Oleh: Nuim Hidayat
INSIDEN Sampang ikut mencuatkan Jalaluddin Rakhmat sebagai Ketua Ijabi (Ikatan Jamaah Ahlu Bait). Pendapat-pendapatnya banyak dikutip media massa. Sebelum ini, pria yang semula dikenal pakar komunikasi ini masih sembunyi-sembunyi tentang “kesyiahaannya”. Orang, hanya tahu dia juga salah satu tokoh yang gigih pembela pluralism agama yang pernah diharamkan ulama.
Semenjak saya kuliah di IPB akhir 80-an, buku-bukunya telah menjadi kegemaran saya dan best seller di Indonesia. Saat itu tiap bukunya terbit, hampir selalu saya membelinya. Meski saya bukan penganut Syiah, tapi karena saya haus buku saat itu, saya suka membaca karyanya. Karyanya enak dibaca, bahasanya lugas dan logikanya ‘cerdas”.
Buku yang pertama saya baca adalah bukunya yang berjudul “Islam Aktual”, kemudian saya baca bukunya “Islam Alternatif” hingga “Psikologi Komunikasi “, “Tafsir bil Ma’tsurnya”, dan “The Road to Muhammad”.
Saat itu saya baca wawasan keislaman –terutama analisa-analisa dan kritik sosialnya—saya sangat tertarik membacanya. Saat itu, di mana-mana dia mengaku sebagai SUSI (Sunni-Si’i).
Kala itu sudah ada kritikan tajam oleh tokoh Islam Dewan Da’wah, Nabhan Hussein. Saya sempat hadir dalam kajiannya tentang Syiah di Universitas Indonesia. Tapi karena uraian dan tulisannya tidak semenarik Jalal, saya tetap membaca bukunya.
Cuma saya mulai ragu dan mulai tanda-tanya siapa Jalaluddin Rakhmat ini,hingga mulai sering mengecam hadist shahih?
Wajahnya sebagai tokoh Syiah ini terbuka lebar ketika ia dengan terang-terangan meluncurkan Ijabi (Ikatan Jamaah Ahlu Bait), Juli 2000 di Kuningan, Jakarta.
Ketika Nurcholish Madjid mengaktifkan Paramadina, saya lihat Jalal juga aktif di sana. Ia sering diundang Nurcholish menyampaikan pemikiran dan makalahnya. Meskipun saat itu ia belum terlihat sebagai pembela gigih Nurcholish, seperti Budhy Munawar Rahman, Ulil Abshar Abdalla atau lainnya.
Jawaban terhadap pertanyaan intelektual Bandung itu terkuak, ketika ia dengan bangganya meluncurkan buku “Islam dan Pluralisme” yang diterbitkan Serambi (2006) di Universitas Paramadina.
Saat itu ia membedah bukunya di ‘Universitas Nurcholish’ itu dan berdebat keras bahkan panas dengan seorang intelektual muda, Dr Adian Husaini. Kala itu, Jalal terlihat sangat emosi ketika pemikirannya dikritik keras Adian Husaini.
Merasa bahwa bukunya tentang pluralisme mengandung kebenaran, Jalal pun terus mempublikasikan bukunya. Bukan hanya kelompok pluralis, kelompok non Islam, khususnya kalangan Kristiani juga menyambut hangat terbitnya buku Jalal itu.
Sehingga di tahun 2006 itu, setelah dibedah di Universitas Paramadina, maka buku itu kemudian dibedah di Gereja Kristen Jawa, Rawamangun Jakarta Timur 26 November 2006. Dan sampai sekarang buku itu pun menjadi karya Jalal yang tidak pernah ditariknya.
Apa yang terpenting dari isi buku itu? Buku ini sebenarnya intinya hanya merujuk kepada Jamal al Banna (penganut liberal di Mesir, saudara kandung Hasan Al Banna) dan tokoh Syiah Husseyn Fadhlullah. Jalaluddin juga menggunakan rujukan tafsir al Manar, Rasyid Ridha, sayangnya dia memutarbalikkan pendapat ulama besar ini.
