Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Edi Kurniawan
Keempat,masih dari aspek akidah dan tinjauan motif. Dengan menyembah apa yang mereka sembah dan mereka menyembah apa yang kita sembah dianggap sebagai “toleransi yang sejati”, maka sebaliknya, ini toleransi kebablasan, karena Iblis juga bertoleransi dan mengakui Penciptanya sebagai Rabb, tetapi ia membangkang Penciptanya sebagai Ilah. Karena membangkang, ia pun dikutuk.
Karenanya, bagi kita, “kita tidak akan menyembah apa yang mereka sembah (lā aʿbudu mā taʿbudūn: “lam” dengan “alif “ atau panjang yang bermaksud negasi)” dan “kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah” dengan tetap berprinsip: “lakum dīnukum waliyadīn”. “Ente tetaplah dengan agama ente sementara gue tetap pada agama gue” dengan tetap menjalin muamalah yang baik antara sesama (umat beragama).
Kelima, saya lebih memilih riwayat mutawatir dan penafsir otoritatif dari kalangan ulama muktabar dari zaman ke zaman ketimbang penafsir amatiran dan karbitan. Di sini saya “bertaklid” bukan karena: pertama, membeo begitu saja kepada mereka karena secara umum tulisan ini juga bermaksud mengafirmasi pandangan mereka; kedua, saya tahu akan kedudukan dan martabat keilmuan saya dibandingkan para alim ulama muktabar,tidaklah seberapa. Mungkin, berbeda dengan Munʿim. Mungkin!
Sekarang kita kembali ke pertanyaan saya di atas:adakah Ahlul Kitab (tentu umat Kristiani termasuk di dalamnya) itu kaum beriman atau bukan?
Berbicara tentang Ahlul Kitab, maka objeknya ada dua, Kristiani dan Yahudi. Dalam hal ini kita hanya mengambil Kristiani. Apakah Kristiani beriman atau kafir? Untuk melihat gambaran yang jelas, mari kita lihat tafsir al-Qurʾan dengan al-Qurʾan di bawah ini.
Terma Ahlul Kitab muncul sebanyak 31 kali dalam al-Qurʾan dan tersebar di dalam surah-surah al-Madaniyyah (yaitu: al-Baqarah, Ali ʿImran, al-Nisaʾ, al-Maʾidah, al-Ahzab, al-Hadid, dan al-Hasyr) dan dua surat al-Makkiyyah (yaitu: al-ʿAnkabut dan al-Bayyinah).
Namun ternyata penyebutannya lebih banyak terdapat dalam surat-surat al-Madaniyyah disebabkan secara historis-sosiologis adanya hubungan umat Islam dengan mereka lebih banyak terjadi pada saat Nabi saw berada di Madinah ketimbang di Mekkah.
Mari kita lihat apa yang al-Qurʾan katakan tentang mereka:
Mereka (Yahudi dan Nasrani) tidak akan senang kepada kita sebelum kita mengikuti agama (millah) mereka (Q. S. al-Baqarah: 120); mereka sombong dengan memperdebatkan tentang Allah (Q. S. al-Baqarah: 139) dan menganggap Nabi Ibrahim, Ismaʿil, Ishaq, Yaʿqub dan anak cucu mereka sebagai penganut agama agama Yahudi dan Nasrani (Q. S. al-Baqarah: 140); mereka mengingkari arah kiblat (Q. S. al-Baqarah: 144-145); mereka mengenal Nabi Muhammad saw. seperti mereka mengenal anak mereka sendiri, tetapi tetap saja mereka mengingkarinya (Q. S. al-Baqarah: 146); mereka menyesatkan orang-orang Islam dan mengingkari (takfurūn) al-Qurʾan (Q. S. Ali ʿImran: 60-70); mereka mencampur adukkan antara hak dan batil dan menyembunyikan kebenaran tentang kenabian Nabi saw (Q. S. Ali ʿImran: 71); mereka mengingkari (takfurūn) ayat-ayat Allah dan menghalangi orang-orang yang beriman dari jalan Allah (Q. S. Ali ʿImran: 98-99); mereka melampaui batas dalam beragama dan menganggap Tuhan itu tiga (Q. S. al-Nisaʾ: 171); mereka mengingkari kerasulan Nabi Muhammad saw. (Q. S. al-Maʾidah: 15); mereka menganggap Isa al-Masih sebagai Allah maka Allah pun mengkafirkan mereka (Q. S. al-Maʾidah: 17); mereka menganggap diri mereka sebagai anak Allah dan kekasihnya padahal mereka hanyalah manusia biasa (Q. S. al-Maʾidah: 18); mereka menganggap orang-orang Muslim salah lantaran beriman kepada Allah padahal di antara mereka ada juga yang fasiq (Q. S. al-Maʾidah: 59); mereka menganggap al-Masih putra Maryam sebagai Allah dan Allah pun mengkafirkan mereka (Q. S. al-Maʾidah: 72).
Ayat-ayat di atas menggambarkan sisi negatif para Ahlul Kitab. Mereka itu sombong, angkuh dan mengingkari Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam; dan karenanya, Allah tidak segan-segan mengkafirkan mereka. Namun demikianjika beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka juga akan mendapat ganjaran di sisi-Nya (Q. S. al-Baqarah: 62 &al-Maʾidah: 69).Sayangnya, hanya bersandarkan pada surah al-ʿAnkabut ayat 46 dan al-Hajj ayat 40, dengan mengabaikan ayat-ayat yang lain, Munʿim terlalu gegabah sampai pada kesimpulan bahawa “Ahlul Kitab (termasuk Kristen) tidak bisa dikatakan kafir karena mereka mengimani dan menyembah Tuhan yang sama”. (BERSAMBUNG)
Penulis adalah Alumni Center for Advanced Studies on Islam, Science and Civisation (CASIS) – Universitas Teknologi Malaysia Kuala Lumpur