Oleh: Imron Baehaqi
PENGGUNAAN istilah ‘muslim moderat’ atau ‘Islam moderat’ dipandang sebagai sebuah pendekatan alternatif dalam mewujudkan kehidupan global yang berdampingan, rukun dan damai.
Prinsip keterbukaan, ramah, dialogis, adil dan akomodatif adalah di antara karakter seorang muslim yang moderat dalam upaya menyelesaikan persoalan-persoalan yang mengancam kedamaian hidup umat manusia. Istilahasuk kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Oleh sebab itu, tidak aneh, kalau istilah tersebut kemudian banyak diminati dan menjadi perhatian banyak kalangan. Seolah-olah, istilah Muslim moderat itu sudah laris di pasar global.
Namun, walau pun begitu, masih ada juga kalangan internal Islam yang tidak tertarik dengan istilah atau istilah tersebut, malah menolaknya. Bahkan secara tiba-tiba, menawarkan istilah baru yang belum teruji keunggulannya.
Tulisan ini adalah respon daripada dua buah artikel yang diturunkan oleh Hidayatullah.com, pada edisi Senin 2 Mei 2011 dan Senin 09 Mei 2011, belum lama ini.
Artikel dengan tema: “Muslim Paripurna Bukan Muslim Moderat” itu adalah sebuah rekomendasi daripada penulisnya yang menawarkan penolakan terhadap istilah ‘muslim moderat’. Padahal istilah ‘muslim moderat’ sudah dikenal masyarakat luas lewat proses kajian dan dialog yang cukup panjang.
Istilah Muslim paripurna yang diajukannya itu seperti itu agak mengada-ada dan rapuh dari segi kronologis atau pun mungkin teologis.
Obsesi untuk menukar istilah ‘Muslim moderat’ dengan istilah baru yang diajukan oleh Asrir Sutanmaradjo hanyalah angan-angan saja. Praktikalnya tidak segampang membalikan telapak tangan. Pasal, ide muslim moderat sudah meluas dan diterima oleh sebagian besar kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia. Di samping, konsep muslim moderat mempunyai kesan dan pengaruh positif, selaras dengan semangat ajaran Islam, rahmatan lil ‘alamain.
Faktor dan Tujuan Munculnya Istilah
Istilah ‘Muslim moderat’ mengemuka secara gencar setelah tragedi 11 September 2001. Tragedi itu telah memicu munculnya stereotif Islam sebagai sebuah agama yang mengajarkan kekerasan. Anti kedamaian.
Kecurigaan yang merugikan umat Islam itu begitu tumbuh subur di belahan dunia, khususnya di dunia Barat. Efeknya, hubungan antara dunia Islam dan Barat mengalami kesenjangan dan ketegangan yang semakin tajam.
Fenomena ini tentu tidak boleh dibiarkan, sebab hal itu akan merugikan banyak pihak. Bagi umat Islam, kecurigaan itu tentu merupakan ancaman besar bagi Islam sebagai sebuah agama yang mengajarkan kedamaian, kenyamanan dan ketentraman bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini.
Refleksi dari persoalan krusial di atas, maka muncullah ide-ide kreatif yang diharapkan bisa menjembatani kesenjangan antara Islam dan Barat. Ide-ide kreatif itu ditandai dengan adanya dialog-dialog antar agama, seminar-seminar bertarap Internasional dan pendirian lembaga-lembaga kajian.
Di Indonesia, organisasi Islam yang telah mapan seperti Muhammadiyah dan NU mengklaim, organisasinya sebagai representasi dari Islam moderat. Kedua ormas Islam terbesar di dunia itu mensosialisasikan ide Islam moderat secara intensif, seperti dengan mengadakan forum-forum seminar dan dialog lintas agama, baik lokal atau pun level Internasional.
Dalam Sidang Tanwir di Makasar, Juni 2003, Muhammadiyah menegaskan kembali posisinya sebagai sebuah kekuatan organisasi Islam yang berada di posisi tengah, tidak “ektrim kanan” dan “tidak ekstrim kiri”, “tidak liberal” dan tidak “fundamentalis”. Tapi, Muslim Moderat.
Pada tanggal 9 September 2009, komunitas muslim di Doha, Qatar, mendirikan Qardhawi Center. Lembaga yang didirikan oleh Syeikhah Mozah binti Naseer, isteri penguasa Qatar itu bertujuan untuk memperkenalkan kepada dunia Barat tentang wajah Islam sebenarnya.
Selain itu, di antara misi utama Qaaradhawi Center itu adalah usaha menebarkan ajaran Islam yang moderat ke seluruh penjuru dunia.
