Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
KEMAJEMUKAN agama dan kepercayaan di Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Ia telah menjadi bagian yang telah terintegrasi sejak mula bersamaan dengan lahirnya bangsa ini.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila sejak berdirinya negara ini, perbincangan mengenai hubungan antar-agama dan peran negara di dalam hubungan itu telah menjadi perbincangan awal.
Lahirnya Piagam Jakarta yang menjadi dasar lahirnya Pancasila dan UUD 1945 juga telah memuat gagasan-gagasan tentang kemajemukan ini.
Salah satunya tercermin dalam sila pertama dalam rumusan Pancasila versi Piagam Jakarta yang kemudian menjadi kontroversial setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sila ini adalah sila yang telah menyadari adanya kemajemukan itu.
Sila yang dimaksud di atas berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.” Pada tanggal 18 Agustus 1945, bunyi sila ini berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang bertahan hingga kini. Munculnya kalimat awal hingga terjadi perubahan tidak terlepas dari isu kemajemukan beragama di Indonesia.
Kemunculan kalimat pertama dipicu oleh suatu dorongan kenyataan bahwa banyak agama di negeri ini hingga harus didasarkan pada prinsip “ketuhanan”—tanpa embel-embel “Tuhan” dengan sifat seperti apa, namun harus ada perlakuan istimewa kepada kelompok mayoritas, yaitu umat Islam.
Mereka hendaknya diberi keleluasaan untuk menjalankan keyakinannya, termasuk keyakinan-keyakinan yang berkait dengan urusan publik yang hanya bisa dijalankan dengan difasilitasi negara.
Rupanya pemikiran ini belum sepenuhnya diterima oleh elit pemimpin saat itu hingga harus dihapus hak keistimewaan untuk umat Islam.
Kata-katanya berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang hanya menegaskan bahwa Indonesia adalah negara berdasar ketuhanan, bukan negara sekuler yang tidak mengakui keterlibatan agama dalam penyelenggaraan negara.
Kesadaran akan kemajemukan agama yang sudah ada di Indonesia sejak awal berdirinya negara ini tentu mendorong negara untuk menjadikan isu ini sebagai perhatian.
Kemajemukan yang ada harus dikelola dengan baik. Bila tidak dikelola kemajemukan ini akan menjadi kontra-produktif dengan visi pembangunan negara. Kemajemukan memang seperti pisau bermata dua. Dia bisa menjadi sesuatu yang mendukung berkembangnya negara, tapi juga bisa menghambat. Mendukung ketika agama-agama itu menjadi kekuatan supportif untuk mendukung berbagai cita-cita pendirian negara ini; dan menghambat bila agama malah menjadi sumber konflik primordial yang menghabiskan energi hanya untuk mengatasinya.
Hingga tahun 1980-an gagasan-gagasan tentang bagaimana menangani kemajemukan untuk mewujudkan kerukunan antar-umat beragama merupakan gagasan yang mendapat dukungan dari berbagai pemimpin agama. Formula yang ditawarkan dikenal dengan istilah “toleransi beragama”.
Istilah ini mengacu pada kontrol tindakan sosial terhadap penganut agama yang berbeda.
Semasa Orde Baru, konsep toleransi inilah yang paling sering menjadi acuan untuk mengelola kemajemukan beragama. Sampai pada taraf tertentu konsep ini cukup mendapat sambutan positif.
Bahkan gagasan ini mendapatkan dukungan dari hampir semua pemuka agama. Kerukunan pun secara relatif dapat diwujudkan. Walaupun karena ada usaha-usaha penyebaran agama tertentu di daerah-daerah yang sebelumnya telah menganut agama yang berbeda, ketegangan antar-umat beragama tidak bisa dihindarkan sepenuhnya.
Dalam beberapa kasus, minoritas Muslim tak bisa mendirikan masjid, begitu pula sebaliknya, kasus penolakan pembangunan gereja baru. Mestinya, sudah cukup diredam potensi konfliknya melalui SKB 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah.
Belum lagi kerusuhan masal yang semula dipicu oleh masalah konflik etnik kemudian sampai membawa-bawa nama agama seperti kerusuhan yang terjadi di Sampit Kalteng antara etnik Madura dengan Dayak tahun 2001 dan Kerusuhan Poso Sulsel tahun 1998 dan 2000 yang akar-akarnya sudah muncul sejak tahun 1995-an, serta kerusuhan Ambon tahun 1999.
Kembali maraknya berbagai konflik dan anarkisme yang mengatasnamakan agama, terutama setelah Orde Baru runtuh menyebabkan muncul gagasan-gagasan baru untuk mengatasi konflik-konflik atas nama agama ini demi terwujudnya kerukunan yang sangat dibutuhkan untuk menciptakan stabilitas demi tercapainya misi pembangunan.
