Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Umar Hadi
1. Subjektivitas al-Jarh wa al-Ta’dil
Jalal menilai bahwa ilmu ini mengandung aroma subjektivitasme yang sangat kuat dalam menilai sebuah riwayat. Misalnya, seseorang didhaifkan karena mengejar keledai, kencing berdiri, dan yang paling banyak terjadi pen-jarhan terhadap seseorang karena persaingan di antara para ulama atau fanatisme mazhab. (Misteri Wasiat Nabi, hlm. 36)
Problem adanya jarh yang tidak relevan memang ada. Tetapi kritik-kritik yang tidak relevan tidak lantas menjadikan rawi tersebut kredibilitasnya menjadi gugur. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh al-Khatib al-Bagdhadhi dalam kitabnya al-Kifayah fi al-Riwayah di bawah Bab
ذكر بعض أخبار من استفسر في الجرح فذكر مالا يسقط العدالة
Kita bisa mengajukan bukti bahwa para ulama dalam bidang ini berupaya semaksimal mungkin menghindari biar-bias subjektivitas. Buktinya, perhatikan ucapan Zaid bin Abi Anisah, “Janganlah kalian mengambil hadis dari saudaraku, yakni Yahya bin Abi Hanisah. (shahih Muslim, Syarah Imam Nawawi, al-Muqaddimah, bab al-isnad min al-din,1/181).
Juga ucapan Abu Daud, “Sungguh anakku, Abdullah, seorang pendusta. (al-Dzhabi, Tahqiq, Siyar ‘a’lam al-Nubala’, juz 3, hlm. 228). Bukti lain, suatu ketika Abd al-Khaliq bin al-Manshur bertanya kepada Imam Yahya bin Ma’in tentang Ali bin Qarin, maka Yahnya berkata bahwa dia seorang pendusta. Lantas Abd al-Khaliq berkata “wahai Abu Zakaria bukankah dia banyak mengadakan kesepakatan dengan kalian? Imam Yahya menjawab “Benar dia banyak mengadakan persetujuan dengan kami, hanya saja saya malu kepada Allah berkata kecuali yang benar. Sungguh dia adalah kadzzab” (al-Bagdhadi, Tarikh Bagdad, juz 12. Hlm. 51).
2. Fanatisme Mazhab dan penolakan terhadap rawi dari Mazhab ahlul Bait
Kritik yang sama juga disampaikan oleh Ahmad Amin dan Mahmud Abu Rayyah. Tapi pertanyaan kritisnya, benarkah kedua hal di atas membuat para ulama tidak bersikap objektif dalam menilai kualitas dan kredibilitas seorang rawi?
Salah satu prinsip dalam ilmu ini, bahwa jarh tidak dilakukan kepada siapapun yang berbeda dengan paham ahlu sunnah selama bukan bid’ah yang menyebabkan kekafiran, atau mereka mengajak kepada kebid’ahan mereka. Praktek jarh yang dilakukan terhadap sesama atau di luar ahlu sunnah, semuanya kembali kepada satu substansi; yaitu apakah rawi tersebut jujur, adil, dan memiliki akurasi hapalan yang kuat (dhabt), bukan kepada perbedaan dan fanatisme mazhab.
Itulah sebabnya kita mendapati fakta bahwa dalam al-kutub al-sittah ada banyak perawi mubtadi’ namun riwayat mereka diterima selama terpenuhinya syarat-syarat diterimanya sebuah hadis.
Misalnya Imam Bukhari menerima riwayat ‘Ibad bin Ya’qub al-Rawazani yang dalam penilaian Ibnu Khuzaiman dia seorang yang shaduq namun dicurigai kualiatas agamanya (al-muttahim fi dinihi), menerima riwayat Aban bin Taglib yang dalam penilaian al-Dzhabi “bagi kita kejujurannya, dan baginya kebid’ahannya”.
Adapun masalah yang kedua; penolakan terhadap riwayat Mazhab Ahlul Bait, Pertanyaannya Apa benar ulama ahli Hadis menolak semua riwayat golongan Syiah?
Jika, misalnya, mengacu kepada kitab Shahihnya Imam Bukhari, kita mendapat fakta bahwa beliau ternyata masih menerima riwayat dari kalangan Syiah (tasyayyu’), padahal beliau dikenal sebagai ulama yang ketat (mutasyaddid). Ibnu Hajar telah mengumpulkan para narator yang dianggap tasyayyu’ yang diterima riwayatnya oleh Imam Bukhari dalam kitabnya Hadyu al-Sariy.
Di dalam kitabnya Imam Bukhari meriwayatkan 29 hadis dari imam Ali, 5 hadis dari Abbas, 2 hadis dari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib, 217 hadis dari Abdullah bin Abbas, 1 hadis dari Sayyidah Fathimah (Ibnu Hajar Hadyu al-Sari Muqaddimah Fathul Bari, hlm. 499-501)
Hanya saja perlu dijelaskan, bahwa Syiah yang dimaksud dan dipahami oleh ulama-ulama mutaqaddimin, termasuk di dalamnya adalah Imam Bukhari, berbeda dengan Syiah yang kita kenal pada era sekarang (Syiah Rafidhi).
Imam Ibnu Hajar menulis “Dalam pandangan ulama mutaqaddimin tasyayyu’ hanyalah sebatas keyakinan bahwa Ali lebih utama daripada Utsman, keyakinan bahwa Ali benar peperangannya, yang menyelesihinya salah. Mereka tetap mengakui keuatamaan Abu Bakar dan Umar, tapi sebagian mereka meyakini Ali manusia yang paling utama setelah Nabi. Adapun Tasyayyu’ dalam pandangan ulama Muta’khhirin maka mereka adalah Rafidli murni. Tidak boleh menerima riwayat mereka”(Ibnu Hajar al-Asqalany, Tahdzib al-Tahdzib, vol i, hlm. 53.*
Penulis pengasuh Pesantren Hidayatullah Berau