Oleh: Bambang Subagyo
Hidayatullah.com | ADA “DENDAM” masa lalu terhadap penyusunan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Tersurat dengan jelas ada keinginan konseptor untuk mengubah Pancasila kepada konsepnya Soekarno dulu.
Keinginan itu tegas tercantum pada Pasal 7 Ayat (2) pasal itu menjelaskan bahwa ciri pokok Pancasila berupa Trisila. Ketiganya, yaitu “sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan”. Kemudian, “Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong,” bunyi Pasal 7 Ayat (3).
Republika.co.id menuliskan dengan baik adanya “dendam” itu. Gagasan “Ekasila” tersebut pertamakali disampaikan Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Selain Pancasila, saat itu Soekaro juga memberikan pilihan penyederhanaan dasar negara menjadi “Trisila” (socio-nationalisme, socio-demokratie, serta ketuhanan) dan kemudian “Ekasila” (gotong royong).
Ide Ekasila muncul kembali selepas Pemilu 1955. Pemilu tersebut salah satu tujuannya adalam memilih perwakilan parpol-parpol dalam Konstituante yang diamahkan merancang undang-undang dasar baru.
Dalam Konstituante, ada tiga blok besar berdasarkan dasar negara yang mereka perjuangkan. Di antaranya Blok Pancasila (274 kursi) dengan ujung tombak Partai Nasionalis Indonesia (PNI/119 kursi) dan PKI (60 kursi); kemudian Blok Islam (230 kursi) yang dipimpin Partai Masyumi (119 kursi), Partai Nahdlatul Ulama (91 kursi), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (16 kursi); serta Blok Sosio-Ekonomi (10 kursi).
Blok Islam dalam Konstituante, setidaknya meminta dikembalikannya tujuh kata yang dihilangkan dari sila pertama rumusan awal Pancasila dalam dasar negara pada 1945. “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” bunyi sila pertama dalam Piagam Jakarta tersebut. Mereka menagih janji bahwa dasar negara dan konstitusi yang disetujui pada 1945 itu hanya sementara saja.
Sebaliknya, sepanjang sidang Konstituante, ide Ekasila kerap digelorakan kembali oleh PKI sebagai dasar utama negara. “Gotong royong” dalam Ekasila dimaknai PKI setara dengan semboyan “Sama Rata, Sama Rasa”. Sakirman, wakil dari PKI sekaligus wakil ketua Konstituante menyuarakan sikap partainya bahwa “gotong royong” sudah cukup sebagai dasar negara dengan mengesampingkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Hingga 1959, perdebatan kedua blok besar tak kunjung ada titik temunya sehingga akhirnya Presiden Sukarno membubarkan Konstituante dan mengembalikan konstitusi pada UUD 1945.
Nuansa itu kiranya yang melatari penolakan-penolakan sebagian kalangan Islam terkait RUU HIP, wabil khusus Pasal 7 tersebut. Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas berpandangan bahwa RUU HIP memeras Pancasila menjadi Trisila lalu menjadi Ekasila adalah nyata-nyata merupakan upaya pengaburan dan penyimpangan makna dari Pancasila.*
Penulis seorang wartawan