Gagasan ini adalah gagasan yang ingin mencoba memindahkan domain penanganan hubungan antar-agama dari ranah sosial kepada ranah teologis. Secara teoretis pendekatan ini sering disebut sebagai “pluralisme agama”. Dasar-dasar wacana mengenai gagasan ini, di kalangan Muslim sudah ditemukan dalam tulisan-tulisan Nurcholish Madjid yang tersebar dalam berbagai bukunya sejak tahun 80-an.
Gagasan pluralisme agama sebagai solusi untuk menciptakan kerukunan beragama ini kemudian populer setelah Era Reformasi dan menjadi pemikiran mainstream untuk menangani masalah-masalah hubungan antar-agama. Hampir dalam setiap kajian, diskusi, seminar, dan bahkan riset-riset tentang kerukunan beragama, teori ini selalu menjadi landasan teori yang dianggap paling memadai dibandingkan teori “toleransi” yang dikenal sebelumnya yang hanya berdimensi sosial.
Evaluasi terhadap Pendekatan Pluralisme Agama
Per definisi, teori “pluralisme agama” ini sesungguhnya memiliki beberapa pengertian. Dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy seperti dikutip Budi Munawar-Rachman, misalnya, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pluralisme agama” bisa salah satu dari makna-makna berikut ini: 1) As the name of the woldview according to which one’s religion is not the sole and exclusive source of thruth, and thus that at least some truths and true values exist in other religions. 2) As acceptance of the concept that two or more religion with mutually exclusive truth claim are equally valid. This posture often emphasizes religion’s common aspects; 3) Sometimes as a synonym for ecumenism, i.e., the promotion of some level of unity, co-operation, and improved understanding between different religions or different denominations within a single religion; 4) And as synonym for religious tolerance, which is condition of harmonious co-existence between, adherents of different religions or religious denominations. (Rahman, 2011: 188)
Dalam satu pengertian, pluralisme agama ini bisa semakna dengan “toleransi” agama. Akan tetapi, dalam teori yang dikembangkan di Indonesia pasca-Orde Baru “pluralisme agama” yang dimaksud bukan toleransi, karena teori ini sendiri muncul sebagai kritik terhadap konsep “toleransi” yang sebelumnya dijadikan sandaran teoretis dalam penanganan masalah-masalah hubungan antar-umat beragama.
Konsep toleransi dianggap tidak fundamental sehingga pendekatannya justru harus langsung masuk ke dalam tataran konsep teologis. Oleh sebab itu, makana pluralisme yang dimaksud adalah: pertama, pengakuan atas kebenaran setiap agama sehingga tidak ada truth claim secara eksklusif atas kebenaran agama sendiri dari setiap pemeluk agama; dan kedua, pengakuan bahwa setiap agama bersatu dalam pengalaman esoteris, walaupun yang terlihat secara eksoteris berbeda-beda (transcendent unity of religion).
Gagasan tentang pluralisme agama berlainan agak berlainan dengan toleransi antar-umat beragama. Apabila toleransi antar-umat beragama berkaitan dengan hubungan sosial antar-umat beragama, sementara pandangan tentang pluralisme pendekatannya lebih doktrinal dan teologis, sekalipun sama-sama ingin mewujudkan hidup beragama yang dapat saling berdampingan. (Alkaf, 2011: 203; Rachman 2011: 210).
Di kalangan umat Islam, ketika gagasan ini digulirkan tahun 1980-an oleh Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, dan lain-lain kontroversi sudah terjadi. Apalagi kemudian ketika secara lebih terbuka dipopulerkan oleh gerakan-gerakan Islam Liberal setelah tahun 2000-an, kontroversinya semakin menguat. Puncak dari kontroversi ini adalah ketika terbit fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 2005 tentang haramnya Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme yang sering secara nyinyir disingkat menjadi “Sepilis”. Karena lahir dari kontroversi, fatwa inipun tidak sepi juga dari kontroversi. Pihak-pihak pendukung gagasan “pluralisme agama” juga tidak diam. Mereka segera menerbitkan tulisan, baik buku maupun artikel-artikel di jurnal dan koran-koran, untuk membela pandangan mereka dan menganggap fatwa MUI telah salah.
Pihak MUI dan para pendukungnya pun tetap bertahan dengan pandangan mereka. Oleh sebab itu, hingga saat ini masalah “pluralisme agama” ini tetap masih kontroversial. Tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh mengenai kontroversi teori ini di Indonesia. Akan lebih bermakna dan tidak tendensius apabila kita lihat secara objektif bagaimana dampak penggunaan teori ini dalam konteks penyadaran pentingnya menciptakan kerukunan di tengah umat beragama, terutama dari pengalaman umat Islam.* (bersambung)
Penulis adalah Ketua Umum PP Pemuda Persatuan Islam (PERSIS