Oleh: Dr. Fuad Amsyari
SEPERTINYA “Dialog Antar Agama (baca DAA, red)” kini sedang naik daun di Indonesia, apalagi dipioniri dan melibatkan oleh tokoh Pimpinan atau mantan Pimpinan Ormas Besar Islam di negeri ini, seperti NU dan Muhammadiyah.
Meski demikian, umat masih belum merasakan hasilnya. Tapi bagi para penyelenggara forum itu minimal sudah mendapat hadiah popularitas karena selalu dimuat di media masa. Sayang media masa tidak banyak memberitakan apa saja hasil dialog antar agama tersebut, bermanfaat atau tidak bagi rakyat.
Bahkan DAA yang dilakukan dengan fihak luar-negeri seperti Eropa (Yunani), Asia (Yordania), atau yang sebentar lagi diadakan dengan Afrika (Ethiopia), tentunya melibatkan perwakilan negeri yang terlibat dengan biaya yang tidak sedikit. Namun fakta nyata yang ada: agama Islam masih tetap saja dihinakan Nabinya, dihujat Kitab Sucinya, di hancur-lantakkan negerinya (ingat Iraq yang kemarin dulu dan Libya yang sekarang sedang berlangsung). Itukah hasil DAA yang digandrungi sebagian Tokoh Islam negeri ini?
Efek yang sedikit kongkrit dari ’DAA dalam negeri’ yang berlangsung beberapa waktu lalu malah meresahkan rakyat karena mendatangkan semacam ’fitnah’ terhadap pimpinan formal negeri ini.
Sempat bergolaklah ketenteraman masyarakat oleh berbagai tuduhan bernuansa ada kebohongan yang dilakukan Pemerintah. Apakah efek DAA dalam negeri yang seperti itu bermanfaat?
Jangan sampai atas nama DAA lalu terjadi demonstrasi masal yang berujung kejatuhan pemerintahan yang sah sehingga jadilah Indonesia korban kepentingan asing, di mana menjadi lemah dan mundur ke bertahun-tahun ke belakang seperti kasus Tunisia dan Mesir yang sekarang.
Dialog Anta Agama dengan luar negeri apa ya masih perlu? Mari direnungkan dengan mendalam. Proyek seperti itu tentu menguras dana dan tenaga, bahkan pemerintahpun terpaksa harus melibatkan diri (atau memang ’disuruh’ untuk belajar tentang kerukunan beragama dari negara lain, meniru anggaota DPR yang belajar macam-macam ke luar negeri itu?).
Jika memang bagian dari program pemerintah mengapa tidak sekalian menjadi misi resmi Pemerintah dan DPR RI, yang tentu di dalamnya ada seksi dan figur yang menangani aspek kerukunan beragama itu?
Dari sisi materi yang seharusnya apa yang dihasilkan oleh forum dialog seperti itu (seandainya memang forum itu dianggap masih perlu), agar bermanfaat bagi masyarakat, mestinya berfokus pada 3 hal penting.
Pertama, jangan ada penghujatan pada Nabi, Kitab suci, dan Syariat agama (coba dicermati berapa banyak manusia Indonesia yang mencerca syariat Islam yang baku tentang masalah sosial-kemasyarakatan seperti qisas, rajam, potong tangan,cambuk, jilbab, dll)
Kedua, jangan ada pemaksaan atau mendorong dengan macam-macam alasan agar orang beragama lain (terutama pejabat negara) mengikuti ’upacara ibadah’ agama yang tidak dipeluknya.
Ketiga, jangan ada upaya membuat orang yang sudah beragama pindah agama lain dengan memberi berbagai bentuk ’suap’ materi atau penekanan kelembagaan seperti sekolah, bisnis/perusahaan, dan semacamnya.
Kalau etika beragama seperti yang dicantumkan di atas di sepakati dan disosialisasikan secara luas, di samping semua pemeluk agama konsekwen taat aturan perundang-undangan tentang kerukunan agama, termasuk menghukum keras penodaan-penistaan pada agama, maka tentu kerukukan agama akan terwujud, tidak perlu belajar jauh-jauh ke luar negeri.
Beribu kali dialog agama dilakukan –baik di dalam dan luar negeri– menghabiskan dana besar dan waktu banyak, tidak akan bermanfaat jika materinya hanya menyentuh hal-hal abstrak, simbolistik, dan membuat orang tambah sekuler, tidak taat syariat agama.
Dialog Antar Agama (DAA) seperti itu adalah sia-sia, mubazir, yang dalam Islam disebut sebagai ’teman dari syetan’.
Penulis Ketua Badan Kehormatan Pusat (BKP), anggota Dewan Penasihat ICMI Pusat, dan presidium KAHMI Nasional