Hidayatullah.com–Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo dan Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Jakarta, hari Sabtu 15 Agustus 2015, melakukan Pembukaan dan Kuliah Perdana Ma`had Aly Imam Al Ghazaly, dengan tema “Menemukan Jati Diri Pendidikan Islam”, di Jetak Wonorejo, Kota Solo.
Dalam sambutannya Arif Wibowo, M.P.I selaku direktur PSPI dan Ma`had Aly Imam Al Ghazali menyatakan akan pentingnya peran lembaga pendidikan yang mencetak guru-guru unggulan, yang menguasai berbagai permasalahan, sebagai dasar penggerak suatu peradaban, yang lebih utama dari sekedar kekuasaan.
“Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat fundamental dalam peradaban. Bukan untuk merebut kekuasaan, tapi merebut nalar dan hati, sehingga dapat melangkah dengan kesadaran,” terangnya.
Selain itu beliau juga menjelaskan bahwa kemunduran umat Islam, yang saat ini mendominasi, berawal dari aspek pendidikan, yang banyak disusupi pemikiran dan pandangan hidup yang salah, akibat invasi keilmuan di sekolah-sekolah oleh Orientalis, Zionis, misionaris dan lainnya, seperti dalam pelajaran sejarah Indonesia dari SD hingga SMA misalnya, yang mengkaburkan peran utama ulama dan umat Islam dalam kemerdekaan Indonesia.
Kuliah perdana dibuka oleh Dr. Adian Husaini, Ketua Dewan Pembina Ma`had `Aly Imam Al Ghazaly.
Dalam pembukaannya, pria yang dikenal rajin menulis buku dan artikel di mesia massa ini menjelaskan bahwa pendidikan umum saat ini telah kalah saing dengan sekolah-sekolah Islam, khususnya yang banyak didapati di kota-kota besar, adanya sekolah-sekolah Islam dengan berbagai keunggulan, penguasaan dan hasil yang memuaskan, sehingga menjadi pilihan dan kepercayaan umat Islam.
“Menanamkan keimanan, adab, akhlak yang baik dan berbagai keilmuan serta keterampilan. Semua itu membutuhkan guru-guru yang berkualitas, yang hingga saat ini masih sangat kekurangan dan menjadi permasalahan, “ ujarnya.
Sejalan dengan hal tersebut, beliau menjelaskan akan tantangan yang terjadi, ketika lembaga pendidikan Islam sudah menjadi pilihan, yaitu adanya penyakit cinta dunia serta sistem dan kurikulum pendidikan yang sekuler.
Penyakit cinta dunia yang menghinggapi guru yaitu mengorientasikan ilmunya dengan materi, sehingga mengurangi kesungguhan, keprofesionalan, keteladanan dan keikhlasan.
“Guru itu mujahid, mengajar itu wajib. Kalau mengajar untuk mencari materi itu zalim, tapi yang mengajar dihargai rendah itu juga zalim,” jelas Adian Husaini.
“Ada mahasiswa yang sudah kuliah 4 tahun di perguruan tinggi Islam, disuruh ngajar tidak mau. Padahal dahulu, seangkatan Mu`allimin, ditempa 4 bulan, sudah turun untuk dakwah atau mengajar.”
Kedua, tantangan sistem dan kurikulum sekuler, yaitu mandulnya sistem pendidikan saat ini melahirkan para ahli-ahli dan guru-guru yang berkualitas.
Banyak lulusan-lulusan yang seharusnya punya potensi yang bagus, namun belum mendapatkan porsi ilmu fardu ain, dan tidak banyak yang kemudian diarahkan untuk menjadi ahli pada bidang keislaman.
“Di setiap tempat harus ada ahli tafsir, ahli hadis, ahli fikih, kristologi dan lainnya, jika tidak ada, maka seluruh orang di tempat itu akan berdosa” Terang beliau
Demikian juga yang memiliki ilmu kifayah, harus bisa menjadi penopang umat Islam. Mengembalikan tujuan dan konsep pendidikan di dalam Islam. Sebab tersebut jelas beliau, karena umat Islam terjebak dalam kurikulum sekuler.
Akibatnya muncul penyakit “Sekolahisme” yang memetakan pendidikan dari fisik sekolahnya, tanpa mengetahui proses pendidikan seperti apa yang diberikan kepada anak-anaknya. Padahal menurut beliau bahwa belajar itu untuk mencari ilmu, bukan mencari sekolah, sebab tidak semua sekolah, meskipun yang dianggap terkenal atau populer, dapat memenuhi kebutuhan ilmunya. Sehingga kulitas guru menjadi peran utama, tidak sekedar lembaganya.
“Seharusnya yang berhak memberikan ijazah adalah gurunya, yang paling tahu hasil atau output setiap anak, bukan dari gedung atau lembaga,” imbuhnya.
Adapula pemikiran dikotomi, yang masih memisahkan antara sistem pendidikan formal dan informal. Pendidikan dibatasi hanya dalam lingkup lembaga pendidikan, sementara pendidikan di dalam keluarga dan lingkungan diabaikan
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam mengajarkan para sahabat di mana saja, tidak ada formal dan informal, kurikuler dan ekstrakulikuler. Shalat malam, shalat berjamaah, ngaji, mencuci, dan setiap aktivitas kita sepanjang hari merupakan bagian dari belajar, tidak hanya yang berlangsung di lembaga pendidikan. Sepanjang waktu itu mencari dan menerapkan ilmu,” tegas beliau.
Pendidikan di sekolah memang penting, namun yang juga tak kalah penting tambah beliau adalah pendidikan oleh orang tua di dalam keluarga, yang seharusnya mendapat bagian lebih banyak. Tentang adab, sikap, hubungan, perasaan, tidak bisa diwakilkan selain dari orang tua kepada anak-anaknya, untuk kesuksesan dan kebahagian pada lingkup yang lebih besar.
Ma`had Aly Imam Ghazaly diharapkan akan menjadi contoh dan alternatif pesantren tinggi pertama di Indonesia, untuk mencetak guru-guru yang mampu menjadi teladan, profesional, mukhlish, berjiwa mujahid dakwah, berjiwa pemimpin, mampu hidup mandiri dan menguasai berbagai permasalahan. Dengan program setara S2 dan masa pendidikan 1 tahun.*/Galih