Oleh: Patahurrahman
Hidayatullah.com | KESETARAAN gender, homoseksual, dan lesbianisme adalah sejumlah paham dan praktik kehidupan yang gigih disebarkan oleh kaum liberal di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Dengan memboncang wacana “kebebasan berekspresi” (freedom of expression), faham ini terus dimasukkan secara gencar agar mendapat legalitas.
Sampai hari ini, para penganut aliran ini terus menyatakan bahwa setiap orang berhak menyalurkan hasrat seksualitasnya kepada siapa saja, termasuk kepada sesama jenis (laki-laki dengan laki-laki /homo), atau perempuan dengan perempuan (lesbi). Sebagian lain sudah lebih maju lagi, megampanyekan perlunya pelampiasan seks manusia dengan binatang.
Maka tidaklah mengherankan, kedatangan pegiat dan praktisi iberalisme, Irshad Manji, di Indonesia (pada 2008 dan 2012) mendapatkan dukungan luas oleh kaum liberal dan media massa nasional. Disebuah jurnal perempauan, Irshad Majni bahkan diberi julukan mulia sebagai “Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad”.
Sayanagnya, para pendukung legalisasi perkawinan sesama jenis (homo dan lesbi) biasanya “mencatut” nama-nama ulama Muslim untuk membenarkan pandangannya. Tujuannya untuk menjadikan pandangan mereka seolah-olah mempunyai landasan dalam Islam.
Salah satu dari ulama yang dicatut namanya adalah Syihabuddin Ahmad al-Tifasyi (w. 560 H/1184 M), dari Tunisia, penulis buku Nuzhad al-Albab Fima La Yujad fi al-Kitab, (London-Cyprus: Riad El-Rayyes Books, cet. 1, 1992).
Kata seorang penulis liberal, dalam bukunya tersebut, al-Tifasyi disinyalir mendukung praktik homoseksualitas dan lesbianisme dengan satu pandangannya, “al-sahq syahwah tabiyyah” (lesbian merupakan hasrat seksual yang normal). Padahal kata al-Tifasysi sendiri, itu adalah pendapat sebagian orang. (Nuzhat al-Albab, hlm. 236).
Lebih dari itu, al-Tifasyi sendiri, dalam bukunya tersebut mencatat pendapat-pendapat yang mencela lesbianisme (Dzamm al-Shaq). Karena itu, hal itu abnormal.
Di sana dicatat bahwa salah seorang “lesbian” berkirim surat kepada kekasihnya sesama lesbian. Dia menyatakan selama ini yang dia rasakan tidak sempurna setelah menikmati bagaimana nikmatnya berhubungan dengan laki-laki, dan tidak ingin melepaskannya.
Kemudian dia mengakhiri suratnya dengan, “Keluarkanlah rasa cintamu kepadaku dari dalam hatimu. Aku telah meletakkan ‘sesuatu’ untuk menggantikan cintamu dalam hatiku. Dan dia tidak akan keluar (hilang) kecuali bersama nyawa.”
Sayangnya, pandangan al-Tafayi yang terang benerang itu luput dari penglihatan kaum liberal. Karena tujuan mereka memang hanya mencari pendapat dan legitimasi yang sesuai dengan pandangan mereka, meskipun pendapat dan pandangan tersebut lemah bahkan tidak benar (palsu).
Terang saja hal ini tidak dapat dibenarkan khususnya dalam dunia ilmiah. Selain menyelewengkan pendapat al-Tafasyi, kaum liberal juga biasanya “mengkeritik” kisah nabi Lut beserta kaumnya yang mengidap penyakit seksual menyimpang (homo). Dimana menurut mereka azab yang menimpa kaum Lut tidak semata-mata karena praktik seksualitas mereka yang menyimpang itu. Kaum Lut diazab oleh Allah kata mereka, adalah karena “kekafiran”. Anehnya kaum liberal tidak mau mengulas dan melihat kisah nabi Lut dengan kaumnya itu dari sudut fiqh, melainkan dari sisi sastra, seperti yang dilakukan, misalnya oleh jurnal perempuan.
