Oleh: Ahmad Arif Ginting
KAMIS (27/09/2012) kemarin, pemerintah Kota Madya Banda Aceh – yang saat ini dipimpin oleh Mawardi Nudin-Illiza Sa’aduddin untuk kali yang kedua– menghelat sebuah seminar internasional dengan tema “Banda Aceh Model Kota Madani”. Tema itu merupakan visi pemerintahan Kota Banda Aceh periode 2012 hingga 2017 nanti.
Nara sumber yang dihadirkan pun bukan sembarang orang. Yang utama adalah dari negeri jiran, Kelantan, Tuan Guru Dato’ Bentara Setia Haji Nik Abdul Aziz Bin Nik Mat yang tak lain adalah Menteri Besar (Gubernur) Negeri itu. Sayangnya, karena uzur dan alasan kesehatan, beliau tak bisa berhadir langsung. Hanya rekaman wawancaranya yang diputarkan kepada peserta. Dato’ Haji Taqiyuddin Bin Haji Hasan, Menteri Pariwisata negeri itu diutus sebagai penggantinya.
Juga tampil Ir. Tarmizi A. Karim, staf ahli Mentri Dalam Negeri RI yang juga mantan PJ Gubernur Aceh pada masa transisi pilkada kemarin. Selain itu, ada Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar, MA, Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA dan Prof. Drs. Yusny Saby, MA, Ph.D, yang semuanya merupakan guru besar di kampus IAIN Ar Raniry.
Mengapa Banda Aceh?
Banda Aceh kini telah berubah menjadi sebuah kota yang membanggakan dan mengundang decak kagum dengan segudang prestasi. Dari kota Banda Serambi Makkah ini bermunculanlah ulama-ulama yang terkenal kesalihan dan kezuhudannya, seperti Teungku Syiah Kuala (1693 M). Tidak hanya itu, kota ini juga pernah dipimpin oleh pemimpin yang menjunjung tinggi syari’at islam, yaitu Sultan Iskandar Muda (1636 M).
Bahkan, mungkin saja, Kota Serambi Mekkah saat itu telah menjadi kota yang madani.
Banda Aceh adalah sebuah kota yang penuh dengan torehan sejarah. Jika kita telusuri di awal pendiriannya, maka kita temukan kenyataan bahwa Banda Aceh memang sebuah kota yang terpancang rapid an terpola. Konsep Banda Aceh di masa lalu itu laksana merujuk pada pola Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam membangun kota Madinah setelah hijrah dari Makkah. Rasul membangun kota di sebuah kawan yang semula bernama Yatsrib menjadi Madinah, berarti kota.
Gerakan ilmu dan keilmuan yang digagas Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam mampu mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat bertoleransi. Di sini pula lahir sebuah konstitusi kemanusiaan yang sangat mulia bernama “Piagam Madinah” dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam mentamsilkan ilmu sebagai tetesan air yang mampu menyuburkan tanah dan menghidupkan berbagai macam pohon yang subur di atasnya. Ilmu ditampilkan sebagai sumber mata air di dalam tanah yang memberikan kehidupan bagi makhluk yang hidup di atasnya, serta menjadikan makmur suatu negeri dan membuat rakyatnya hidup dalam kesejahteraan.
Islam adalah agama sempurna, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha islam sebagai agama kalian” (QS. Al Maidah: 3). Islam bukan hanya sekedar agama ritual. Di dalamnya setiap detil permasalahan dunia ini diatur. Islam mengatur cara berpolitik dan menyelesaikan problematika kehidupan. Islam adalah ideology, dasar berpolitik, dasar berekonomi, dasar bermasyarakat dan dasar berbudaya. Bahkan isalam mengatur urusan pertahanan dan keamanan.
Atas dasar itu pula, pemerintah Kota Banda Aceh menggagas Banda Aceh sebagai model kota madani. Kota yang penduduknya beriman dan berakhlak mulia, menjaga persatuan dan kesatuan, toleran dalam perbedaan, taat hokum dan memiliki ruang public yang luas. Kota ini memiliki masyarakat yang berpartisipasi dalam penyelenggaraanpembangunan, inklusif, mampu bekerja sama untuk menggapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Dari sini akan lahir warga kota Banda Aceh yang memiliki jati diri ramah, taat aturan, damai, sejahtera, berharga diri tinggi, berbudaya dan beradab.
