Oleh: Wardah Abeedah
Di masa kegemilangan peradaban Islam, bisa kita lihat Islam adalah agama paling toleran. Pada masa Kekhalifahan Umar, Gubernur Mesir Amr bin Ash menggusur rumah seorang Yahudi secara paksa. Kemudian Kholifah Umar bin Khattab memperingatkan gubernurnya agar menghentikan kedzaliman tersebut setelah si Yahudi melaporkan tindakan Amr bin Ash kepada khalifah.
Dalam sebuah kisah yang tak kalah masyhurnya, Ali bin Abi Thalib yang pada saat itu menjabat khalifah dikalahkanoleh seorang Yahudi dalam sebuah sengketa di pengadilan. Sang qadhi (hakim) memutuskan bahwa baju besi yang sebenarnya milik Kholifah Ali, menjadi hak milik Yahudi yang dituduhnya mencuri.
Islam dengan syariahnya yang sempurna sudah terbukti mampu mewujudkan negara yang aman, damai dan tenteram. Sebagaimana pada masa kegemilangannya dahulu, selama 13 abad mampu menjaga stabilitas keamanan dalam negeri, meski menaungi berbagai ras, suku bahkan agama.
Pada masa Umar hin Khattab, Palestina yang sejak dahulu didiami Yahudi dan Nashrani yang sering berkonflik, justru menjadi tenteram dan damai dalam kekuasaan kekhalifahan Umar bin Khattab. Bahkan di masa perang Salib, warga negara khilafah (baca : kafir dzimmi) yang beragama nashrani, juga druze mereka berada dalam barisan pasukan kekhilafahan melawan Tentara Salib.
Mendetili makna toleransi
Meski berbagai aturan Islam mampu meminimalisir persoalan pertikaian dan mampu mengakomodir keberagaman dan pluralitas, namun anehnya berulangkali hasil survey di beberapa negeri Islam terkait toleransi memperlihatkan hasil yang mengejutkan. Hampir seluruh hasil survey tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar muslim tidak toleran, termasuk di Indonesia. Survey dari SETARA Intsitute pada tahun 2011, survey CSIS padatahun 2012 dan survey UNDP dan -yang terbaru- Wahid Institute pada tahun 2016 menyimpulkanhasil bahwa tingkat toleransi rakyat Indonesia yang mayoritas muslim rendah. Artinya, rakyat Indonesia khususnya umat Islam tidak toleran. Benarkah kesimpulan tersebut? Mengapa Islam yang memiliki syariat mulia,menghasilkan kerukunan dan kedamaian negara pada masa penerapannya yang sempurna, namun tidak mengalami hal yang sama pada saat ini?
Jika kita melihat persoalan ini lebih detil, ternyata persoalannya terletak pada definisi toleransi yang bermasalah. Meski pada dasarnya toleransi didefinisikan sebagai kata sifat dari toleran yang bermakna “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendir”, namun pada perkembangannya definisi ini dimaknai denganserampangan. Sehingga definisi toleransi tidak memiliki standard yang jelas. Bahkan indikator seseorang disebut toleran atau intoleran menjadi ambigu. Tidak ada indikator jelas kapanseseorang atau sebuah kelompok disebut intoleran.
Jika kita detili satu per satu indikator intoleran ini, maka akan kita dapati semuanya terdapat pada hukum atau syariah Islam. Ketidak setujuan seorang muslim memilih pemimpin dari non muslim adalah tuntutan agama. Allah telah menegaskan larangan ini dalam 15 ayat dalam al-qura’an. Ketidaksetujuan seorang ibu saat anaknya menikahi pasangan beda agama, ini juga jelas tuntunan syariah. Dalam syariah Islam, terdapat larangan menikahkan perempuan muslim dengan kafir. Baik itu Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) ataupun musyrik (agama selain Islam dan ahli kitab). Indikator-indikator di atas jelas-jelas mengarah pada penyudutan syariah Islam.
