah pecah. Warga Puger yang mayoritas Ahlussunah merasa tidak terima dengan provokasi dari kalangan Syiah. Takdir tak dapat ditolak. Ketegangan antara warga NU dan pengikut Syiah mencapai puncaknya. Saat itu, satu orang kader NU bernama Eko Mardianto meregang nyawa akibat dikeroyok pengikut Syiah.
Ingatan kita juga belum pudar terkait serbuan pengikut Syiah ke perumahan Az-Zikra milik Ustadz Arifin Ilham. Saat itu, sekitar 30-an pengikut Syiah mendatangi perumahan. Mereka protes atas spanduk area perumahan yang menolak doktrin Syiah. Spanduk yang hanya meneguhkan sikap dari MUI itu dianggap menyinggung kelompok Syiah. Pengikut Syiah yang sudah ditanam permusuhan kepada umat Islam itupun mengeroyok petugas keamanan perumah hingga terluka. Dengan fakta seperti ini, seharusnya pemerintah lebih mengutamakan pelarangan Syiah. Tetapi kenapa tidak? Ada apa?
Otokritik HTI
Penulis memahami bahwa pembubaran HTI juga menimbulkan dilema bagi sejumlah umat Islam. Langkah HTI yang dalam dakwahnya lebih sering memililih eklusif dan dirasakan kurang dekat dengan elemen umat Islam kerap membuat HTI kerap dikritik umat Islam.
Lebih-lebih, banyak masyarakat merasakan HTI dianggap sering ‘menggembosi’ umat Islam, baik melalui ceramah, khutbah, berbagai terbitan, khususnya keikutsertaan elemen Muslim di Parlemen atau keikutsertaan umat dalam Pemilu. Padahal, umat Islam hadir ke TPS belum tentu 100% setuju demokrasi, tapi itu sebagai wasilah dalam meraih kepemimpinan, yang jika tidak direbut, hasilnya justru merugikan umat Islam. Sementara keikusertaan umat Islam dalam Pemilu sudah menjadi ijma’ para ulama di Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Di sinilah HTI perlu melakukan evaluasi maupun otokritik gerakan dan memahami konteks dakwah di Indonesia. Bahwa ada hal lain selain upaya mengunggulkan metode gerakan, yakni persatuan. Persatuan inilah ruh umat Islam yang hilang dan kini sedang dibangun pasca Aksi Bela Islam yang sangat mengaggumkan. Tanpa melihat sekat organisasi, mereka dapat bersatu padu menggolkan tuntutan yang sama.
Persatuan itulah yang kini masih merekah ditunjukkan elemen umat Islam. Meski dalam banyak kasus mereka sering “dirugikan” HTI, kini justru ramai-ramai menyuarakan aspirasi, membela hak mereka berkumpul dengan membuat tagar #KamiBersamaHTI.
Meski HTI memiliki banyak kekurangaan, kelompok Islam yang lain jangan bergembira dulu (dengan alasan kelompoknya selamat). Tunggu dulu. Ini hanya soal waktu. Sebab politik ‘belah bambu’ ini sudah dirancang lama. Yang pernah baca artikel dan makalah Cheryl Bernard dari Rand Corporation pasti paham ‘proyek politik’ memecah belah antar elemen Islam ini.
Belakangan, tanda-tanda itu sudah dipraktekkan ke akar rumput. Bagaimana diciptakan kelompok-kelompok yang mudah diprovokasi untuk membubarkan pengajian, diskusi yang tidak sesuai dengan golongannya. dll. Dengan senjata ‘radikal’, ‘anti Pancasila’, ‘intoleran’, boleh jadi setelah HTI, akan menyusul FPI, Salafy, Jamaah Tabligh dan gerakan-gerakan Islam lain yang masuk daftar pembubaran dengan dukungan rezim (yang maaf-maaf) mulai bergerak menuju otoritarian ini. Semoga musibah ini menjadi muhasabah kita semua.*
Ketua Divisi Kajian Global the Centre for Islamic and Global Studies