Lima tahun ke depan Pemerintah Kota Banda Aceh akan berupaya dengan sungguh-sungguh bersama seluiruh stakeholder untuk mewujukan visi tersebut. Dibutuhkan sinergisasi dan sinkronisasi mindset dan pemahaman semua pihak dalam menginterpretasikan makna madani dan bagaimana mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, diperlukan jalinan kerjasama yang kuat antara ulama dan umara dalam mewujudkannya. Seminar visi dan misi Kota Banda Aceh yang diselenggarakan ini adalah merupakan titik awal untuk dapat melahirkan program-program pembangunan yang dapat merealisasikan Kota Banda Aceh menjadi Kota yang Madani.
Wali Kota Banda Aceh dalam sambutannya membuka seminar itu mengatakan. “Kita ingin menjadikan Banda Aceh menjadi twin city (kota kembar) nya negeri Kelantan”. Hemat penulis, pada poin inilah yang perlu kita kritisi bersama. Bahwa upaya duplikasi itu memang bagus. Tentu kita tidak ingin menjadi seperti kebanyakan orang yang punya hasrat begitu menggebu-gebu untuk mencapai tujuan, tapi tidak mempersiapkan proses untuk mencapai tujuan itu.
Dengan kata lain, mereka orang kebanyakan itu silau dengan gemerlap sukses (hasil) yang telah diraih seseorang atau sebuah negeri. Tapi lupa akan bagaimana proses yang ditempuh oleh orangdan atau negeri yang sukses itu hingga meraih kesuksesan. Oleh karena itu, yuk bercermin pada proses kesuksesan. Bukan malah terpaku di hadapan sukses (hasil) itu sendiri.
Secara kronologis, Kelantan telah melalui rangkaian perjalanan yang tidak mudah hingga mereka sampai pada titik seperti yang sekarang ini mereka rasakan. Dato’ Haji Taqiyuddin Bin Haji Hasan, Menteri Pariwisata negeri itu menceritakan kronologis panjang upaya penegakan syariat di negeri berjulukan Daru an Na’im itu.
Saat ini, Kelantan berpenduduk hanya 1.5 juta jiwa dengan 90% populasinya adalah melayu, sedangkan sisanya yang 10% lagi merupakan campuran dari beragam etnik seperti Cina, India, dan sebagainya. Kelantan merupakan satu dari 14 negeri dalam wilayah kerajaan Malaysia. Pada tahun 1990, partai oposisi PAS (Partai Al Islam Semalaysia) memenangi pemilihan dan memegang tampuk pemerintahan.
Sejak itu hingga kini, negeri Kelantan diatur berdasarkan empat sumber hokum islam, yaitu Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Sultan negeri Kelantan sendiri yang melantik Haji Nik Abdul Aziz Bin Nik Mat –yang dikemudian hari diberi gelar Tuan Guru Dato’ Bentara Setia- pada tahun 1990 dan terus berlanjut hingga sekarang karena PAS selalu memenangi pemilu di negeri itu. Dari 45 kursi di parlemen, 39 adalah kader PAS periode sekarang. Bahkan, spernah di satu waktu, ke 45 kursi itu diduduki oleh kader-kader PAS. Karenanya, PAS menjadi satu-satunya partai opisisi yang memegang tampuk pemerintahan negeri (provinsi).
Kota Madani versi Kelantan
Terkait dengan kata madani, memang banyak sekali defenisi yang diberikan oleh para pakar. Tapi, pemerintah negeri Kelantan lebih contoh kepada pengertian yang diberikan oleh Haidar bahwa Islamic city (Kota Madani) itu berdasarkan atas Al Quran, Sunnah dan Iman.
Fondasi Al Quran disebut dengan dar al quran, dimana Al Quran dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan teknologi bagi seluruh anggota masyarakat. Fondasi sunnah yang disebut dengan dar al sunnah, dimaksudkan agar setiap anggota masyarakat merealisasikan model kerasulan dalam praktik keseharian hidup dan berkehidupan.
Sedangkan fondasi iman, dar al iman, dimaksudkan agar seluruh lapisan masyarakat –dari yang paling bawah hingga the top one (orang nomor satu/pemimpin) negeri- itu mengaktualisasikan nilai-nilai keimanan seperti tasamuh (toleransi), takaful (solidarity) dan tadhamun (responsibility).
Sang gubernur, selalu mengingatkan pada tiga misi dari visi “Membangun Bersama Islam” mereka. Pertama, ‘ubudiyah. Maknanya, totalitas dalam penghambaan diri kepada Allah. Setiap individu pada hakikatnya adalah hamba yang sama di hadapan Allah ‘azza wa jalla. Kedua, mas’uliyah. Artinya, pertanggungjawaban mereka tidak semata kepada manusia (pemerintah), tapi juga kepada Allah. Inilah yang membedakan islam dengan sekulerisme dan atau liberalism. Ketiga, itqan. Maksudnya, setiap individu dituntuk untuk bekerja maksimal hingga mencapai hasil excellent.
