Oleh: Fahmi Salim
Hidayatullah.com | BENARKAH Islam tidak mengatur masalah politik? Islam itu cukup hanya mengatur peribadatan yang bersifat pribadi, dan tidak perlu masuk ke dalam wilayah publik. Inilah prinsip sekularisme, yang memisahkan agama dari dunia politik. Padahal, Islam adalah agama yang bersifat komprehensif, mengatur semua aspek dalam kehidupan manusia, baik politik, ekonomi, sosial budaya hingga keluarga.
Bukankah, ada beberapa nabi terdahulu yang juga memiliki jabatan sebagai seorang raja, dimulai dari Nabi Yusuf sebagai Perdana Menteri di Mesir, meski di tengah dominasi kemusyrikan Yusuf menunjukkan warna seorang muslim yang dipercaya mengelola negara. Juga seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman yang memiliki kekuasaan “yang tidak pernah ada yang menandinginya” (Q.s. Shad: 35). Begitu pula, nabi terakhir, Muhammad ﷺ, beliau adalah pemimpin politik sekaligus kepala negara.
Kisah Dzulqarnain dalam Qur’an begitu menakjubkan dan meyakinkan kita bahwa kekuasaan politik di tangan orang saleh melahirkan kemaslahatan luas. Bahkan visi bernegara diungkapkan dalam kalimat indah Qur’an yaitu: Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur (QS. Saba’: 15)
Ulama adalah pewaris para nabi, melanjutkan misi kenabian untuk menjadikan Islam sebagai panduan dalam kehidupan. Karena itu, menurut Dr. Ahmad Heryawan, Lc, M.Si, yang bisa dipanggil Kang Aher ini, tak ada satu pun episode dalam perjuangan membangun bangsa ini, sejak perjuangan mengusir para penjajah hingga penyelamatan ideologi dan bentuk negara, tak pernah lepas dari peran kaum muslimin.
Umat Islam begitu mencintai negeri ini, karena mengikuti petuah para ulama bahwa mencintai negara itu bagian dari iman (hubbul wathon minal iman). Sebagai bukti kecintaan, semua kerajaan Islam yang lebih dulu berdiri di nusantara jauh sebelum pembentukan negeri ini, rela melebur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Apa lagi yang disangsikan bagi kecintaan umat Islam terhadap NKRI??”, ungkap mantan Gubernur Jawa Barat yang disampaikannya dalam program Ngaji Syar’ie (NGASHARE), “Ngaji Dulu, Alim Kemudian.” Selangkapnya simak di link ini:
Para ulama yang tergabung dalam Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ikut merumuskan dasar dasar negara ini, yaitu Pancasila, yang merupakan fondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, setelah Indonesia merdeka pun, sebagian ulama seperti DR. Mohammad Natsir pernah menduduki jabatan perdana menteri, KH. Wahid Hasyim menjadi menteri agama, bahkan saat ini KH. Ma’ruf Amin, Ketua Umum MUI non aktif, terpilih sebagai wakil presiden.
Umat Islam terus mengawal cita-cita bangsa ini, sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, seperti yang termaktud dalam pembukaan UUD 1945.
Sesuai dengan perannya masing-masing, umat Islam sudah saatnya menyatukan dan merapihkan barisan, sebagaimana pesan yang disebutkan dalam Al-Quran. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (QS As-Shoff: 4)
Ayat ini harus menjadi renungan mendalam bagi para politisi yang memiliki misi dakwah, seperti Kang Aher, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kekuatan dan kekokohan shaff apalagi digambarkan Al-Qur’an sebagai kal bunyaan al-marsuus (seperti bangunan yang kokoh) merupakan nilai yang paling fundamental dalam perjuangan dakwah politik. Karena, tanpa ada kekuatan aqidah, ukhuwah dan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam, maka mustahil cita-cita yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini, akan tercapai dengan baik. Karena itu, jika ada yang ingin memisahkan Islam dari politik, sesungguhnya ia tengah berusaha meruntuhkan bangunan yang kokoh itu, dengan mengikis fondasinya secara bertahap.
Pengalaman umat Islam dalam berpolitik seharusnya menjadi pelajaran berharga. Di era orde lama, umat Islam melakukan ijtihad politik dengan mendirikan partai politik, seperti Masjumi, NU, PSII, Perti dll. Bahkan Masjumi mendulang suara terbanyak dalam Pemilu pertama tahun 1955, meskipun suara umat Islam tidak terkonsolidasi dalam satu partai, karena terjadi konflik internal yang menyebabkan NU menarik diri dari keanggotaan istimewa Masjumi dan membentuk partai NU. Begitu pula partai Islam lainnya.
Memasuki era reformasi, setelah tumbangnya orde baru, partai Islam pun bermunculan. Namun, hanya sedikit yang masih bertahan dengan perolehan suara yang juga kecil. Bahkan, jika beberapa partai Islam atau berbasis massa Islam digabungkan, seperti PKS, PAN, PKB, dan PPP belum mampu mengalahkan partai berhaluan nasionalis.