Di halaman 20, Jalal menyatakan: “Bertentangan dengan kaum eksklusivis adalah kaum pluralis. Mereka berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh keselamatan dan masuk sorga. Semua agama benar berdasarkan kriteria masing-masing. Each one is valid within its particular culture. Mereka percaya rahmat Allah itu luas…”
Kemudian Jalal menyandarkan pendapatnya ini pada surah al Baqarah 62 dan al Maidah 69 (juga al Hajj 17). Inti dari ayat ini hampir sama yaitu menurut Jalal :
“Ayat-ayat ini sangat jelas mendukung pluralisme. Ayat-ayat itu tidak menyatakan semua kelompok agama benar atau semua kelompok agama sama. Tidak! Ayat-ayat ini menegaskan bahwa semua golongan agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal saleh…” (hal. 23)
Surah al Baqarah ayat 62 ini menyatakan:
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’I, siapa saja diantara mereka yang beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
Setelah menguraikan pendapat Rasyid Ridha dalam Tafsir al Manarnya jilid I, Jalal kemudian menarik kesimpulan: “Walhasil menurut Ridha orang yang merasa pasti selamat hanya karena Islam, Nasrani atau Yahudi adalah orang yang terbuai atau tertipu (mughtarrin) dengan nama. Keselamatan, untuk mengulangi lagi yang sudah terlalu jelas, bergantung pada tiga syarat, keimanan kepada Allah, keimanan pada hari pembalasan dan amal shaleh.” (hal 29).
Jalal nampaknya ingin mengelirukan pembaca dengan hanya merujuk pada Tafsir al Manar jilid I. Hampir sama yang dilakukan Syafii Maarif ketika ia mendukung pluralisme dengan mengambil sebagian pendapat Hamka dan tidak peduli dengan pendapat Hamka lainnya. Ia tidak merujuk pada Tafsir al Manar jilid lainnya.
Dalam Tafsir al Manar jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab, disebutkan bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi (Islam) tidak sampai menurut yang sebenarnya dan kebenaran agama tidak tampak bagi mereka. Karena itu mereka diperlakukan seperti Ahlul Kitab yang hidup sebelum kedatangan Nabi. (Lihat buku Dr Hamid Ilyas “Dan Ahli Kitap pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non Muslim” dan Dr Adian Husaini “Pluralisme Agama Parasit bagi Agama-Agama”).
Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Mohammad Abduh dan Rasyid Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, yaitu:
Pertama, beriman kepada Allah dengan iman yang benar, tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan
Kedua, beriman kepada Al Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Mereka mengatakan bahwa syarat ini disebutkan lebih dahulu daripada tiga syarat yang lainnya, karena Al Qur’an merupakan landasan untuk berbuat dan menjadi pemberi koreksi serta kata putus ketika terjadi perbedaan. Hal ini lantaran kitab itu terjamin keutuhannya, tidak ada yang hilang dan tidak mengalami pengubahan
Ketiga, beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan bagi mereka
Keempat, rendah hati (khuyu’) yang merupakan buah dari iman yang benar dan membantu untuk melakukan perbuatan yang dituntut oleh iman
Kelima, tidak menjual ayat-ayat Allah dengan apapun dari kesenangan dunia.
Hal yang hampir sama dikatakan Sayid Qutb dalam tafsir fi Zhilalil Qur’an: “Ayat ini menegaskan bahwa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal shalih di kalangan mereka semua, akan mendapat pahala dari sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Jadi penilaian itu berdasarkan hakikat aqidah bukan berdasarkan rasa tau kebangsaan. Ini tentu berlaku sebelum pengutusan Nabi Muhammad saw. Sedangkan sesudah pengutusan Nabi saw, telah ditetapkan bentuk keimanan yang terakhir.”
Selain itu patut juga ditanyakan, bukankah kita mengimani Allah dan kemudian kita beramal saleh dengan shalat, zakat dan lain-lain karena iman kita kepada Nabi Muhammad saw? Bagaimana kaum selain Islam dikatakan iman kepada Allah dan beramal saleh sedangkan Tuhan mereka saja berbeda dengan Tuhan orang Islam. Amal shaleh, tolok ukur kebajikan (termasuk di dalamnya ibadah-ibadahnya) pun beda bahkan kadang bertentangan. Maka jangan heran karena banyaknya kebingungan tentang keimanan ini, orang-orang non Muslim yang pintar-pintar di Negara-negara maju banyak yang menjadi ateis.
Pendapat-pendapat Jalal dalam buku ini memang perlu dikaji secara mendalam. Orang awam yang membacanya bisa terkena virus pluralismenya..* (bersambung)
Penulis adalah alumni Institut Pertanian Bogor dan penulis “Imperialisme Baru”