Oleh: Imam Nawawi
INDONESIA merupakan satu negara yang unik lagi penuh pesona. Beragam budaya, agama, keyakinan, adat, dan tradisi terhimpun di negeri katulistiwa ini. Belum lagi sumber daya alam yang boleh dikatakan hampir merata dari Sabang hingga Merauke, menjadikan negeri ini tak begitu asing bagi pelancong, investor, dan peneliti dari berbagai negara di belahan dunia ini.
Bahkan keberadaan Indonesia telah lama dikaji, diteliti bahkan dibidik untuk bisa diambil manfaat kekayaan alamnya. Ini terbukti dengan datangnya tiga negara imperialis ke Indonesia, yaitu; Portugis, Belanda, dan Jepang untuk masa penjajahan. Dan, kini terlihat dengan banyaknya perusahaan multi nasional yang mengeruk kekayaan SDA tanah air kita bersama.
Uniknya, di negeri yang baru setengah abad lebih merdeka ini, justru dihuni oleh mayoritas penduduk beragama Islam. Sebuah agama yang dalam sejarah peradaban Barat merupakan penghalang terbesar bagi terwujudnya idealisme mereka.
Kabar Muslim Indonesia
Jika ada negara yang mayoritasnya harus sering mengalah, bahkan terus dibuat kalah itulah Ummat Islam Indonesia. Sejak awal kemerdekaan ummat Islam Indonesia sering “kehilangan” hak konstitusinya. Salah satunya adalah dengan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Tak hanya itu, ummat Islam juga sering difitnah sebagai kelompok yang selalu berupaya melakukan gerakan separatisme. Hingga akhirnya ummat Islam hidup dalam tekanan yang luar biasa berat. Bahkan terakhir secara sistematis publik digiring pada satu stigma negatif seolah-olah gerakan terorisme itu berasal dari ajaran Islam.
Media ikut memperparah dan menghembuskan stigma tersebut dan ujungnya menjadikan beberapa pondok pesantren tertuduh pusat pendidikan “teroris”. Akhirnya, masyarakat ragu akan keberadaan pesantren. Tidak lama kemudian, ummat Islam kebanjiran stigma negatif. Ada fundamentalisme, radikalisme, ekstrimisme, yang semuanya diajarkan dan menjadi bahan dasar kurikulum pendidikan di beberapa pondok pesantren.
Seorang tokoh liberal, Luthfi Assyaukanie dalam pengantarnya pada buku yang ditulis oleh BHM Vlekke, bahkan menuduh, isu terorisme yang didasarkan pada pesantren tidaklah mengherankan. Menurutnya, dengan mengutip pendapat Ricklefs dalam beberapa karyanya, kesadaran beragama ummat Islam Indonesia terjadi sejak 1830 yang dipelopori oleh kaum putihan (santri), “kaum putihan” inilah yang menurut Syaukani menjadi biang terjadinya polarisasi ummat Islam di Jawa.
Lutfie as Syaukanie seolah menggiring pembaca untuk memahami bahwa sumber konflik politik kontemporer yang melibatkan ummat Islam berawal dari polarisasi yang dipelopori oleh kaum putihan. (Vlekke 2008 hlm 4 – 5).
Lebih detail Syaukanie menulis:
“Para haji dan pelajar yang pulang dari Mekah memainkan peran cukup besar dalam menyemai tumbuhnya kaum putihan di Indonesia. Mereka inilah yang secara gencar dan terus-menerus melakukan pemurnian Islam Nusantara. Tentu saja, yang menjadi model bagi mereka adalah praktik-praktik Islam yang dilakukan di Timur Tengah, di Arab Saudi khususnya. Bagi mereka praktik-praktik Islam local, Islam abangan, adalah praktik-praktik yang keliru dan harus diluruskan.” (hlm 5).
Argumen di atas nampaknya juga menjadi justifikasi (pembenaran) upaya stigmatisasi ummat Islam melalui pondok pesantren. Tak aneh, pihak-pihak yang rabun jauh terhadap Islam sangat berkepentingan atas terkendalinya pengajaran di pesantren ikut mengamini pendapat ini.
Bagaimanapun pedihnya perjalanan umat Islam menghadapi masalah ini, satu yang pasti, sejarah mencatat, Islam-lah yang banyak berperan “menyelamatkan” Nusantara. Pakar sejarah, Prof Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya “Api Sejarah” menulis, kekuatan Islam-lah yang menyelamatkan Nusantara ini dari penjajahan Portugis dan Belanda. Jika kemudian muncul pernyataan bahwa kaum santri adalah biang polarisasi sejatinya mereka yang mengamini hal tersebut adalah orang-orang yang mengalami kekaburan dalam melihat fakta sejarah secara komprehensif.
