Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com| Jagad negeri ini senantiasa dirundung persoalan demi persoalan. Susul menyusul persoalan hadir dengan sendirinya, atau memang sengaja dihadirkan. Sungguh fenomena yang menyesakkan dada.
Penangkapan terhadap Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan lainnya, yang terkena sasaran UU ITE. Tapi keadilan tidak dikenakan yang sama pada kasus Permadi Arya dan mereka yang dikenal dekat dengan rezim.
Permadi Arya, dikenal juga dengan nama Abu Janda, jelas-jelas lewat Twitternya berujar rasisme dan penodaan agama, tapi aman-aman saja. Sampai sekarang kasusnya diambangkan tidak jelas.
Lalu menyusul peristiwa Tol Km 50 Jakarta-Cikampek. Itu peristiwa 6 nyawa anak manusia eks Laskar FPI, terbunuh oleh peluru yang dilesakkan polisi. Mereka adalah para pengawal Habib Rizieq Shihab (HRS). Kasusnya masih bergulir, tapi entah bergulir ke mana.
Perlakuan beda jika yang disasar anggota TNI, seperti kasus di sebuah cafe di daerah Cengkareng, Jakarta Barat, dimana seorang polisi membabi buta menembak hingga mati dua orang warga sipil dan satu TNI. Pada kasus ini langsung diproses.
Lalu penangkapan HRS, yang dianggap punya kesalahan melanggar protokol kesehatan, saat menikahkan puterinya, dan saat perayaan Maulud Nabi SAW di Megamendung, Bogor, terjadi kerumunan massa.
Bandingkan dengan apa yang dilakukan Presiden Jokowi di Maumere, NTT, (23/2), yang itu juga pelanggaran protokol kesehatan. Makna kerumunan antara HRS dan Presiden Jokowi, lalu dibuatkan tafsir seolah punya perbedaan.
Setelah itu mulailah kasus demi kasus terhadap diri HRS dimunculkan. Entah sudah berapa kasus untuknya dimunculkan. Seolah tidak puas-puas menzalimi ulama satu ini.
Peristiwa selanjutnya sungguh peristiwa menyayat hati, kematian Ustad Maher ath-Thuwailibi, di tahanan Bareskrim Polri. Kesalahan yang dituduhkan adalah penghinaan, dan dilaporkan dengan UU ITE.
Sakit di penjara mestinya dibantarkan di RS sampai ia sehat kembali. Tapi haknya untuk itu tidak diberikan. Bahkan terungkap belakangan, bahwa saat sakit keras, ia ditempatkan pada sel tahanan yang terletak di bassement gedung Bareskrim. Sungguh mengenaskan.
Sang istri menceritakan, saat menjenguk di tahanan, pernah suatu saat si suami dalam kondisi pingsan, tapi tetap tidak diindahkan bisa di rawat selayaknya di rumah sakit. Sampai ajal itu pun tiba.
Ajal 6 laskar eks FPI dan Ustad Maher, memang di tangan Tuhan. Tapi lewat peristiwa apa ajal itu dicabut, itu persoalan tersendiri. Tanggung jawab para pihak akan dipertanggung jawabkan, itu pada saatnya. Tidak ada yang bisa lepas dari keadilan Tuhan.
Lalu Zaim Saidi pun ditahan, itu karena membuka pasar muamalah, bertransaksi dengan Dinar dan Dirham, mengenalkan cara yang dipakai Rasulullah ﷺ
Bukannya apresiasi yang didapat Zaim, tapi justru ia harus meringkuk dalam tahanan kepolisian. Tidak lagi dibuka ruang mendiskusikan, kenapa digunakan alternatif transaksi itu dimunculkan.
Terawangan Seorang Kawan
Melihat peristiwa beragam di atas hati rasa terenyuh, ada apa sebenarnya dengan negeri ini, yang semakin tampak buas. Kemanusiaan adil dan beradab bagai jargon usang yang tidak lagi disakralkan, meski BPIP dihadirkan, tapi tanpa ruh.
Negeri yang tadinya bertabur kelembutan, senyum mengembang, penuh keramahan, tiba-tiba menjadi keras. Serasa ada pembelahan dalam masyarakat, memang itu sulit bisa dijelaskan.
Suasana menjadi tampak tidak menentu, saling serang seakan menghadapi musuh sejati. Satu peristiwa muncul, bisa jadi dimunculkan, dan lalu disusul peristiwa lainnya tanpa henti.
Belum selesai satu kasus diselesaikan, muncul kasus lain lagi seolah menutup kasus sebelumnya, begitu seterusnya. Sehingga ingatan publik pada satu peristiwa seolah ingin disumpal.
Pagi itu, seorang kawan jurnalis senior kirim pesan lewat WhatsApp, menanyakan bagaimana kabar Habib Rizieq, ia heran dengan sikapnya yang tiba-tiba lembut.
Sikap yang biasanya garang dengan pekikan takbir, itu tanyanya penuh heran, kok bisa demikian lembut dengan tidak meminta umat untuk jihad membebaskannya, atau setidaknya bersikap atas penahanannya. Saya heran, tambahnya.
Lalu, sarannya, jika punya akses pada para pimpinan eks FPI, sebaiknya agar tetap tenang, cukup angkat tangan saja di masjid, minta pada Tuhan. Pasti akan di dengar pada saatnya, tutupnya.
Kawan satu ini, memang perangainya makin alim. Acap menerawang kejadian satu dengan lainnya, dan menurutnya setiap kejadian saling berkelindan.
Kawan satu ini tetap aktif menulis, meski tidak terlampau produktif. Tapi tulisannya sungguh bernas, kuat pada ide, dan berwarna. Lebih menulis hal-hal ukhrawi fiksional yang tidak biasa. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya