Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Qosim Nurseha Zulhadi
Kemudian Imam Nawawi al-Bantani menjelaskan frase “wa man yatawallahum minkum”, maksudnya:
“Hai orang-orang beriman, fa’innahu minhum, ‘maka dia dari golongan agama mereka. Karena tidaklah seseorang loyal kepada orang lain, kecuali dia ridha atasnya. Dan jika dia telah ridha, maka ridha (menerim) pula terhadap agamanya. Maka dia pun menjadi bagian dari agama orang itu.
Lalu beliau menegaskan: ‘Ini adalah bentuk penegasan tentang tidak dibenarkannya menunjukkan sikap loyal (al-muwālah) kepada mereka (Yahudi dan Nasrani), meskipun loyalitas itu bukan dalam maknanya yang hakiki. Atau, karena orang-orang yang memberikan loyalitas itu adalah kaum munafiq (hipokrit). (Sesungguhnya Allah tidak beri petunjuk kepada orang-orang yang zalim): dengan cara loyal kepada orang-orang kafir.”
Imam Nawawi al-Bantani juga mengutip pendapat Abū Mūsā al-Asyʻarī, bahwa beliau berkata, “Aku berkata kepada ‘Umar ibn al-Khatthāb, ‘Aku punya sekretaris Nasrani.’ Kemudian ‘Umar marah, ‘Apa-apan engkau ini! Mengapa tidak engkau ambil sekretaris yang hanif (Muslim). Tidakkah engkau mendengar firman Allah, ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali kalian…’ (Qs. 5: 51).
Aku pun berkata kepada ‘Umar, ‘Agamanya urusan dia, aku hanya butuh tulisannya (catatannya).’ ‘Umar berkata pula, ‘Aku tidak akan memuliakan mereka karena telah dihinakan oleh Allah, dan tidak akan menghormati mereka karena telah direndahkan oleh Allah. Dan tidak akan dekat dari mereka karena telah dijauhkan oleh Allah.’ Aku pun berkata lagi, ‘Tapi, masalah di Bashrah tidak akan tuntas kalau tanpa orang ini.’ ‘Umar berkata, ‘Mati si Nasrani dan selesai.’
Syekh Nawawi al-Bantani mengomentari kata-kata ‘Umar ibn al-Khatthāb dengan, “Maksudnya adalah: Anggap saja dia telah mati. Lalu, apa yang akan engkau kerjakan setelah kematiannya.” Yakni: Jadikanlah dia telah mati dan jangan lagi bergantung kepadanya.” (Imam Nawawi al-Bantani, Tafsīr Murāh Labīd li Kasyf Maʻā al-Qur’ān al-Majīd, editor: Muhammad Amīn ad-Dhannāwī (Beirut-Lebanon: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1417 H/1997 M), 1/274-275).
Pendapat Imam Nawawi al-Bantani di atas tidak berbeda dengan ulama-ulama salaf lainnya, seperti: Imam Sulaiman ibn ‘Umar ibn Manshūr al-‘Ujailī al-Azharī (dikenal dengan julukan ‘al-Jamal’) (w. 1204 H) dalam karyanya al-Futūhāt al-Ilāhiyyah, Imam Fakhr ad-Dīn ar-Rāzī dalam Mafātīh al-Ghaib; Imam al-Khathīb as-Syarbainī dalam as-Sirāj al-Munīr, Imam Fayrūz Ābādī dalam Tanwīr al-Miqbās, dan Imam Abū as-Suʻūd dalam Irsyād al-‘Aql al-Salīm ilā Mazāyā al-Qur’ān al-Karīm, dan yang lainnya.
Artinya, memang tidak boleh menjadikan kaum Yahudi dan Nasrani menjadi tempat seorang Mukmin “melabuhkan” ‘loyalitasnya’. Karena memang mereka sudah pasti saling-sokong diantara sesama mereka. Semestinya orang yang beriman menjadikan pemimpin mereka yang memang satu ‘aqidah, satu keyakinan. Siapa yang memilih kaum Yahudi dan Nasrani sebagai tempat melabuhkan ‘loyalitas’nya, mereka telah berbuat zalim. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada mereka (Qs. 5: 51).
Jangan Munafiq!
Setelah kita lihat pandangan Imam Nawawi al-Bantani tentang Qs. 5: 51 yang begitu tegas, apa pula pandangan beliau mengenai ayat berikutnya (Qs. 5: 52)? Berikut jawabannya.
