Oleh: Fahmi Salim, Lc. MA
AKHIR-AKHIR ini umat Islam Indonesia disibukkan oleh isu takfir (pengkafiran sesama Muslim). Mulai dari Badan Nasional Penganggulangan Terorisme (BNPT) yang merekomendasikan kepada Kemenkominfo untuk memberedel situs-situs Islam radikal di internet, salah satu kriteria radikal versi BNPT adalah Takfiri (suka mengkafirkan orang lain).
Bahkan ormas Muhammadiyah dalam rekomendasi Muktamar Makassar mengecam sikap takfiri yang diarahkan kepada umat Islam jangan mudah melabelkan sesat, kafir, liberal kepada orang lain. Dan tentu saja kita bisa menyebut aktor intelektual dibalik kampanye anti-takfiri ini adalah aliran sesat seperti Syi’ah Rafidhah yang gemar menebarkan tudingan stigma takfiri kepada mayoritas umat Islam di Indonesia yang aktif mensosialisasikan bahaya kesesatan Syi’ah seperti MUI Jawa Timur dan ormas-ormas Islam yang tergabung dalam GUIB (Gerakan Umat Islam Bersatu) Jawa Timur, ulama dan Habaib se-Indonesia yang tergabung ke dalam Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) yang dimotori KH. Athian Ali Dai dari Bandung, Tim Penulis MUI Pusat, Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah, Majelis Ad-Dzikra pimpinan KH. Arifin Ilham, dan elemen ormas Islam lainnya yang aktif membendung pergerakan kaum Syi’ah di Indonesia.
Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan persoalan Takfir secara ilmiah dalam perspektif ulama Islam yang otoritatif berdasarkan nas-nas Al-Qur’an dan Sunnah serta ijma ulama, yang insya Allah jauh dari tendensi politis yang sengaja dikemas oleh BNPT dan aliran sesat untuk menyudutkan umat Islam Indonesia.
Definisi Muslim
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam telah menetapkan hakikat Islam ke dalam 5 rukun pokok agama Islam yaitu bersyahadat tauhid, shalat 5 waktu, zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke baitullah. Siapa yang mengerjakan hal itu dengan sebenarnya maka ia adalah muslim.
«من صلى صلاتنا واستقبل قبلتنا وأكل ذبيحتنا فذلك المسلم الذي له ذمة الله وذمة رسوله فلا تحقروا الله في ذمته»، وفي رواية: فهو «المسلم له ما للمسلم وعليه ما على المسلم»
“Siapa yang shalat seperti shalatnya kami, menghadap qiblat kami, dan memakan sembelihan kami, maka dia itu adalah muslim yang menjadi tanggungan Allah dan rasul-Nya, maka janganlah kamu merendahkan Allah dalam tanggungannya itu”. Dalam riwayat lain, “Dia adalah muslim, baginya hak dan kewajiban seorang muslim.” (HR. Anas bin Malik dalam Shahih al-Bukhari, no.384-385)
Di dalam realitas sosial umat Islam terdapat dua sikap ekstrem dalam persoalan takfir; Pertama, golongan yang terlalu mengentengkan dan meremehkan, bahkan meniadakan vonis takfir. Pun jika ada, vonis kafir hanya ditujukan kepada orang yang meyakini akidah kufur saja. Sementara keyakinan hati tidak bisa dinilai dari luar, karena tidak ada indikator rilnya. Sementara perbuatan kafir seperti bersujud kepada berhala, melecehkan ayat-ayat Allah, dan menghina Allah, tidak dianggap kafir jika tidak meyakini dalam hati. Kedua, golongan yang mempermudah vonis kafir, dalam pengertian memperluas cakupan kekafiran sehingga setiap dosa dianggap kekafiran, akibatnya mereka menghalalkan darah dan harta kaum muslimin, serampangan dalam vonis kafir, memboikot kaum muslim, menghukumi masyarakat telah kafir dan menyimpang dari agama. Sikap seperti itu telah membawa mereka tersesat dari jalan lurus, dan petunjuk Allah. Mereka tidak memperhatikan syarat-syarat, penghalang, dan rambu-rambu takfir.
Sebagian ulama menyatakan,
“أن باب التكفير وعدم التكفير باب عظمت الفتنة والمحنة فيه وكثر فيه الافتراق وتشتت فيه الأهواء والآراء، وتعارضت فيه دلائلهم… فالناس فيه على طرفين ووسط”
“Pintu takfir atau tidak adalah pintu masuk yang menyebabkan terjadinya banyak fitnah dan ujian, perpecahan yang hebat, berkembangnya hawa nafsu dan pendapat-pendapat, serta petunjuknya saling bertentangan. Manusia dalam menyikapinya ada dalam dua kutub ekstrim dan ada yang pertengahan.” (Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafi, Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, vol.1/316)
Definisi Kekafiran
قال المناوي: الكفر تغطية ما حقه الإظهار والكفران ستر نعمة المنعم بترك أداء شكرها وأعظم الكفر جحود الوحدانية أو النبوة أو الشريعة
وقال الرازي: الكفر عدم تصديق الرسول بشيء مما عُلم بالضرورة مجيئه به.
وقال بعضهم: هو رفض التصديق عن معرفة وإرادة ولو بشيء مما جاء به النبي صلى الله عليه وسلم ووصل إلينا بطريق يقيني قطعي
Imam al-Munawi: kufur adalah menutupi sesuatu yang seharusnya ditampilkan/tampak, ia juga berarti menutupi nikmat Tuhan dengan tidak mensyukurinya. Kekufuran yang paling berat adalah pengingkaran tauhid, kenabian Muhammad saw, dan syariat.
Imam Fakhruddin al-Razi: kufur adalah tidak membenarkan apa yang dibawa dan diajarkan oleh Rasul saw dan termasuk aksioma beragama.
Ulama lain berpendapat: kufur adalah menolak untuk membenarkan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw yang sampai kepada kita dengan jalan yang qoth’i dan meyakinkan, yang dilakukan secara sadar dan sukarela. (lihat kitab al-Tawqif ‘ala Muhimmat al-Ta’arif, vol.1/606, dan al-‘Aqidah al-Islamiyyah wa Ususuha, vol.1/615)
Terdapat 4 macam kekafiran menurut para ulama;
– Kafir Inkar, yaitu mengingkari Tauhid dengan hati dan lisannya sebagaimana firman Allah ﴿إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ﴾ البقرة: 6
– Kafir Penolakan/Juhud, yaitu mengingkari dengan lisannya dan mengakui dalam hatinya seperti kafirnya iblis, Umayyah bin Abi Shalt, Bal’am bin Baura. Menurut Imam Ibn al-Qayyim (lihat Madarij al-Salikin, vol.1/338), kekafiran ini ada 2 macam; kafir mutlak (menolak semua yang diwahyukan Allah secara umum) dan kafir muqayyad/khusus (menolak salah satu kewajiban Islam, dan atau menolak keharaman yang ditetapkan Islam).
– Kafir Muanid, yaitu mengetahui kebenaran Islam dalam hatinya dan dinyatakan oleh lisannya, namun ia menolak beriman seperti kafirnya Abu Thalib, paman Nabi saw.
– Kafir Nifaq, yaitu menyatakan beriman dengan lisannya, namun hatinya mengingkari atau kafir seperti kafirnya orang-orang munafiq. (lihat Tahdzib al-Lughah, vol.10/110; al-Zahir, vol.1/380; Taj al-‘Aruus, vol.1/3458)
Kafir juga ada yang besar dan ada yang kecil. Kafir besar ancamannya kekal di dalam neraka, kafir kecil ancamannya siksa di neraka dan tidak kekal.
Contoh kafir kecil; menghina nasab, meratapi mayat (Shahih Muslim, no.67), berkelahi dan berperang sesama muslim (Shahih al-Bukhari no.121 dan Shahih Muslim no.65), mendatangi dukun atau peramal (Sunan at-Tirmidzi no.135 dan Sunan Ibn Majah no.639). (lihat Ibnul Qayyim, Madarij al-Salikin, vol.1/335)
Jenis-Jenis Kekafiran
Pokok kesatu; Kekafiran I’tiqad
Segala macam akidah yang bertentangan dengan salah satu rukun iman atau menyalahi salah satu aqidah Islam yang qath’i.
Hal ini mencakup: Mengingkari alkhaliq, sifat-sifat sempurna-Nya, Allah satu dari oknum trinitas, mengingkari kenabian, mengingkari salah satu rukun iman, mengingkari sorga neraka dan perkara-perkara yang tetap berdasarkan dalil qoth’i dan aksiomatik.
Pokok kedua; Kekafiran Ucapan
Setiap ucapan yang mengandung pengakuan atas aqidah kufur, atau mengandung penolakan terhadap salah satu aqidah Islam yang aksiomatis, atau mengandung unsur pelecehan agama baik aqidah maupun hukum-hukumnya.
Pokok ketiga; Kekafiran Perbuatan
Setiap perbuatan yang dipastikan mengandung indikator nyata aqidah yang kufur. Seperti menyobek mushaf disertai penghinaan, dibuang ke tempat sampah/comberan, sujud kepada berhala, mengalungkan salib di dada, dll. (lihat Syaikh ‘Abdurrahman Habannakah, al-‘Aqidah al-Islamiyyah wa Ususuha, vol.1/617)
Beberapa prosedur penting sebelum mengeluarkan vonis kekafiran;
1. Perintah untuk verivikasi dan validasi.
Al-Quran Surah an-Nisa: 94
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَتَبَيَّنُواْ وَلاَ تَقُولُواْ لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلاَمَ لَسْتَ مُؤْمِناً تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا﴾[النساء: 94
“Wahai orang yang beriman jika kamu pergi di jalan Allah, maka hendaklah tabayun, dan jangan kamu ucapkan kepada orang yang sampaikan salam (keislaman) kepadamu bahwa engkau tidak beriman, kamu sebenarnya menginginkan gemerlap kehidupan dunia.” [Qs. An-Nisa: 94]
Menghukumi seorang Muslim telah keluar dari Islam dan masuk ke dalam kekufuran tidak dibenarkan bagi Muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukannya kecuali dengan bukti yang lebih terang dari cahaya mentari di siang hari.
2. Larangan pengkafiran untuk berhati-hati.
Hadis yang populer riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:
«إذا كفر الرجل أخاه فقد باء بها أحدهما» (أخرجه مسلم: 1/ 79، برقم: 60)، وفي رواية: «أيما امرئ قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما إن كان كما قال وإلا رجعت عليه»(أخرجه مسلم: 1/ 79، برقم: 60) قال ابن حجر -رحمه الله-: “والتحقيق أن الحديث سيق لزجر المسلم عن أن يقول ذلك لأخيه المسلم وذلك قبل وجود فرقة الخوارج وغيرهم”
“Dari Abdullah ibnu Umar ra, sesungguhnya Nabi saw bersabda: jika seseorang mengafirkan saudaranya (sesama muslim) maka kekafiran itu akan kembali kepada salah satu di antara keduanya” (HR. Muslim) “Dari Abdullah bin Dinar ra, sesungguhnya ia mendengar Abdullah ibnu Umar ra berkata: Rasulullah saw bersabda: setiap orang yang berkata kepada saudaranya (sesama muslim): wahai kafir, maka kekafiran itu akan kembali kepada salah satu di antara keduanya, jika kenyataannya seperti yang diucapkan. Jika tidak, maka kekafiran itu kembali padanya.” (HR. Muslim
Hadis itu disebutkan untuk mencegah Muslim mengkafirkan Muslim lainnya sebelum ada kemunculan sekte khawarij dan lain sebagainya (Ibnu Hajar al-‘Asqallani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, vol.10/466). Demikian pula hadis dari Abu Dzar, Tsabit bin Dahhak, dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum:
وعن أبي ذر -رضي الله عنه- أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول: «لا يرمي رجل رجلا بالفسوق ولا يرميه بالكفر إلا ارتدت عليه إن لم يكن صاحبه كذلك» (أخرجه البخاري: 5/ 2247، برقم: 5698)، وعن ثابت بن الضحاك -رضي الله عنه-: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «من لعن مؤمنا فهو كقتله ومن قذف مؤمنا بكفر فهو كقتله» (أخرجه البخاري: 5/ 2247، برقم: 5700)، وعن أنس بن مالك قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «ثلاث من أصل الإيمان الكف عمن قال لا إله إلا الله ولا نكفره بذنب ولا نخرجه من الإسلام بعمل» (أخرجه أبو داود في السنن: 2/ 22، برقم: 2532، وسعيد بن منصور في السنن: 2/ 143)
“Dari Abu Dzar ra, sesungguhnya ia mendengar Nabi saw bersabda: janganlah seseorang menuduh fasik orang lain, dan jangan menuduh kafir, maka jika tuduhannya tidak benar maka tuduhan itu akan berbalik padanya.” (HR. al-Bukhari)
“Dari Anas bin Malik ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: tiga hal merupakan pokok keimanan: mencukupkan terhadap orang yang berkata “la ilaha illa Allah”, tidak mengafirkan orang yang berbuat dosa, dan tidak mengeluarkan dari Islam orang atas perbuatannya.” (HR. Abu Dawud).
Terdapat banyak dalil yang mewajibkan menjaga kehormatan dan darah seorang Muslim, dengan menjauhi celaan pada agamanya, apalagi mengeluarkannya dari agama Islam sehingga memasukkannya ke dalam kekafiran. Itu adalah tindakan jahat yang tak tertandingi kejahatannya. Tidakkah ia perhatikan sabda-sabda baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang mencegah mengkafirkan saudara muslimnya? (Imam al-Syaukani dalam kitab al-Sail al-Jarrar, vol.4/585)
3. Menghindari pengkafiran individual-personal kecuali setelah tegaknya hujjah yang muktabar
Pengkafiran mutlak, sepanjang didukung argumen, dibolehkan, namun tidak berkonsekuensi pengkafiran personal. Dalam hal itu wajib memenuhi syarat dan hilangnya segala penghalang takfir.
Seperti praktik Imam Ahmad bin Hanbal dan para imam lainnya meskipun melakukan pengkafiran mutlak kepada ajaran tertentu yang menyimpang, pada umumnya beliau tidak mau mengkafirkan secara personal bagi yang menganut ajaran tersebut. Ibnu Taymiah menyatakan, “Dalil asal dalam permasalah ini adalah dari Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan I’tibar”. (lihat Majmu’ al-Fatawa, vol.12/488-489)
Pengkafiran kelompok sesat dan apakah mereka kekal di dalam neraka, ada dua pandangan ulama yang masyhur terhadap Khawarij dan kelompok murtad dari golongan Haruriyah, Rafidhah dsb.
Yang benar adalah bahwa segala ucapan mereka yang diketahui bertentangan dengan wahyu yang diterima Rasul adalah kufur, juga perbuatan mereka yang menyerupai perbuatan orang kafir terhadap kaum muslimin adalah kufur. Akan tetapi pengkafiran personal dan vonis kekekalannya di dalam neraka sangat tergantung pada terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran dan tiadanya faktor-faktor penghalang. (lihat Majmu’ al-Fatawa, vol.28/500).* (BERSAMBUNG)
Penulis Komisi Pengkajian MUI Pusat