Dari segi peraturan perundang-undangan, pemerintah negeri Kelantan telah mensahkan qanun jinayah syar’iyah di hari-hari pertama mereka memerintah. Sultan negeri itu juga telah menandatanganinya. Tapi apa lacur, pemerintah pusat kerajaan Malaysia menganulir qanun itu dengan alasan bertentangan dengan undang-undang emergency mereka.
Walau demikian, gubernur Kelantan tak berpatah arang. Sang gubernur yang alumni Universitas Al Azhar Mesir itu menggunakan salah satu qaidah ushuliyah yang berbunyi, “ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu”, bahwa apa yang tidak bisa dilaksanakan semuanya secara integral, tidak boleh ditinggalkan pula semuanya. Maksudnya, meskipun secara formal procedural pemerintah pusat telah menganulir qanun itu, tapi secara informal tetap dibuat kesepakatan di tengah masyarakat bahwa sebagian dari paa qanun itu tetap dijalankan.
Mensiasati phobia pemerintah pusat Malaysia, gubernur negeri itu menggagas konsep Kota Madani dalam upaya penegakan syariat secara kaffah. Tak tanggung-tanggung, sang gubernur bersama team work-nya menggodok master plan (cetak biru) konsep kota madani itu selama lima tahun (2000-2005).
Awal tahun 2005, dikeluarkan master plan itu yang intinya ada pada 5 K. Pertama, keilmuan, bahwa masyarakat negeri itu adalah masyarakat berilmu dan memahami makna syariat secara komprehensif-integritif. Kedua, kepatuhan setiap individu untuk menta’ati syariat tanpa tebang pilih dan hanya menta’ati peraturan hokum (perundang-undangan) yang sejalan dengan syariat. Ketiga, kebajikan yang selalu dilandaskan pada pertimbangan maqashid syari’ah yaitu menjaga jiwa, akal, harta, agama dan keturunan. Dengan kata lain, tanggung jawab sosial (social responsibility) selalu dikedepankan. Keempat, kebersihan ruhani dan jasadi dari segala anasir kemungkaran. Kelima, kesejahteraan bersama yang direfleksikan melalui persaudaraan adalah tujuan akhir dari pada pembangunan.
Bercermin
Setidaknya ada dua poin penting bagi pemerintah Kota Banda Aceh sebagai hasil dari bercemin pada perjuangan menegakkan syari’at di negeri Dato’ Nik Mat. Kita pun tentu patut mengapresiasi niat baik pemerintah Kota Banda Aceh itu tinimbang pemerintah kabupaten/kota lainnya, atau bahkan pemerintah provinsi Aceh, yang masih belum memiliki perencanaan jelas tentang penegakan syariat di masa hadapan.
Pertama, pemimpin itu harus mampu bersikap jantan. Tidak peragu, apatah lagi dungu. Atau hanya tangan berpangku. Keberanian disini tidak hanya berarti berani frontal. Melainkan keberanian yang berlandaskan pada ilmu yang mendalam. Jantan bersikap itu hanya mampu dilakukan oleh pemimpin yang mentalnya telah merdeka. Tidak sedang terjajajah, baik oleh materi maupun cekak pikiran karena tak ada ilmu.
Pemimpin yang jantan itu meletakkan materi di ujung jari, bukan di dalam hati. Materi (kekayaan dalam arti yang luas) bukan jadi tujuan, tapi sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, pemimpin jantan itu tidak terjajah oleh dua penyakti akut; hub al dunya wa karahiya al maut (cinta dunia dan takut mati).
Kedua, pemimpin itu harus memiliki political will yang jelas lagi tegas. Tidak takut digertak. Tidak mudah dibelokkan dari track yang telah disepakati bersama. Apa yang ada dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, tentu harus dilaksanakan. Sebab, hukum (tepatnya peraturan perundang-undangan) yang tidak dilaksanakan, menurut ahli hukum, dapat dianggap sebagai kematian hukum.
Akhirnya, negeri Kelantan telah menceritakan suka duka mereka menegakkan syariat yang mulia. Sekarang berpulang kepada pemerintah Kota Banda Aceh dan juga masyarakatnya, apakah hanya terkesima dengan kata-kata. Atawa bergerak dengan kerja nyata. Waktu akan membuktikan.*
Penulis adalah pendiri dan pemilik perpustakaan komunitas RUMAN (Rumoh Baca Aneuk Nanggroe) Banda Aceh