Oleh: Fadh Ahmad Arifan
MENYUSUL wacana liberalisme, wacana multikulturalisme mulai marak sekitar tahun 2004-2005-an. Di Yogyakarta pernah digelar halaqah tarjih, “Menuju Muslim berwawasan Multikultural”.
Multikulturalisme dalam halaqah ini dipahami melalui tiga sudut pandang: tauhid sosial, falsafah dan syariah (buku Reinvensi Islam Multikultural, 2005, hal vi).
Tak hanya itu saja, Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies (Impluse) di Sleman, Yogyakarta pernah mengadakan Sekolah Teori Multikulturalisme (STM). Sekolah singkat ini diadakan dengan maksud untuk untuk membangun dialog konstruktif dan mendekatkan multikulturalisme sebagai perspektif tentang kehidupan manusia. Materi yang diajarkan kepada pesertanya terdiri dari: Multikulturalisme ala Indonesia, Epistemologi Multikulturalisme, Gender dan Multikulturalisme hingga materi Negara, Kebijakan, dan Politik Multikultur (sumber: Impulse Jogja).
Multikulturalisme adakalanya digunakan perguruan tinggi sebagai “brand image”. Perguruan tinggi yang saya maksud contohnya Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Universitas Kanjuruhan.
Untuk Unisma sendiri belum bisa dikatakan kampus multikultural karena mayoritas mahasiswanya dari kalangan Nahdliyin (NU) saja. Berbeda dengan Universitas Kanjuruhan yang mahasiswanya ada non Muslimnya khususnya dari Indonesia bagian timur.
Selain Universitas Kanjuruhan, UMM Malang bisa dikategorikan kampus multikultural karena di sana terdapat beragam mahasiswa dari berbagai budaya dan agama. Bahkan mahasiswa asingnya cukup banyak khususnya dari Australia.
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) juga salah satu perguruan tinggi di Malang yang menjalin kerja sama dengan Australia, melalui Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS). Dalam program pertukaran mahasiswa ini, setiap tahun ada saja mahasiswa Australia yang belajar di UMM. Demikian sebaliknya, mahasiswa dan dosen UMM dikirim ke Negeri Kanguru itu (baca Sinar harapan, 21 November 2013).
Multikulturalisme adalah wacana lama yang diangkat lagi. Pada 14 Maret 2015, saya mengikuti bedah bukunya Prof. Dr Syamsul Arifin yang berjudul, “Studi islam Kontemporer: Arus Radikalisasi dan Multikulturalisme.” Acara ini diselenggarakan Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Pascasarjana UMM bekerjasama dengan The Asia Foundation.
Buku Guru Besar Sosiologi agama UMM Malang tersebut dibedah oleh Budhy Munawar Rachman dan 3 dosen UMM Malang, yakni Prof Dr Ishomuddin, Prof Dr Tobroni, dan Moh Nurhakim PhD. Budhy Munawar Rachman (yang juga dikenal murid Nurcholis Madjid) ini menilai buku karangan Syamsul Arifin masuk kategori “post-modern”. Alasannya, pendekatan yang dipakai masih relevan dengan problem keagamaan seperti kaum minoritas (agama lokal) yang menemui problem seperti kolom agama di KTP, pengurusan surat nikah dan akte lahir.
Ketika membaca sekilas isi buku ini, saya bisa menangkap empat hal:
Pertama, sosok Syamsul Arifin dapat dikategorikan orang Timur yang mengkaji Timur dengan kacamata Barat (Tanggapan dari Prof Tobroni).
Kedua, ia dengan tegas mengusung multikulturalisme untuk membendung maraknya radikalisme dan terorisme di tengah umat Islam. Jadi, boleh dibilang multikulturalisme merupakan obat De-radikalisasi.
Ketiga, ada yang aneh dari buku ini, multikulturalisme hanya diulas diawal saja selebihnya Syamsul Arifin justru mengulas Hizbut Tahrir, Syiah (YAPI) Bangil dan minoritas muslim di Australia.
Bahkan bila melihat indeks buku tersebut, kata “Multikulturalisme” hanya muncul 5 kali. Sedangkan kata “Radikal” dan “Radikalisme” masing-masing muncul 14 kali dan 6 kali.
Keempat, di buku ini tidak dijelaskan bagaimana penerapan multikulturalisme minimal untuk keluarga sendiri.
Saya curiga, jangan-jangan nanti gayanya seperti tokoh pengusung bolehnya nikah beda agama. Kepada orang lain, mendorong dan promosi habis-habisan, akan tetapi ketika giliran anak kandungnya menikah dengan non Muslim, dia tidak merestui dan mikir berlarut-larut sampai stres berat.
Lantas apa yang di maksud dengan multikulturalisme? Dalam buku “Panduan Integrasi Nilai Multikultur dalam Pendidikan Agama Islam pada SMA dan SMK”, terbitan Kementerian Agama RI, Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), dan TIFA Foundation, dijelaskan maksud multikultural adalah “kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa, atau pun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan, multikultural memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang public.”
Meminjam istilah Dr Adian Husaini, dengan istilah seperti di atas, multikulturalisme sedang mendorong seorang Muslim untuk melepas wawasan keimanannya. Muslim dijerat untuk berpikir, bahwa tiada beda antara tauhid dan syirik. Agama diletakkan dalam ranah pribadi. Di ranah publik, semua harus diperlakukan sama.
Jangan peduli, apakah agama dan budaya itu sesat atau bejat. Yang penting agama, yang penting budaya! Demikian kira-kira harapannya. Negara tidak berurusan dengan soal kebenaran atau kesesatan. Negara harus bersikap netral! (Baca; artikel Adian husaini dalam Koran Republika 19 April 2012, hal 24).
Dari sinilah kita harus mewaspadai maksud sebenarnya dari paham Multikulturalisme yang digaung-gaungkan pihak tertentu khususnya di ranah pendidikan.
Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa Islam tidak butuh yang namanya multikulturalisme.
Alasannya adalah; Pertama, pada hakekatnya multikulturalisme diusung kalangan liberal yang ujung-ujungnya menguntungkan pihak tertentu. Kedua, agama ini sudah lengkap ajarannya (syumul), hanya saja kita malas menggali ajarannya dan lebih menyukai ajaran dan paham di luar Islam. Bukankah sedari dulu Islam dikenal sebagai “rahmatalill’alamin”. Tinggal bagaimana kita memahami maksud rahmatalill’alamin tersebut dan berusaha mempraktekkannya dalam kehidupan sehari hari. Wallahu’allam bishowwab.*
Penulis adalah alumni MAN 3 Malang, sekarang menjadi seorang pendidik