Saat ini, dinamika partai Islam tidak lagi ditentukan dengan simbolisme dan identitas keislamannya, tapi lebih banyak dipengaruhi dengan integritas moral dan isu-isu strategis yang disajikan oleh partai Islam, seperti yang dibuktikan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pada Pemilu 2019, suara PKS melejit dengan perolehan 8,21 persen suara. Sementara, pada tahun 2014, perolehan suara PKS sekitar 6,79.
Salah satu kantong penyumbang suara terbesar PKS adalah dari Jawa Barat. Namun, menurut Kang Aher, politik di Jawa Barat itu begitu dinamis, karena sebagian besar karakter pemilihnya rasional. Jumlah penduduknya sekitar 49,02 juta (tahun 2019), terbesar di Indonesia dan menjadi medan pertarungan yang sengit untuk memenangkan pemilu legislatif maupun pemilihan presiden. Siapapun yang menang pertempuran di Jawa Barat akan memenangkan pemilu legislatif (pileg) secara nasional.
Tahun 2004, misalnya Golkar menang pileg di Jabar dan secara nasional juga menjadi pemenang. Lima tahun kemudian, pada tahun 2009, Demokrat yang memenangkan suara terbanyak di Jabar, juga menjadi pemenang secara nasional. Pada 2014 giliran PDIP yang menang baik di Jabar maupun di tingkat nasional. Terakhir, pada tahun 2019, yang menjadi pemenang di Jawa Barat adalah Gerindra. Namun di tingkat nasional berada di urutan kedua setelah PDIP.
Meskipun Jawa Barat sebagai basis Islam yang kuat, karena faktor kesejarahannya. Namun, umat Islam di Jawa Barat memiliki karakter yang berbeda dengan wilayah lainnya Di wilayah bagian selatan dari Cirebon hingga Banten, Tasik ke Sukabumi kental sebagai daerah pesantren.
Namun, tradisi santri di Jawa Barat berbeda dengan tradisi santri di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang lebih kental hubungan hirarkinya. Selain itu, di wilayah ini, terutama di Bandung, menjadi pusat pergerakan tidak hanya kelompok Islam juga kelompok nasionalis, yang membuat wajah politiknya lebih beragam.
Di wilayah Jawa Barat pula, PKS sebagai partai Islam yang bercorak modern ini berusaha mendulang suara umat Islam. Meskipun sering dikait-kaitkan secara ideologis dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir, PKS tetap ingin tampil sebagai partai terbuka dan mengakomodir berbagai keragaman cara beragama, mulai dari corak Islam modernis hingga Islam tradisionalis.
Beberapa tokoh, seperti Hassan Al-Banna dan Yusuf Al-Qardhawi diakui Kang Aher, menjadi salah satu pedoman pemikiran di lingkungan kader PKS. “Di era globalisasi, pengaruh pemikiran dan aliran politik dari tokoh dunia itu hal yang wajar,” jelasnya.
Kerja sama dengan organisasi mana pun tidak terlarang sepanjang dalam konteks NKRI, dan bukan menjadi cabang atau perpanjangan ideologis dari partai politik di luar negeri. Yang terpenting, menurut Kang Aher, perjuangan untuk mewujudkan cita-cita bangsa, termasuk menegakan syariat Islam harus ditempuh melalui jalan demokrasi. Karena itulah, PKS cenderung bisa diterima di kota-kota besar dengan tingkat intelektualitas menengah ke atas.
Pilihan untuk konsisten sebagai partai oposisi dan tidak tergoda dalam koalisi partai penguasa cukup mendapat apresiasi dari masyarakat. Karena, kekuasaan yang tidak mendapat penyimbang secara politik akan berubah menjadi tirani. Apalagi, negeri ini harus kembali diluruskan kiblat ekonominya, yang disebutnya sebagai ekonomi konstitusi, yang merupakan penerjemahan dari pasal 33 UUD 1945.
Ekonomi konstitusi, menurut Kang Aher, tidak sekedar mengangkat ekonomi kerakyatan dengan basis koperasi, juga tidak memusuhi para pengusaha besar. Karena, seperti disebutkan dalam pasal 33 ayat 4, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Selain itu, perekonomian harus berasaskan pada kekeluargaan, dan negara harus menguasai bumi, air dan seluruh kekayaan alam, yang dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Namun, sistem ekonomi yang berkembang sampai saat ini belum sejalan dengan konstitusi dan masih bersifat liberal dan kapitalistik.
Inilah yang terjadi di negeri ini, sebagian besar kekayaan ekonomi negeri ini hanya dikuasai oleh segelitir orang, mereka yang hanya sekitar 5 persen ini menguasai dari hulu sampai hilir. Sementara, sebagian besar rakyat masih berada dalam kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Karena itulah, dibutuhkan perjuangan politik untuk mengembalikan kiblat ekonomi, sebagaimana yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini. Wallohu ‘alam.*
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Komisi Dakwah MUI. Artikel ini merupakan cuplikan Program Ngeshare Bersama Kang Aher