Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
Hidayatullah.com | SEORANG penulis liberal, Mun’im Sirry (MS) menulis satu artikel di www.geotimes.com (Jumat, 2 Agustus 2019) dengan tajuk “Jangan Menuduh Kristen Itu Syirik!: Memahami Kristologi Qur’an”. Di dalamnya MS menuangkan dua poin penting, yaitu: Pertama, menuduh kecilnya minat umat Islam dalam mempelajari agama lain. Dan, kedua, menyatakan bahwa Kristen tidak syirik. Dua pandangan ini cukup bermasalah. Dan berikut ini adalah respon dan kritik penulis terhadap pandangannya.
Pertama, tentang kecilnya minat kaum Muslimin dalam mempelajari agama lain, jelas ini tuduhan tak berdasar. Sampai-sampai MS menulis, “Dapatkah Anda tunjukkan nama-nama sarjana Muslim yang mendalami agama Kristen sebagai disiplin keilmuannya? Saya kesulitan menyebut satu pun.”
Pandangan MS di atas jelas fatal salahnya. Karena realitanya tidaklah demikian. Sebaliknya, amat mudah mendapati sarjana Muslim yang menjadikan agama orang lain, khususnya Kristen, sebagai disiplin ilmunya. Di Indonesia sendiri, umat Islam amat mengenal kristolog hebat jago debat, Alm. KH. Abdullah Wasi’an (1917-2011).
Karya KH. Abdullah Wasi’an dalam bidang Kristologi diakui banyak kalangan. Beliau telah melahirkan sekaligus mewariskan 5 karya penting dalam Kristologi, yaitu: (1) Pendeta Menghujat, Kiai Menjawab (Surabaya: Pustaka Al-Falah dan Yayasan Al-Ibrah, 1997); (2) 100 Jawaban untuk Missionaris (Surabaya: Pustaka Da’i, 1995); (3) Kata Bibel tentang Muhammad (Surabaya: Pustaka Da’i, 1993); (4) Jawaban untuk Pendeta (Surabaya: Pustaka Da’i, 1993); dan (5) Islam Menjawab (Jakarta: Media Da’wah, Tanpa tahun).
Dari lima karya hebat di atas dapat dikatakan bahwa pandangan MS sangat salah. Ini bisa jadi karena pandangannya yang kurang luwes, untuk tidak menyebut tidak luas, terhadap khazanah Kristologi di Tanah Air. Atau, karena ada maksud lain yang kurang baik di sebalik pandangannya yang salah itu. Wallahu a‘lam.
Padahal, sebagai bentuk pengakuan terhadap KH. Abdullah Wasi’an sebagai ahli dalam Kristologi, didirikanlah ‘Abdullah Wasi’an Foundation’ (sejak 2013). Selain itu, dengan keahlian KH. Abdullah Wasi’an dalam Kristologi yang dipancarkan lewat dakwahnya, dialognya, dan buku Kristologinya, harus ditegaskan bahwa beliau telah menjadikan Kristologi sebagai disiplin ilmunya. Dengan ilmunya itu beliau “bentengi” akidah umat dari pemurtadan. Maka, sangat tepat jika kemudian oleh Saudara Bahrul Ulum beliau disebut sebagai “Benteng Islam Indonesia” (Lihat, Barul Ulum, Benteng Islam Indonesia: Pemikiran dan Perjuangan KH. Abdullah Wasi’an (Surabaya: Pustaka Da’i, 2003).
Kemudian pandangan MS akan semakin kelihatan salahnya ketika ditilik beberapa nama hebat dalam ranah Kristologi ini. Sebut saja, misalnya, Rahmatullah al-Hindi al-Kairuwani (1818-1891) penulis kitab Kristologi terkenal dan fenomenal Izhār al-Haq.
Kitab di atas kemudian mempengaruhi pemikiran dan dakwah Kristologi sang Kristolog dunia, Ahmed Hosein Kazim Deedat (1918-2005). Ahmed Deedat pun menjadikan Kristologi sebagai jalan dakwah dan spesialisasi keilmuannya. Akhirnya, karya-karya Deedat pun semuanya berbicara tentang Kristen. Yang monumental adalah The Choice: Between Islam and Christianity.
Kemudian pasca Deedat muncul pula Dr. Zakir Naik. Pemikirannya juga “diilhami” oleh jejak dakwah Ahmed Deedat. Kemahiran Dr. Zakir Naik dalam Kristologi tak seorang pun meragukannya.
Sampai di sini, hemat penulis, sudah cukup untuk menegaskan bahwa sarjana Muslim sangat concern terhadap Kristologi. Dan sangat mudah menemukannya. Apalagi jika diusut sampai zaman ulama salaf. Tak seperti yang dituduhkan oleh MS dalam tulisannya yang pejoratif itu.
Kedua, tentang kesyirikan Kristen. Dalam tulisannya, MS menuliskan 6 fase –di sini akan diulas empat fase saja– keyakinannya terhadap kaum Kristen, yaitu:
Fase 1, tentang pengetahuan awal. Intinya: MS menyatakan setelah mempelajari sejarah dan teologi Kristen dia menyimpulkan: ‘gambaran Isa dalam Al-Quran dan Yesus dalam Perjanjian Baru begitu berbeda’. Menurut penulis, di sini MS sudah mulai ragu dengan kebenaran wahyu Al-Quran. Padahal belum dikaji secara serius sudah disimpulkan.
