Oleh: Arif Munandar Riswanto
SAAT ini, bangsa ini sedang menghadapi masalah-masalah besar. Penegakan hukum yang tidak adil, kesenjangan kehidupan kaya-miskin, penistaan agama, money politics, kezaliman penguasa, korupsi, dan lain sebagainya adalah sedikit contoh dari banyak fenomena bahwa bangsa ini memang sedang dilanda masalah-masalah besar.
Masalah-masalah besar tersebut akhirnya menyebabkan kegaduhan yang besar serta menghabiskan energi dan ongkos yang tidak sedikit. Sehari-hari bangsa ini pun disuguhi oleh kegaduhan yang seolah-olah tiada henti.
Apalagi di zaman perkembangan arus informasi yang seperti tanpa batas. Setiap orang bisa menulis, memberikan opini, menyebarkan berita, membentuk image, dan membuat kepalsuan dengan bebas. Sebuah fenomena yang akan merusak dan meruntuhkan otoritas.
Mungkin banyak di antara kita yang bertanya: apa akar penyebab dari masalah-masalah besar tersebut? Apakah ia disebabkan oleh iklim kehidupan politik yang tidak kondusif, kesenjangan ekonomi, atau nilai-nilai Pancasila dan Kebhinekaan yang tidak diamalkan dengan baik?Banyak orang yang berpendapat bahwa akar masalah dari bangsa ini adalah politik. Artinya, jika kehidupan politik sudah baik, maka bangsa ini akan menjadi baik. Jika masalah asasinya adalah politik, maka solusinya pun adalah politik.Pun begitu dengan orang-orang yang berpandangan bahwa akar masalahnya adalah ekonomi, sosial, atau nilai-nilai Pancasila dan Kebhinekaan yang tidak diamalkan dengan baik oleh masyarakat.
Jika kita renungkan lebih dalam, pada hakikatnya, akar masalah besar bangsa ini adalah manusia.Masalah bangsa ini adalah masalah tentang manusia. Masalah-masalah politik, ekonomi, sosial dan lain-lain hanyalah ranting yang mudah dilihat oleh semua orang dari pohon besar yang bermuara pada akar yang sama, yaitu manusia.
Baca: GIB Ingatkan Pemerintah Utamakan Pembangunan Manusia Beradab
Masalah-masalah tersebut adalah cermin dari fenomena manusia Indonesia.Hal ini berarti juga, jika akar dari masalah-masalah besar bangsa ini tidak diperbaiki, masalah-masalah tersebut akan terus-menerus terulang. Mungkin bentuk dari masalah tersebut bisa berbeda dari satu generasi ke generasi lain, tapi hakikatnya selalu sama. Dengan kata lain, jika manusia-manusia Indonesia tidak dididik untuk menjadi manusia yang baik (al-insān al-ṣāliḥ), bisa dipastikan pemimpin-pemimpin zalim, para penista agama, dan koruptor-koruptor baru akan terus-menerus lahir dari satu generasi ke generasi lain.Siapa yang menyangka bahwa pergantian politik dari Orde Baru ke Reformasi justru tidak bisa membuat kehidupan bangsa menjadi lebih baik. Ia menunjukkan bahwa pemimpin yang baru tidak dijamin bisa menjadi lebih baik dari pemimpin sebelumnya.
Padahal, dalam iklim demokrasi seperti zaman sekarang, untuk mengganti seorang pemimpin saja pasti memerlukan ongkos yang sungguh sangat besar. Karena pemimpin baru ternyata tidak lebih baik dari pemimpin sebelumnya, lagu-lagu indah tentang pembangunan, perubahan, dan kebebasan ketika Orde Baru diturunkan mulai terasa seperti fatamorgana di tengah sahara. Akhirnya banyak individu yang ingin kembali ke zaman Orde Baru.
Hakikat Manusia
Di dalam Islam, hakikat tentang manusia (yang meliputi ajaran-ajaran tentang siapa dirinya, tujuan hidup di dunia, akhlak, dan kebahagiaan) termasuk ke dalam salah satu ajaran asasi agama.Bahkan,al-Attas memasukkan hakikat manusia ke dalam salah satu unsur penting metafisikaIslam, yang dalam banyak hal berkaitan sangat erat dengan psikologi jiwa manusia (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam [Kuala Lumpur: ISTAC, 2001], 143-176).Al-Attas adalah salah seorang ilmuwan Muslim besar yang memberikan perhatian besar terhadap manusia.