Dalam bukunya, Allah, Liberty, and Love, Ishad Majni juga memanipulasi penafsiran kisah Lut dalam Al-Qur an. Katanya, “cerita Sodom dan Gomoroh kisah Nabi Lut dalam Islam tergolong tersirat (ambigu). Kau merasa yakin kalau surat ini mengenai homoseksual, tepi sebelumnya bisa saja mengangkat perkosaan pria “lurus” oleh pria “lurus” lainnya sebagai penggambran atas kekuasaan dan kontrol. Tubuh menghukum kaum Lut karena memotong jalur perdagangan, menumpuk kekayaan, dan berlaku tidak hormat terhadap orang luar.
Mengenai kisah Nabi Lut beserta kaumnya, penting untuk mencermati pandangan pakar tafsir Muhammad Rasyid Rida di bawah ini. Setelah memberikan contoh ayat-ayat kisah “hujan batu” salah satunya yang diminta oleh kafir Quraisy dalam QS. 8:32 Rida menyatakan, “kita percaya dengan ayat-ayat ini, seperti yang ada dalam surah Al-Qur an”. (Rasyid Rida, Tafsir al- Manar, VIII: 518). dan ketiaka Allah mengembalikan negeri mereka (dimana bagian atasnya menjadi bagian bawah) terjadi, menurut Rida, berdasarkan sunnah Ilahi; baik nyata maupun secara rahasia (al-sunnah al-ilahiyyah al-jaliyyah aw al-khafiyyah) tidak menafikan posisinya sebagai satu ayat. (Tafsir al-Manar, VIII: 519).
Dan ketika menafsirkan akhir ayat dari Qs. 8: 84 itu, Rida menyatakan, “seruan ini umum, meliputi orang-orang yang mendengar kisah (tentunya termasuk kita, yang membaca Al-Qur an) ini, yakni orang-orang yang mau berfikir dan mengambil pelajaran. Dan, tambah Rida, ganjaran dari orang-orang pelaku kriminal adalah hukuman, di dunia sebelum akhirat,” (Tafsir al-Manar, VIII: 519).
Masih menurut Rida, para ulama berijma’ (bersepakat) bahwa “homoseks” (al-liwatah) adalah maksiat yang besar, makanya Allah menyebutkannya dalam “perbuatan keji” (fahisyah). Banyak hadis yang melaknat pelakunya, seperti dalam Imam al-Nasa’I dan Imam Ibn Hibban serta disahihkan oleh Imam al-Tabrani dan Imam al-Baihaqi. Sebagian lagi disahihkan oleh al-Hikam. Ala kulli, semuanya saling menguatkan dalam hal yang sudah dikenal secara otomatis dalam agama (al-Ma’lum min al-din bin al-darurah).
Imam al-Turmuzi juga meriwayatkan satu hadis Rasulullah ﷺ yang berbunyi: “Satu hal yang paling aku takutkan terhadap ummatku adalah perbuatan Kaum Lut.” Hadis ini disahihkan oleh Imam al-Hakim, sementara menurut Imam al-Turmuzi sendiri dinilai sebagai hadis hasan gharib. (Tafsir al-Manar, VIII: 519).
Ini tentunya bertolak-belakang dengan pernyataan salah seorang aktivis liberal, yang mengutup Muhammad Galal Kisyk dalam bukunya Khawatir Muslim fi Mas’alah Jinsiyyah (Cairo: Maktabah al-Turats al-Islami, 1995), yang menyatakan bahwa menurut al-Turmuzi hadis tersebut adalah gharib. Kita berharap, siapapun juga, apalagi yang mengaku Muslim, untuk berlaku jujur dan adil serta hati-hati dalam menyampaikan tentang hukum agama, seperti homoseksualitas dan lesbianisme.
Sepanjang sejarah Islam, tidak pernah ada perbedaan pendapat tentang setatus kejahatan homoseksualitas dan lesbianisme. Bahwa keduanya merupakan kejahatan seksual yang sangat bejat dan berat hukumannya dalam Islam.*
Alumni PKU angkatan ke-X