Fase 2: Masalah Sumber. Intinya: MS menyatakan bahwa ‘dari sumber-sumber dan penjelasan orang Kristen, saya menjadi paham bahwa agama Kristen ini monoteistik, sebagaimana Islam’.
Penting dicatat bahwa menganggap Kristen sebagai agama ‘monoteistik’ tentu harus dipertanyakan. Apakah maksudnya Tauhid? Jika Tauhid tentu tidak benar. Karena Tauhid pasti menolak dogma Trinitas. Sehingga dengan keras dan tegas Al-Qur’an sudah mengkritik konsep keliru dan menyimpang ini (QS. 4:171). Yang mengatakan Allah itu ‘Trinitas’ (Tritunggal) divonis kafir oleh Allah dalam Al-Quran (QS. 5:73).
Namun, jika yang dimaksud dengan ‘monoteistik’ adalah pada konsepsi awal ketuhanan dalam Kristen, maka dapat saja dibenarkan. Tapi, koreksi dan kritik Al-Qur’an menunjukkan dan menegaskan bahwa konsep ketuhahan dalam agama ini telah lama mengalami penyimpangan. Karena menyimpang itulah kritik Al-Qur’an lahir.
Fase 3: Kompleksitas. Intinya: ‘pandangan sebagian ulama, misalnya Imam Jamaluddin al-Qasimi menyatakan bahwa kritik Al-Qur’an ditujukan kepada kelompok heretik (bid’ah) Kristen, seperti kelompok Maryamiyyūn (pengikut Maryam). Juga pandangan Geoffrey Parinder yang menunjuk pada kelompok Collyridians.
Tentu saja hal di atas dapat dipertanyakan: Apakah kelompok atau sekte itu masih eksis? Jika tidak, maka apakah kritik Al-Qur’an batal? Jika hanya kelompok itu yang sesat dan menyimpang (heretik) bagaimana dengan kelompok yang meyakini konsep Trinitas lain, yang konsepsinya terdiri dari ‘Tuhan Bapak’ (Father), ‘Tuhan Anak’ (konsep Sonship of God), dan ‘Roh Kudus’ (Holy Spirit)? Padahal, kelompok ini yang mayoritas, apalagi di Indonesia. (Tentang konsep ‘Trinitas’, lihat, misalnya, Encyclopaedia Catholica, dalam artikel “Trinity”. Dijelaskan bahwa konsep Tiga Tuhan adalah: Bapa, Anak, Roh Kudus).
Apalagi nama Kristen itu sendiri baru disematkan pertama kali kepada para pengikut Yesus di Antiokia (Antioch), di Syiria. (Lihat, Arthur Rowe, The Essence of Jesus (London: Arcturus, 2017), 51. Itu artinya, konsep Kristen sebagai agama dipengaruhi oleh sejarah. Termasuk di dalamnya dogma-dogma yang dikritik Al-Qur’an itu.
Fase 4: ‘Strategi Retorik’. Intinya: ‘kritik Al-Qur’an lahir dalam suasana polemis’. Jelas ini keliru. Karena Al-Qur’an seluruh kandungannya selalu sesuai untuk setiap zaman dan tempat. Dan polemik antara Islam dan yang lainnya memang akan terus ada, karena polemiknya permanen: antara konsep Tauhid dan kesyirikan, antara iman dan kekufuran. Di sini, agaknya MS sedang menyimpulkan hasil disertasinya. (Lihat, Mun’im Sirry, Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions (Oxford, 2014). Padahal disertasi ini masih perlu diperdebatkan dan didiskusikan lebih lanjut. Karena, misalnya, diantara isinya membatasi pada para mufassir modernis. Bahkan, tafsir klasik menurut MS tak memadai.
Maka sangat salah jika MS menyimpulkan bahwa kaum Kristen menyembah satu Tuhan yang memiliki tiga uqnum sedangkan kaum Muslimin menyembah satu Tuhan yang memiliki, minimal, dua puluh sifat. Tentu ini kesimpulan yang serampangan. Karena Tuhan dalam Islam tidak dapat dipersonifikasikan. Sifat itu menempel pada Zat sejak mulanya. Sejak Allah wujud. Dan konsepsi Tauhidnya, laisa kamitslihi syai’un dan walam yakun lahu kufuwan ahad. Allah tak dapat disamakan dengan apapun.
Hemat penulis, ini beberapa hal yang penting dipahami dengan baik dan benar. Dan dari respon ini sejatinya tampak jelas bahwa Al-Qur’an sejak awal turunnya sampai hari Kiamat akan tetap menyatakan kaum Kristen kafir dan musyrik, selama meyakini Trinitas. Tapi, makna kafir yang disematkan Al-Qur’an kepada mereka bukan hanya ini. Karena orang kafir adalah: mereka yang menolak dan tidak mau percaya dan tidak mau menerima kebenaran yang dibawa oleh Rasul ﷺ. Dan masuk kaum kafir ini, kata Buya Hamka (1908-1981) adalah: Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrikin yang masih menyembah berhala. (Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982): 30/231. Jadi, umat Islam tidak sembarangan ketika menyatakan keyakinan mereka mengenai kaum Kristen. Wallāhu’l-Hādī ilā shirāthi’l-mustaqīm.*
Penulis buku Teologi Islam versus Kristen (Surabaya: Pustaka Progressif, 2010) dan Pendeta Menghujat, Ustad Meralat (Pematang Siantar: Alkifah, 2015).