Oleh: Masykur
SEJARAH panjang perjalanan pendidikan bangsa Indonesia tak bisa lepas dari kiprah madrasah atau pesantren yang tersebar di sejumlah daerah. Jauh sebelum masa kemerdekaan bangsa Indonesia, para pelajar (santri) sudah berjuang bahu-membahu melawan penjajah.
Termasuk dalam mengisi era kemerdekaan ini, tak sedikit pejuang dan tokoh bangsa ini yang lahir dari latar belakang madarasah dahulu. Sebut saja, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, Buya Hamka, dan sederet tokoh nasional lainnya.
Olehnya, wacana anggaran yang ditawarkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) tentang kebijakan pemerintah yang siap menggelontorkan Rp. 24 triliun untuk meningkatkan kualitas madrasah tentu saja layak diapresiasi oleh masyarakat.
Untuk diketahui, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag, Kamaruddin Amin mengaku telah menyiapkan rumusan bersifat sistematis yang tertuang dalam grand design untuk meningkatkan mutu madrasah. Hal ini seperti diakui Kamaruddin di Jakarta yang dimuat Harian Republika (Sabtu, 15/8/2015).
Menurut Kamaruddin, rujukan grand design yang dimaksud melingkupi adanya tiga komponen besar dalam program penguatan kualitas mutu madrasah.
Pertama, peningkatan kompetensi terhadap lebih dari satu juta guru madarasah. Kedua, bantuan untuk lebih dari 45 ribu madarasah dalam memenuhi standar nasional pendidikan. Ketiga, rehabilitasi lebih dari 110 ribu ruang kelas dan yang membutuhkan fasilitas khusus. Sedianya dana tersebut, aku Kamaruddin, akan digunakan selam kurun waktu lima tahun ke depan.
Ibarat setitik oase di hamparan padang pasir, niat baik pemerintah dalam meningkatkan mutu madrasah, sekali lagi, layak mendapat dukungan penuh oleh masyarakat Indonesia.
Sebab boleh dikata, sekian lama masyarakat Indonesia hanya dijejali dengan berbagai carut-marut persoalan yang tak pernah habis di negeri ini. Mulai dari persoalan politik, ekonomi hingga masalah pendidikan. Terlebih persoalan madrasah yang bengkalai masalahnya tak kunjung tuntas diselesaikan.
Saat ini tak bisa dipungkiri, masih ada asumsi di tengah masyarakat Indonesia yang membedakan antara madrasah dan sekolah umum.
Seolah siswa yang belajar di sekolah umum memiliki “kasta” lebih tinggi daripada yang menuntut ilmu di madrasah atau di pesantren. Padahal sesungguhnya tak ada yang membedakan keduanya. Bahkan sejarah mencatat, bahwasanya kiprah madrasah dalam pengabdian masyarakat sudah ada sejak dahulu.
Natsir seperti ditulis oleh Adian Husaini dalam bukunya, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab (Cakrawala Publishing, Jakarta: 2012), pernah menyampaikan gagasannya tentang pendidikan. M. Natsir berkata mengutip perkataan Dr. G.J.Nieuwenhuis, “Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”
Adian mencatat, setidaknya ada dua kata kunci kemajuan bangsa, yaitu “guru” dan “pengorbanan”. Bahwa kebangkitan bangsa atau suatu peradaban harus dimulai dengan mencetak “guru” yang suka berkorban”.
Tentu saja, lanjut Adian, guru yang dimaksud M. Natsir bukan sekedar guru pengajar di sekolah formal. Bukan pula guru yang sekedar pandai meluluskan murid-muridnya dalam Ujian Nasional.
Tapi guru yang dibutuhkan adalah guru yang bisa mengajarkan keteladanan, menyatukan perbuatannya di luar kelas sama dengan perkataannya di hadapan muridnya. Sebab guru adalah pemimpin, orangtua, sekaligus pendidik bagi muridnya.
Untuk itu, penulis menitip harapan besar kepada pemerintah selaku pemegang kebijakan pendidikan nasional di negeri ini, kiranya bantuan anggaran yang mencapai 24 triliun tersebut benar-benar bisa terealisasikan dengan tepat sasaran bagi peningkatan kualitas madrasah.
Di antara sekian banyak agenda mendesak dalam persoalan pendidikan, maka peningkatan kualitas guru atau Sumber Daya Manusia (SDM) hendaknya menjadi prioritas utama. Sebab apalah arti pembangunan fisik dan sarana prasarana sebuah lembaga pendidikan, jika kualitas gurunya tidak seperti yang diharapakan oleh M. Natsir di atas.
Hari ini seluruh masyarakat Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan yang sudah berumur 70 tahun. Berbagai fasilitas dan kemajuan pembangunan fisik sudah tercapai di berbagai daerah.
Selanjutnya, tersisa pertanyaan berikut, sudahkah kita siap menjadi orang yang berkorban dalam mengisi kemerdekaan tersebut. Sedang bagi seorang guru, sudahkah kita menyiapkan generasi pelanjut yang juga siap berkorban sebagaimana para pahlawan pendahulu sebelumnya.*
Penulis mahasiswa Magister Pendidikan Islam UIKA Bogor, Peserta Kaderisasi Seribu Ulama Baznas-DDII