Beliau melanjutkan: (Fatarā al-ladzīn fī qulūbihim maradh): penyakit nifaq dan dangkalnya nalar (akal) dalam agama, seperti ‘Abdullah ibn Ubay dan kawan-kawannya; (yusāriʻūna fīhim): mereka cepat-cepat melabuhkan cinta Yahudi Bani Qainuqāʻ dan Nasrani Najrān, karena mereka menguasai kekayaan yang dapat memenuhi pinjaman dan membantu kebutuhan mereka; (yaqūlūna): mereka berkata kepada orang beriman dengan cara memberi alasan; (nakhsyā): kami sangat takut sekali; (an tushībanā dā’irah): mendapat musibah, seperti: kekalahan, peristiwa-peristiwa yang menakutkan, sehingga negara ini menjadi milik kaum kafir.
Kata dā’irah, kata Imam Nawawi al-Bantani, digunakan untuk menyebut hal-hal yang tak disukai, semisal: musim kemarau dan masa paceklik. Menurut az-Zajjāj maksud perkataan mereka adalah: “Kami takut Muhammad kalah, sehingga urusan jadi gak beres, sebagaimana sebelumnya.”
Kemudian (fa ʻasā Allāh an ya’tiya bi al-fathi): mudah-mudahan Allah memberi kemenangan kepada Rasulillah atas musuh-musuhnya dan kepada kaum Muslimin terhadap musuh-musuh mereka dengan cara memenangkan agama ini (Islam); (aw amrin min ‘indihi): atau menurunkan adzab-Nya kepada orang-orang munafiq dengan cara memusnahkan kaum Yahudi dan mengeluarkan mereka dari negeri mereka.
Kata ‘asā, kata Imam Nawawi al-Bantani posisinya digunakan sebagai partikeal ‘ancaman’ (al-waʻd). Dan ini berasal dari Allah, dan wajib. Dan (fa yushbihū ‘alā mā asarrū fī anfusihim nādimīn): Sehingga orang-orang munafiq itu menyesal terhadap apa yang mereka katakan bahwa negara (kekuasaan) akan menjadi milik musuh-musuh Rasulullah Saw. Mereka memang meragukan hal yang berkaitan dengan Rasul Saw. dan berkata, “Sepertinya Muhammad tidak akan menang.” (Imam Nawawi al-Bantani, Murāh Labīd, 1/275).
Orang-orang yang memilih untuk berkumpul dengan orang-orang kafir, dari kalangan Yahudi dan Nasrani, adalah orang-orang munafiq. Mereka tidak yakin agama ini akan dimenangkan oleh Allah. Mereka tidak percaya bahwa Islam akan jaya. Maka, mereka berbondong-bondong mendungkun kaum kafir. Dan dalam kasus Pilkada DKI mendatang sifat-sifat mereka ini pun sudah tampak. Meskipun mereka tidak mungkin mengaku sebagai munafiq. Karena orang munafiq memang ibarat “bunglon”: dia bertindak berdasar keadaan dan kepentingan. Kemana “angin politik” berhembus, ke sana mereka condong dan bergerak. Padahal itu dugaan mereka. Belum tentu kemenangan berpihak kepada mereka.
Kelak mereka akan menyesal karena telah mengenyampingkan ‘aqidah dan memilih duniawi. Mereka akan menyesal karena Allah akan bongkar kebejatan dan kejahatan mereka. Setelah kemenangan Islam diraih mereka akan “menangis”: ternyata mereka salah langkah dan salah sikap.
Jadi, setelah melihat penjelasan Imam Nawawi al-Bantani, apakah masih ada orang yang berani mengatakan bahwa ulama-ulama kita ‘membodohi’ kita? Ulama-ulama kita adalah pilihan Allah. Mereka penyambung dakwah para nabi. Tidak beretika jika kita menuduh mereka membodohi ummat ini. Dan Imam Nawawi al-Bantani termasuk seorang ulama yang sangat berwibawa dan disegani di dunia Islam. Dan dalam kasus Qs. 5: 51-52 sikap beliau sangat tegas. Sama dengan ulama-ulama lainnya: jangan serahkan loyalitas kita kepada musuh-musuh Allah. Siapa yang melakukannya dia zalim. Dan hanya orang-orang munafiq saja yang mendukung kaum kafir untuk memimpin ummat ini. Jadi, jangan tuduh ulama-ulama membodohi ummat ini. Penulis yakin, orang-orang yang menanggap ulama tidak layak menafsirkan. Atau, penafsirannya membodohi ummat sejatinya dialah yang bodoh: karena tidak beradab dan tidak punya ilmu. Karena kalau punya ilmu, dia akan hormat kepada para ulama. Wallahu Aʻlam bis-Shawab.*
Penulis adalah Pengasuh di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan. Penulis buku “Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia” (2012) dan “Jejak Sofisme dalam Liberalisasi Pemikiran di Indonesia” (2016)