Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
SEBAGAI aktivis yang terjun langsung berhadapan dengan masyarakat, penulis justru menyaksikan dan mengalami sendiri pendekatan “pluralisme agama” untuk menciptakan kesadaran hidup berdampingan dengan agama lain, justru malah kontra-produktif, apalagi ketika yang membawanya pemerintah. Banyak kerugian yang dialami pemerintah dalam hal ini.
Pertama, karena pendekatan “pluralisme agama” ini berdimensi teologis, maka isu yang dimunculkan menjadi sangat sensitif. Memahamkan umat beragama agar menerima pandangan-pandangan pluralisme justru menabrak doktrin-doktrin agama yang diajarkan oleh para propagandis agama.
Di satu sisi “pluralisme” memaksa setiap pemeluk agama untuk melepaskan klaim kebenaran atas agama yang dianutnya, sementara setiap hari para pendakwah agama selalu mengajarkan bahwa agama merekalah yang paling pantas untuk dianut. Secara sosiologis, kedekatan para propagandis (baca: pendakwah) kepada masyarakat jauh melebihi para pengusung gagasan “pluralisme” yang lebih banyak berbicara di media-media yang terlampau formal dan jauh dari masyarakat.
Oleh sebab itu, hampir bisa dipastikan bahwa gagasan ini akan segera mendapatkan penolakan dari para pendakwah dan penganut agama sendiri.
Kedua, alih-alih gagasan ini diterima dengan baik sebagai alternatif dalam menyelesaikan kasus hubungan antar-agama; justru malah datangnya teori ini menimbulkan ketegangan baru di dalam tubuh umat beragama. Ketegangan itu terjadi antara penganut agama dengan pengusung gagasan “pluralisme” yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Sebelum teori ini digadang-gadang, gagasan tentang toleransi beragama masih relatif dapat diterima oleh para pemimpin agama. Siapa yang membawa gagasan “toleransi” masih disambut secara positif. Bahkan, para pemimpin agama secara sukarela mencari argumen-argumen agama untuk menguatkan gagasan itu, karena sejatinya tawaran toleransi tidak merusak struktur teologis yang dibangun oleh agama masing-masing. Tuntutan toleransi hanya sebatas kegiatan sosial yang tidak serigid pola-bangun teologis. Akan tetapi, ketika gagasan “pluralisme” ditawarkan segera muncul penolakan, baik bersifat reaktif maupun lebih terstruktur. Kemunculannya malah menjadi “musuh baru” umat beragama. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila kemudian malah muncul gerakan yang secara terang-terangan menolak “pluralisme” ini. Munculnya gerakan ini bukan karena para penganut agama tidak mau menghormati agama lain, melainkan karena gagasan pluralisme dianggap akan merusak kepercayaan yang mereka pegang selama ini.
Sebagai sebuah “isme”, gagasan “pluralisme” ini juga malah membentuk kelompok baru pendukungnya. Mereka mengikatkan diri dengan konstruk teologi yang sama, yaitu penerimaan terhadap “pluralisme”.
Ketika gagasan yang semestinya menjadi faktor kohesif di antara penganut agama-agama yang telah ada malah menciptakan “kelompok baru”, maka gagasan ini pada hakikatnya malah menciptakan “agama baru” yang problemnya sama dengan agama yang telah ada sebelumnya.
Contoh yang paling tidak bisa ditolak adalah peristiwa bentrok antara masa FPI dengan masa yang menamakan diri AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kemajemukan Beragama dan Berkeyakinan) pada 1 Juni 2008 di sekitar Monas. Bentrokan ini bukan antara penganut agama A dan B, melainkan antara penolak gagasan “pluralisme” (FPI) dan pendukungnya (AKKBB).
Ketiga, ketika pengambil kebijakan—dalam hal ini pemerintah—ikut mendukung gagasan pluralisme agama ini, pemerintah pun ikut kena getahnya. Posisi pemerintah sebagai representasi negara sebetulnya sangat ideal sebagai “penengah” dalam menyelesaikan berbagai kasus hubungan antar-agama. Akan tetapi, ketika pilihan pemerintah adalah mendukung gagasan “pluralisme agama”, kini pemerintah ikut dalam pusara konflik itu sendiri.