Phobia Kekuatan Ummat Islam
Dari paparan di atas, jika kita perhatikan secara seksama, nampak sekali ada ketakutan luar biasa (phobia) dari pihak asing apabila kesadaran ummat Islam tumbuh, menguat, dan mendominasi kelangsungan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi katulistiwa ini. Oleh karena itu dengan cara apapun peluang terjadinya kesadaran tersebut harus ditutup rapat.
MC. Ricklefs misalnya, dalam bab pertama buku yang ditulisnya “Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008” menyebutkan, “Penyebaran Islam merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, tapi juga yang paling tidak jelas.” (MC. Riklefs 2008 hlm. 3).
Bahkan Ricklefs lebih lanjut menegaskan bahwa diskusi tentang Islam di Indonesia tidak akan pernah sampai dapa kesimpulan. Sebab menurutnya, sumber-sumber tentang Islamisasi di Indonesia selain sangat langka juga sangat tidak informatif.
Di sisi lain, dalam banyak diskusi – beberapa dosen di tempat penulis menimba ilmu – dikatakan bahwa di banyak kedutaan RI di luar negeri hanya menampilkan replika candi, patung, dan segala seni budaya Hindu – Budha.
Dua fakta di atas memberikan satu indikasi kuat bahwa ada upaya menjadikan ummat Islam lengah akan identitas negaranya. Sekaligus menggiring opini global bahwa Indonesia itu adalah bukan Islam.
Upaya tersebut tidak berhenti di situ. Coba kita perhatikan buku sejarah yang dipelajari oleh pelajar kita di bangku SMA. Tahun pertama mereka akan diajarkan apa itu sejarah, ragam penulisan sejarah, yang semuanya mengarah pada terbentuknya pola pikir rasionalisme, empirisme.
Di awal tahun kedua, mereka akan mengkaji sejarah kerajaan Hindu – Budha di Indonesia. Baru kemudian sejarah kerajaan Islam, yang kemudian secara tidak langsung memberikan kesan bahwa kerajaan Islam-lah yang menjadi penyebab kehancuran kerajaan Hindu-Budha.
Hal ini rupanya untuk mengantarkan pelajar kepada satu pemahaman bahwa Indonesia asalnya adalah Hindu – Budha.
Misi Asing
Semua itu dilakukan tidak lain dan tidak bukan agar Indonesia yang mayoritas Muslim ini bisa dikendalikan oleh Barat atau di-Barat-kan. Upaya “pembaratan” (westernisasi) melalui jalur pemikiran diyakini yang paling efektif untuk mewujudkan misi mereka. Sebab Islam tidak bisa digempur dengan senjata.
Apabila hal itu tidak dilakukan, maka keberadaan Muslim di negeri yang sangat kaya sumber daya alam perlahan akan menjadi kekuatan besar yang sangat mengerikan bagi mereka. Maka sejak berakhirnya kolonialisme segera dilakukan gempuran pemikiran dan ekonomi sekaligus.
Bernard H.M. Vlekke menegaskan bahwa sejak tahun 1941, perhatian publik Amerika telah tertuju pada Asia Tenggara (baca Indonesia), suatu wilayah yan g tiba-tiba didasari memiliki kepentingan strategis dan ekonomis yang besar bagi pertahanan Amerika Serikat. (Vlekke 2008).
Indonesia yang kaya SDA itu, secara sistematis direkayasa untuk menjadi negara yang miskin produktivitas dan akhirnya akan menjadi negara yang paling konsumtif di dunia. Ktia tentu ingat bagaimana sebagian masyarakat kita rela terinjak-injak hanya untuk membeli BB (Black Berry) dengan separuh harga. Dan, kita tidak bisa menutup diri bahwa kita telah menjadi jongos di negeri sendiri juga sedang berlangsung.
Puncaknya nanti, Indonesia akan menjadi mangsa pasar yang diperebutkan dunia. Saat itu, jika ummat Islam lemah, baik secara keilmuan, politik, dan lebih khusus keimanan, skill dan finansial maka secara matematis logik, boleh jadi kita akan takluk dan menanggung beban derita yang sangat luar biasa.
Dan, itulah misi asing yang sesungguhnya. Maka tidak ada jalan lain kecuali dengan kembali menuntut ilmu dengan tekun, berusaha dengan sungguh, menjadi negara yang produktif bukan konsumtif, dan bersama membangun kekuatan jama’ah ummat. Tanpa itu kita sangat layak untuk dikalahkan. Meskipun kita (kalau sadar dan mau) sebenarnya sangat layak untuk menang. *
Penulis adalah mahasiswa program pascasarjana Ibnu Khaldun, Bogor