Oleh: Qosim Nurseha Dzulhadi
Hidayatullah.com | PROF. Dr. SMN al-Attas, kata Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, adalah seorang pemikir yang memiliki kompetensi dalam banyak ranah akademik, seperti teologi, filsafat dan metafisika, sejarah dan sastra. Dan, beliau memiliki kontribusi yang orisinil dan karya yang otoritatif, khususnya dalam ranah peradaban Islām dan Melayu. (Lihat, Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practise of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 7).
Selain itu, Dr. Adian Husaini menambahkan bahwa kepakaran dan keahlian Prof. Al-Attas juga ada dalam ranah yang lain dan penting, yakni dalam ranah pendidikan, falsafah sains bahkan ‘perbandingan agama’. (Dr. Adian Husaini, Mengenal Sosok dan Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Wan Mohd Nor Wan Daud (Depok: YPI At-Taqwa, 2020), vi). Hanya saja, dalam area ini pemikiran Prof. Al-Attas belum “disentuh” secara serius dan mendalam. Utamanya pandangan kritis beliau terhadap teologi dan peradaban Barat-Kristen.
Berbeda dengan pemikiran beliau dalam masalah sekularisme, bahasa, peradaban, dan adab. Dalam area ini banyak yang mengkajinya. Sebut saja, misalnya, karya sarjana Turki, Selami Erdogan yang bertajuk ‘Sufism in the Context of Modernism: The Concept of Adab in Naquib al-Attas (Chicago: Kazi Publications, 2018).
Selain Selami Erdogan, ada buku (hasil dari disertasi) yang bertajuk ‘Konsep Adab Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Aplikasinya di Perguruan Tinggi’ (Depok: YPI At-Taqwa, 2020) karya Dr. Muhammad Ardiansyah. Juga ada buku Ontologi Pendidikan Islam Paradigma Tauhid Syed Muhammad Naquib al-Attas: Revitalisasi Adab-Ta’dib dalam Pendidikan (Jakarta: Prenada Media Grup, 2020) yang ditulis oleh Dr. Komaruddin Sassi. Dan tentunya masih banyak lagi.
Hanya saja, kembali penulis tegaskan, ranah ‘perbandingan agama’ yang ada dalam tubuh pemikiran Prof. Al-Attas belum disentuh dengan baik. Karena itulah penulis mencoba sedikit menguraikan bagaimana sejatinya pemikiran sang ‘reformer’ (dalam istilah Prof. Wan) ini dalam bidang ini.
Dari Dewesternisasi
Salah satu poin penting pemikiran Prof. Al-Attas sebagai “pengantar” kepada pandangannya terhadap agama-agama adalah tentang ‘de-westernisasi’ (menolak dan menafikan pengaruh pemikiran keagamaan dan peradaban yang menganut nilai-nilai Barat). Dan dalam hal ini, kata Prof. Wan, Prof. Al-Attas memiliki alasan yang sangat mendasar dan penting untuk disimak.
“Sejarah Islām mempunyai pertalian amat lama dengan dasar-dasar agama dan filsafat Barat yang bersumberkan sejumlah ajaran agama Nasrani, Yahudi, dan filsafat Yunani. Al-Attas selalu menegaskan bahwa ajaran-ajaran al-Qur’an telah menolak asas akidah Yahudi dan Nasrani dan konsepsi kosmologi Yunani kuno”, demikian kata Prof. Wan, pemegang pertama ‘Kursi Pemikiran Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas’ di RZS-CASIS pada 15 Juni 2019 lalu.
Dan, beliau menambahkan, usaha dewesternisasi dalam proyek Islamisasi bukan bermaksud anti-Barat dalam bentuk permusuhan dan kebencian. Ia lebih bersifat pemahaman mendalam tentang aspek-aspek serta metodologi keilmuan, keagamaan, sejarah, kebudayaan, filsafat, nilai, akhlak dan perundangan Barat. (Lihat, Dr. Adian Husaini, Rihlah Ilmiah Wan Mohd Nor Wan Daud: Dari Neomodernisme ke Islamisasi Ilmu Kontemporer (CASIS & INSISTS, 2012), 345).
Jadi, pengaruh doktrin agama Yahudi dan Nasrani yang “mewarnai” perjalanan dan perkembangan Barat itu harus dipahami dan dimengerti dengan baik dan benar. Karena sedikit banyaknya akan memengaruhi perjalanan pemikiran dan peradaban umat manusia.
Nah, Prof. Al-Attas mengingatkan bahwa Kristen dan Barat tengah menghadapi ‘krisis’ besar (grave crisis), seperti yang disampaikan oleh seorang filsuf Kristen yang bernama Jacques Maritain. Dan sejumlah agamawan Kristen telah meramalkan bahwa krisis itu bernama ‘sekularisasi’. (Prof. Dr. SMN al-Attas, Islām and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 1, 2).
Dan, tegas Prof. Al-Attas, para penganut Kristen secara umum memang mengakui bahwa problem mereka yang amat serius adalah ‘permasalahan tentang Tuhan’. “Whatever the outcome may be Christians as a whole do not deny that their serious problem is the ‘problem of God’.”, kata Prof. Al-Attas. (Prof. Dr. SMN al-Attas, Islām and Secularism, 8).
Tentu berbeda dengan Islām, yang tidak pernah punya masalah mengenai konsep Tuhannya. Dan apa yang disampaikan oleh Prof. Al-Attas merupakan kritik penting terhadap teologi Kristen.
Problem Teologis
Sebelumnya, Prof. Al-Attas menyatakan bahwa kaum Kristen memiliki masalah serius, yaitu ‘masalah ketuhanan’. Dan diantara problemnya adalah tentang ‘dogma Trinitas’ (Trinity) dan Penebusan Dosa.
Penting ditegaskan bahwa Kristen disimpangkan oleh Paulus dari wahyunya yang asal. Secara bertahap Kristen mulai menjelaskan prinsip-prinsip agamanya, seperti yang terjadi di Konsili Nicea, Konstantinopel dan Chalcedon.
Karena Kristen tidak memiliki Hukum yang Diwahyukan, maka ia menyerap hukum-hukum Romawi. Dan karena tidak memliki worldview (pandangan alam), maka ia harus meminjam pemikiran Yunani-Romawi. Dari sana kemudian mereka membangun teologi dan metafisika.
Artinya, sejak awal Kristen Barat datang di bawah pengaruh Romawi yang diiringi dengan Latinisasi simbol-simbol intelektual dan teologi, dan konsep-konsep yang diserap oleh filsafat dan worldview Aristoteles serta unsur-unsur Barat lainnya. (Prof. Dr. SMN al-Attas, Islām and Secularism, 28-29).
Sementara Islām tidak demikian. Ajarannya murni diwahyukan. Hukum-hukumnya diwahyukan, begitu juga halnya dengan worldview (pandangan alam)-nya. Semuanya diwahyukan. Maka, kebenaran Islām menjadi mutlak. Tidak relatif atau nisbi. (bersambung) >>> 2<<< Kristen sudah menguasai kawasan Eropa, Asia Barat dan Afrika Utara