Pemerintah tidak bisa memainkan peran sebagai mediator. Setiap usaha-usaha pemerintah untuk mengadakan dialog antar-umat beragama, mengumpulkan para pemimpin agama, mengadakan pelatihan, dan sebagainya selalu dicurigai sebagai usaha-usaha untuk memaksakan paham pluralisme agama ke tengah umat beragama. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila FKUB yang digagas pemerintah sering dicurigai sebagai agen pemikiran “pluralisme agama” yang harus ditolak. Apalagi fatwa MUI tahun 2005 hingga saat ini menjadi semakin kuat dipegang oleh sebagian besar umat Islam.
Pengalaman penulis di lapangan menemukan setiap kali ada agenda-agenda dialog antar-umat beragama yang digagas pemerintah, terutama melalui FKUB, selalu dicurigai sebagai usaha untuk “merusak” agama melalui pemaksaan paham “pluralisme” agama.
Bahkan seringkali usaha-usaha pemerintah merajut harmoni antar-umat beragama dimentahkan oleh kecurigaan para pemimpin agama. Tentu saja, ini akan menjadi kesulitan lain dalam usaha-usaha mewujudkan harmoni di antar-agama.
Kembali kepada “Toleransi”
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, sesungguhnya bagi pemangku kebijakan seperti pemerintah mengelola perbedaan-perbedaan agama sesungguhnya cukup berhenti pada teori “toleransi” yang berfokus pada kohesi sosial, bukan teologis. Sudah pasti, secara teologis, setiap agama akan saling menyalahkan agama lain secara teologis dan masing-masing akan mengklaim kebenaran agamanya sendiri. Akan tetapi, keyakinan-keyakinan teologis yang saling menyalahkan itu tidak boleh sampai mewujud dalam hubungan sosial yang saling mengasikan. Tentu dalam hal ini setiap agama harus menahan diri untuk tetap menghormati keyakinan dan kepercayaan yang berbeda walaupun yang dihormatinya itu dianggap ketidakbenaran dalam perspektif keyakinannya.
Dengan pendekatan “toleransi” yang sudah dipraktikkan selama ratusan tahun sepanjang sejarah kekuasaan manusia, kerukunan antar-umat beragama dan kohesi sosial dapat diwujudkan oleh pemerintah yang berkuasa tanpa kecurigaan pihak penguasa akan merusak kepercayaan dan keyakinan agama yang tengah dianut oleh mereka. Kalaupun masih terjadi konflik-konflik horizontal yang sering mengatasnamakan agama, biasanya bukan semata-mata masalah perbedaan agama yang menjadi sebabnya. Ada faktor-faktor lain seperti kesenjangan ekonomi dan sosial, ketidakadilan politik, dan sebagainya yang mendorong identitas keberagamaan dijadikan topeng dan alasan untuk berkonflik dengan pihak lain.
Hal-hal semacam ini di Indonesia ditemukan dalam kasus-kasus konflik yang terjadi di Ambon, Poso, Sampit, dan sebagainya. Persoalan yang terjadi bukan semata-mata karena agama yang berbeda sehingga belum tentu bisa diselesaikan dengan pendekatan-pendekatan teologis seperti pendekatan “pluralisme agama”.
Bila pendekatan “toleransi” yang digunakan, maka jikapun akan memanfaatkan doktrin-doktrin teologis tidak perlu membuat formula dan tafsir-tafsir teologis baru yang hanya akan menimbulkan kontroversi dan ketegangan baru dalam hubungan antar-agama dan antar-keyakinan.
Paling tidak prinsip-prinsi dasar teologis setiap agama memberikan ruang sangat besar untuk menghormati hak hidup kepercayaan dan agama-agama lain.
Memang dalam setiap agama ada ajaran semacam “misi”, “zending”, “dakwah, dan semisalnya sebagai konsekwensi dari klaim atas kebenaran eksklusif setiap agama. Tapi tidak pernah terdengar bahwa sifat dari ajaran-ajaran itu memaksa dengan cara apa saja.
Ajaran-ajaran tentang keharusan menyebarkan keyakinan dalam setiap agama sifatnya adalah “penyiaran” dan “tawaran” bukan paksaan. Model ajaran semacam ini sama sekali tidak akan mengganggu kohesi sosial sepanjang cara-cara komunikasi yang dilakukan tidak kasar dan melukai hati audiennya. Penyampaian dakwah atau misi yang kasar sudah pasti akan juga dianggap sebagai kesalahan dalam metode penyampaian kebenaran kepada orang lain. Oleh sebab itu, walaupun ada ajaran “misi” dan “dakwah” dalam setiap agama, secara sosial tidak akan mengganggu hubungan antar-manusia. Wallâhu A’lamu bi Al-Shawwâb.*
Penulis adalah Ketua Umum PP Pemuda Persatuan Islam (PERSIS)