Dalam tradisi Islam,para ilmuwan yang memiliki perhatian besar terhadap hakikat manusia adalah ilmuwan-ilmuwan yang memiliki pandangan-pandangan besar dalam metafisika Islam (Filsafat, Kalam, dan Tasawuf).
Manusia diciptakan oleh Allah memiliki dua karakteristik: jiwa dan tubuh. Yang pertama merujuk kepada hakikat sebenar manusia ketika dia mengatakan “aku”dimana jiwa, kemuliaan, akhlak, dan kebahagiaan hakiki berasal, sedangkan yang kedua merujuk kepada potensi hewani. Para ulama menyebut hakikat jiwa pertama dengan jiwa rasional (al-nafs al-nāṭiqah) sedangkan yang kedua disebut jiwa hewani (al-nafs al-ḥayawāniyyah).Ini yang kemudian disebut oleh para ulama bahwa manusia adalah ḥayawān al-nāṭiq.Jiwa rasional adalah jiwa yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya dimana kemuliaan, akhlak mulia, dan kebahagiaan berasal, sedangkan jiwa hewani adalah jiwa yang betul-betul identik dengan hewan. Karena memiliki sifat hewani, jiwa hewani harus diatur oleh jiwa rasional dengan baik. Menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzī, jiwa hewani yang harus diwaspadai oleh manusia wujud dalam tiga kekuatan: nafsu syahwat, nafsu amarah, dan nafsu kekayaan atau kekuasaan (Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb, 32 vols. [Beirut, Dār al-Fikr, 1981]: 1: 258).
Agar berhasil dalam hidup, manusia harus mengatur kedua hakikat jiwa tersebut dengan baik. Jiwa rasional harus senantiasa ada di atas dan mengatur jiwa hewani. Namun sebaliknya, jika jiwa hewani justru yang lebih dominan untuk kemudian menjadi raja dalam kerajaan manusia, manusia akan berubah menjadi seperti hewan, bahkan bisa lebih buruk daripada hewan (QS al-Aʿrāf [7]: 179). Dalam kondisi seperti itu, maka akan lahir kesengsaraan (al-shaqāwah) dan akhlak yang hina dari manusia.
Karena memiliki kedua potensi jiwa tersebut, manusia layaknya seperti kerajaan, yaitu kerajaan kecil (microcosmos). Fakhr al-Dīn al-Rāzī misalnya menyebut bahwa manusia pada hakikatnyaseperti kerajaan; jiwa rasional seperti seorang raja; indera eksternal dan internal seperti tentara; anggota-anggota badan seperti warga negara; syahwat dan amarah seperti musuh yang selalu berusaha untuk menghancurkan kerajaan dan membunuh warga negara.
Jika raja mampu mengendalikan musuh, negara akan stabil dan jauh dari konflik (Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Kitāb an-Nafs wa ar-Rūḥ wa Syarḥ Quwāhumā, ed. Muḥammad Ṣaghīr Ḥasan al-Maʿṣūmī [Islamabad, Islamic Research Institute: t.t.], 79-84).
Kedua hakikat jiwa yang ada di dalam diri manusia senantiasa tarik ulur dan berperang seumur hidup. Yang satu sering berusaha untuk mengalahkan yang lain.
Di sini kita bisa melihat bahwa pada hakikatnya seluruh manusia aktif dalam “politik”, yaitu politik untuk mengatur kerajaan diri sendiriyang berlaku seumur hidup dan disamakan dengan jihad paling besar (al-jihād al-akbar). Namun, karena semua orang memahami politik hanya sebatas hubungan manusia dengan negara, manusia banyak yang tidak menyadari dan gagal melaksanakan tugas-tugas politik untuk mengatur kerajaan diri sendiri. Ini yang kemudian menyebabkan kerusakan besar dimana-mana, termasuk bangsa Indonesia.>>> (BERSAMBUNG)