Isu toleransi; berbahaya
Disadari atau tidak, faham toleransi yang digulirkan dengan definisi di atas berbahaya bagi ummat. Karena justru akan menjauhkan ummat dari Islam, dari syariah yang ditetapkan zat yang maha baik, Allah swt. Saat Allah swt tetapkankeharaman menjadikan kafir sebagai pemimpin, maka hamba yang patuh pada perintah Allah akan disebut intoleran. Saat Allah perintahkan untuk berhukum dengan hukum Allah dan mengambil Islam secara kaaffah sebagaimana firman Allah dalam suratAl-Maidah 49 dan Al-Baqarah : 208 , maka akan dicap radikal. Lebih-lebih ketidakfahaman mereka terhadap kesempurnaan syariah akan menganggap syariah Islam akan membahayakan hak-hak non muslim danakan mendiskreditkan non muslim.
Kita bisa melihat fakta yang terjadi di Indonesia, isu toleransi beberapa kali menjadi alasan terhambatnya kebijakan-kebijakan negara yang berbau syariah. Sebagai contoh, pada bulan Ramadhan yang lalu, aksi razia rumah makan yang dilakukan pemerintah Kota Serang, justru menjadi pintu masuk dari drama dan perang opini terkait toleransi yang berujung pada dihapusnya lebih 3143 Perda bernuansa syariah. Pada tahun 1945, panitia kecil Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengajukan rumusan dasar negara yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta (Djakarta Charter).
Panitia yang teridiri dari tokoh-tokoh Islam ini mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Namun sesaat setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, tujuh kata yang memuat redaksi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus atas tuntutan beberpa pihak yang mempersialkan tujuh kata tersebut dengan alasan intoleran.
Pada tahun 2012 RUU jaminan produk halal gagal disahkan akibat desakan beberapa pihak yang mengaggap undang-undang tsb bertentangan dengan faham toleransi.Faham toleransi menjadi senjata tajam yang mampu mengoyak hak dan kewajiban ummat Islam untuk menjalankam syariahnya secara sempurna.
Namun anehnya, jika yang melakukan hal-hal berbau SARA adalahkalangan non muslim, pihak yang getol meneriakkan ide toleransi ini malah bungkam. Saat perayaan Nyepi di Bali misalnya, demi menghormati hari raya nyepi, dinas perhubungan terpaksaharus menghentikan ratusan jadwal penerbangan, atau memaksa rakyat Bali yang muslim menunda penguburan jenazah, dan melarang menggunakan pengeras suara saat adzan.
Bukan Toleransi Barat yang kita butuhkan
Islam bukanlah ancaman. Islam adalah rahmat bagi muslim, non muslim bahkan bagi seluruh alam. Aturan atau syariah Islam ditetapkan oleh zat yang maha tau yang terbaik bagi manusia dan alam. Syariah Islam dibuat oleh zat yang Maha baik, yang maha welas asih. Maka sudah sebuah keniscayaan, jika syariah akan mendatangkan maslahat, kedamaian dan ketentraman bagi manusia. Allah telah berfirman dalam Al-A’raf :96 “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Dalam sejarah, Khilafah Islam yang menerapkan syariah Islam tetap memberikan hak beribadah, makan dan minum sesuai agama masing-masing.Pada masa kekhalifahan Umayyah, sikap toleran kaum Muslim pun ditunjukkan saat Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkuasa. Saat itu di Negara Khilafah tidak ada seorang pun yang terkategori sebagai mustahiq zakat hingga harta yang terkumpul di Baitul Mal luar biasa melimpah.
Akhirnya, Khalifah membelanjakan harta Baitul Mal tersebut untuk membebaskan perbudakan di benua Eropa dan Amerika.Selama 13 abad kepemimpinan Islam.
Maka sebagai muslim, kita tak perlu terperangkap pada jebakan kaum liberal yang menyudutkan syariah dengan mencapnya intoleran. Kita juga tak perlu bersikap defensif dan menerima ide toleransi dengan ikut – ikutan menyudutkan syariah Islam, dan menebarkan syariah phobia. Sebaliknya, yang harus kita lakukan adalah tetap istiqomah menyuarakan pentingnya penerapan syariah Islam yang sempurna demi terwujudnya Islam rahmatan lil alamiin, yang tidak hanya akan menjadikan Indonesia lebih baik, namun lebuh dari itu, juga mewujudkan tatanan dunia yang lebih baik. Allahu a’lam bis shawab.*
Penulis adalah alumni pesantren Al-Wafa Tempurejo Jember dan Kepalai Madrasah Diniyah Adzkiya’ Jember