Tujuan menebarkan konsep muslim moderat tersebut tidak lain adalah upaya untuk mengubur kecurigaan Barat terhadap Islam selama ini. Sehingga kesenjangan dan ketegangan hubungan antara Islam dan dunia Barat –sebagaimana dijelaskan di atas- dapat diantisipasi. Atau paling tidak, dapat diminimalisasi. Dengan mengedepankan karakter dan watak muslim yang moderat diharapkan dapat memberikan kontribusi solutif dalam menciptakan kedamaian global.
Landasan Teologis – Ontologis
Jadi, istilah ‘Muslim moderat’ bukanlah tanpa konsep dan landasan. Justeru, istilah itu muncul dengan dasar atau landasan teologis dan ontologis. Istilah Islam moderat ialah bagian dari ajaran Islam yang universal.
Azyumardi Azra, Direktur pascasarjana UIN Jakarta, dan Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, menjelaskan bahwa istilah Islam moderat memiliki padanan dengan istilah Arab ummatan wasathan atau al-din al-wasath (Q. S. Al-Baqarah:143) yang berarti “golongan atau agama tengah”, tidak ekstrim.
Bagi Ali Syariati, pembaharu Islam di Iran, dan Buya Hamka, tokoh Muhammadiyah, al-din al-wasath berarti Islam berada di tengah antara esoterisme Kristiani dan eksoterisme Yahudi.
Sementara ahlil tafsir, Quraisy Shihab menegaskan, bahwa “Umatan Wasathan” dalam surah al-Baqarah ayat 143, maksudnya adalah umat moderat yang posisinya berada di tengah, yang bisa dilihat oleh semua pihak, dan dari segenap penjuru.
Sebagai organisasi Islam yang memiliki wawasan Islam berkemajuan, Muhammadiyah menolak corak dakwah yang berbau unsur radikalisme.
Dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Makasar, Juni 2003, Ahmad Syafi’i Ma’arif pernah menegaskan, sejarah telah membuktikan bahwa radikalisme agama pada umumnya berjuang dengan kegagalan, apalagi yang digunakan adalah filosofi kebencian dan fanatisme. Belajar dari pengalaman itu, di samping pemahamannya terhadap al-Qur’an, Muhammadiyah berketetapan hati untuk tidak menyimpang dari filosofi dasarnya sebagai kekuatan Islam moderat tetapi berprinsip.” [Lihat:”Tajdid Muhammadiyah Dari Ahmad Dahlan hingga A.Syafi’i Ma’arif, karya Hery Sucipto dan Najmuddin].
Tuduhan yang mengatakan, bahwa ide Muslim moderat hanya sebuah cara untuk mencari posisi “aman” adalah sungguh tidak berdasar. Tuduhan seperti itu bisa dipandang oleh masyarakat sebagai sikap yang dilandasi prasangka buruk dan kebencian yang jelas-jelas sangat bertolak belakang dengan prinsip moral Islam.
Konklusi dan Penutup
Berdasarkan fakta-fakta di atas menunjukan, bahwa tuduhan yang menyatakan ide Muslim moderat itu hanya semata-mata untuk mencari posisi “aman”, sebagaimana dialamatkan oleh saudara Asrir dalam tulisannya adalah lemah dan rapuh alasannya.
Akan tetapi, apabila ide muslim moderat itu ada orientasi ke sana sekali pun, maka hal itu sebetulnya tidak perlu dipersoalkan. Mengingat Islam menyuruh umatnya untuk berbuat baik dan supaya tidak menjerumuskan dirinya ke dalam jurang yang membahayakan dan membinasakan. [Q.S. Al-Baqarah:195]
Jadi, menurut hemat penulis, silahkan seseorang menjadi muslim dermawan, asalkan bukan Muslim bakhil, jadilah Muslim tekun, bukan Muslim malas, jadilah muslim bermoral, bukan muslim amoral, jadilah Muslim penyayang dan sabar, bukan Muslim pemarah dan kasar, jadilah Muslim pemaaf, bukan Muslim pendendam, jadilah Muslim cerdas, bukan Muslim bodoh, jadilah Muslim bersaudara, bukan Muslim angkara, jadilah Muslim paripurna, bukan muslim pura-pura, jadilah muslim taat, bukan muslim keparat, jadilah muslim gemar beramal, bukan muslim gemar berbual, jadilah Muslim hanif dan moderat, bukan muslim sesat dan seterusnya. Simpel.
Penulis adalah Mahasiwa Kandidat Master Usuluddin, Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia