Dalam bahasa Arab fundamentalisme diartikan ushuliyyah (dasardan pondasi) yang merujuk Al-Quran, as-Sunnah. Tapi mengapa tiba-tiba diartikan menjadi negatif?
Oleh: Rifqi Fauzi
Hidayatullah.com | PASCA kejadian 11 september di Amerika, istilah terorisme selalu diidentikkan dengan “Islam fundamentalis”. Setidaknya jika terjadi pengeboman, maka Islam (AS menyebunya “Islam fundamentalis” akan selalu dibawa-bawa sebagai salah satu pelakunya) walaupun bukti akurat belum ditemukan.
Istilah fundamentalis tidak saja disebut sebagai “teroris” dan pembuat kekerasan atas nama agama, namun fundamentalis juga di identikan dengan orang yang tidak toleran, jumud dan terbelakang.
Bahkan, tak kalah naifnya, ilmuan dan cendekiawan Muslim ikut memasarkan istilah itu dengan mengatakan bahwa keterpurukan umat Islam sekarang adalah dikarenakan faham fundamentalisme. Lalu diagungkanlah liberalisme, sebagai suatu faham yang diyakini sebagai sumber kemaslahatan dan kemajuan dunia.
Benarkah bahwa liberalisme merupakan sumber kedamaian di dunia ini dan benarkah fundamentalisme sebagai biang keladi ketidak harmonisan dan anti kedamaian?
Fundamentalisme dan akar Kristen
Fundamentalisme secara terminologi berasal dari kata fundamental yang mempunyai makna basic and important (mendasar dan pokok) seperti pada kalimat “There is a fundamental difference between your opinion and mine.” ( Miranda Steel:2002). Sehingga fundamentalisme merupakan usaha untuk mempertahankan dan mengamalkan ajaran-ajaran pokok suatu agama.
Kata ini padamulanya muncul dalam agama Kristen, dalam sebuah rapat Nothern Baptist Convention tahun 1920, Curtis Lee Laws mendefinisikan fundamentalis sebagai seorang yang siap untuk merebut kembali wilayah yang jatuh ke Antikristus dan melakukan pertempuran agung untuk membela dasar-dasar agama (Karen Armstrong:2002) Bulan Agustus 1917, William Bell Riley berunding dengan A.C. Dixon (1854-1925 M) salah seorang editor buku The Fundamentals, dan revivalis Reuben Torrey (1856-1928 M), memutuskan untuk membuat World Christian Fundamentals Association (WCFA) yang bertujuan untuk menyebarluaskan intrerpretasi injil.
Dalam bahasa Arab kata fundamentalisme diartikan ushuliyyah yang berasal dari kata ashlun, yang mempunyai arti tidak jauh berbeda dengan kata Inggrisnya, yaitu dasar, pokok, pondasi. Seperti dalam ushul fikih, kita mengenal pengertian ashlun sebagai ma bunia alaihi ghairuhu (pondasi).
Islam mempunyai ushul sebagai landasan ajarannya, seperti Al-Quran, as-Sunnah, ilmu tafsir, ilmu hadits, fikih dan ushul fikh-nya. Jadi ushuliyyah adalah orang-orang yang memegang teguh pokok-pokok ajaran suatu agama.
Sehingga penulis berkesimpulan bahwa kata fundamentalisme ataupun ushuliyyah tidak mempunyai konotasi negatif meski penulis tidak setuju jika terorisme, radikalisme, bom bunuh diri yang dilakukan bukan pada wilayah perang, dan pemikiran jumud dinamakan fundamentalisme atau ushuliyyah, karena hal tersebut bertentangan dengan ushul Islam.
Bagi penulis kata ushuliyyah lebih tepat ditempatkan bagi orang-orang yang benar-benar memegang teguh ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Quran, sunnah, atsar sahabat dan mashadir Islam lainnya. Meminjam ungkapan Yusuf Qaradhawi, kalaulah sejak dulu Islam mengajarkan dan disebarluaskan dengan cara perang dan kekerasan, maka tidak mungkin Islam diterima begitu luas oleh masyarakat dunia (Yusuf Qaradhawi: Khatbu as-Syaikh al-Qaradhawi).Adapun mengenai Fatwa sesat MUI terhadap aliran-aliran sesat tentunya hal ini bukanlah sikap radikal atau ekstrim, karena menurut fitrah dan akal manusiapun merupakan suatu hal yang wajar, dimana seorang manusia ataupun budaya tidak akan ada yang mau, jika ada yang merubah dan mencela identitas aslinya.
Kegagalan Liberalisme
John Stuart Mal (1806-1873 M) dalam bukunya On Liberty, sebagaimana yang dikutip oleh Abdu ar-Rahim bin Somail as-Silmy dalam bukunya, al-Libraliyah; Nasyatuha Wa Majalatuha, memberi pengertian bahwa liberalisme bukan hanya dalam masalah politik dan ekonomi, sebagaimana yang diusung oleh John Lock dan Smith, akan tetapi liberalisme adalah kebebasan yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
Selanjutnya dia mengomentari masalah agama, bahwa komunitas beragama tidak termasuk liberal sebab mereka dikekang oleh oleh kesewenangan agama itu sendiri, dia juga mengkritik kepada seluruh agama dan kepada masyarakat yang fundamental dalam menjalankan ajarannya.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa inti dari liberalisme adalah menghilangkan ajaran agama dari muka bumi ini. Dan konsekwensi dari hilangnya agama tentunya tidak adalagi yang namanya kebenaran hakiki, semua orang bebas berbuat dan bebas berpikir untuk mengeluarkan pendapat atau menerima dan memegang suatu pendapat.
Sampai walaupun pendapat itu dapat menghancurkan kehidupan dunia. Benar dan salah hanya milik orang atau suatu Negara yang kuat atau dengan istilah lain siapa yang kuat dia yang dapat (huku rimba), Dengan kekuatannya yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar dan itulah yang terjadi di dunia sekarang ini.
Salah satu bukti bahwa liberalisme berakibat dapat memegang suatu pemikiran yang walaupun pemikiran itu berbahaya, adalah teori-teori Darwinisme yang banyak diagung-agungkan oleh dunia Barat (sebagai pengagum liberalisme). Darwinisme mengajarkan tentang seleksi alam dan rasisme, sehingga teorinya telah melahirkan berbagai pemikiran dan gerakan terorisme seperti Nazi, Zionisme dengan rasisme Yahudinya, Marxisme dengan teorinya bahwa sejarah manusia adalah sejarah peperangan antar kelas masyarakat, kolonialisme dan kapitalisme.
Robert Wright dalam bukunya The Moral Animal sebagaimana dikutip oleh Harun Yahya mengatakan: “Tidak dapat dipungkiri, teori evolusi memiliki sejarah panjang yang kelam dalam penerapannya pada hubungan antar manusia. Setelah bercampur dengan filsafat politik di sekitar peralihan abad ini, untuk membentuk ideologi yang tidak jelas, yang dikenal dengan “Darwinisme Sosial”, ideologi ini digunakan oleh kaum rasis, fasis dan kapitalis yang tidak memiliki hati nurani”( Harun Yahya, The Disasters Darwinism Brought to Humanity,2001).
William Jennings Bryan (1860-1952 M), seorang politisi dari kubu demokrat yang juga seorang Presbiterian (gerakan Calvinisme yang didirikan di Scotlandia) pada tahun 1920, dia melancarkan kampanye menentang diajarkannya teori evolusi disekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Menurut pandangannya, bahwa darwinismelah yang bertanggung jawab terhadap kekejaman Perang Dunia I (Karen Armstrong:2002).
Aksi penjajahan yang sekarang banyak dilakukan Israel, Amerika dan sekutunya telah melahirkan gerakan bom bunuh diri sebagai langkah pembalasan terhadap kejahatan mereka. Hal ini tentunya tidak mungkin terjadi, kalaulah mereka tidak lebih awal melakukan penjajahan. Jadi inti dari serangkaian terorisme – baik penjajahan yang dilakukan amerika dan sekutunya ataupun serangkaian bom bunuh diri sebagai balasan yang ditujukan kepada mereka– yang terjadi selama ini adalah mereka sendiri yang menciptakan.
Bukti lain kegagalan liberalisme adalah kejadian rentetan pembantaian di dunia pendidikan Barat yang selama ini mendengung-dengungkan kebebasan. Pembantaian plus bunuh diri itu dilakukan tanpa alasan yang kongkrit, atau bisa dikatakan semuanya terjadi dikarenakan kekosongan jiwa dari ruh agama sehingga mengakibatkan prustasi dan hilangnya tujuan hidup.
Belum lagi hal ini dilakukan oleh pelajar atau mahasiswa yang seharusnya ilmu yang didapat memberikan pencerahan dan cahaya bagi hidupnya, dengan ini menunjukan kegagalan pendidikan Barat. Di antara rentetan pembantaian yang terbesar adalah, di Amerika sampai sekarang telah terjadi sedikitnya delapan kali, 1989 terjadi di sekolah Stockton California, 5 orang tewas, 1998 di sekolah yang berada di Jonesboro Arkansas, korban 6 orang, 1999 di sekolah Colombine Colorado, 13 orang tewas, 2005 remaja 16 tahun membunuh 5 orang disekolahnya, tahun 2006 seorang remaja menembaki 11 remaja putri, 5 orang tewas, 2007 32 orang tewas dibantai di Universitas Virginia Tech.
Tahun 2008 seorang siswi membunuh rekannya sebelum bunuh diri dan yang terakhir kemarin 14 februari 2008 18 orang tertembak di Universitas Northern Illinois, 5 orang tewas. Belum lagi yang terjadi di Negara barat lainnya seperti, 1989 di Universitas Montreal Kanada 14 orang tertembak oleh seorang pria termasuk pelakunya bunuh diri, 1996 di Dublane Skotlandia 16 anak dan seorang guru di bantai dan tahun 2002 di Jerman, seorang siswa marah dan menembak 16 orang termasuk 12 guru dan 2 siswa (detik.com, 15/02/2008).
Atas nama kebebasan juga telah melahirkan pemikiran yang belakangan ini menjamur di Indonesia yakni kebebasan berekspresi sehingga tidak ada lagi batasan antara yang layak dan tidak layak dipertontonkan di halayak umum.
Undang-undang pornografi dan pornoaksi pun banyak ditentang karena melanggar hak kebebasan, padahal semuanya itu yang telah menimbulkan kejahatan yang sama bahayanya dengan terorisme, seperti menjamurnya kasus aborsi, pembunuhan bayi, perdagangan manusia, kejahatan seksual terhadap anak dibawah umur, pemerkosaan, anak-anak terlantar, homoseks, seks bebas dan lain sebagainya.
Semua itu yang pada mulanya merupakan hal yang tabu dan sangat jarang terjadi namun dengan adanya kebebasan berekspresi hal itu menjadi suatu yang lumrah dan mungkin lama-lama kelamaan akan dianggap wajar, padahal hal itu jika terus terjadi akan menghancurkan kehidupan manusia sendiri.
Jadi akankah umat Islam terus disudutkan sebagai manusia pembuat kekacauan dan ketidakharmonisan? Ataukah atas nama kebebasan itu sendiri yang telah menghantarkan dunia menjadi kacau dan tidak harmonis?.
Dan kita harus memilih mana? Memilih Islam yang liberal yang membolehkan melakukan apa saja tanpa aturan atau Islam yang fundamental (ashlun) yang dalam kata aslinya merujuk pada landasan ajarannya, seperti Al-Quran, as-Sunnah, ilmu tafsir, ilmu hadits dan fikih?*
Mahasiswa Jurusan Hadits Universitas Al Azhar Kairo Mesir dan Ketua Association for Research and Islamic Studies (ARIS) Perwakilan Persis Mesir