Oleh: Yan S. Prasetiadi
Hidayatullah.com | LONTARAN salah satu tokoh yang mengatakan bahwa fikih adalah produk Perang Salib sebetulnya bisa dijadikan momentum bagi para alim untuk menjelaskan hakikat fikih yang sebenarnya. Sebab jika kita mau jujur, apa yang disampaikan tokoh tersebut betul-betul keliru besar dan berbahaya bagi pemahaman umat. Karena itu tulisan ini mencoba meluruskan dan menjelaskan fakta fikih yang sebenarnya.
Definisi
Menurut Imam asy-Syafi’i rahimahullah, fikih adalah:
العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
Pengetahuan mengenai berbagai hukum syara’ praktis yang digali dari dalil-dalil terperinci. (Syaikh Prof. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, I/16).
Dalam konteks Mazhab asy-Syafi’i, istilah fikih sebetulnya mencakup dua hal penting:
Pertama, pengetahuan berbagai hukum syara’yang berkaitan dengan perbuatan dan ucapan mukallaf, dan digali dari dalil terperinci yakni nash al-Qur’an, as-Sunnah, serta turunan dalil seperti ijma’ dan ijtihad. Misal: pengetahuan kita mengenai niat wudhu adalah wajib, shalat witir adalah sunnah, shalat ba’da ashar adalah makruh dll;
Kedua, hukum syara’ itu sendiri. Artinya jika ada yang berkata ‘saya mengkaji fikih’, maknanya: mengkaji berbagai hukum syara’ fikih yang terdapat pada kitab-kitab fikih, yang dihasilkan atau diambil dari Kitabullah ta’ala, Sunnah Nabi ﷺ, ijma’ dan ijtihad ulama kaum muslimin. Misal: hukum seputar wudhu, shalat, jual-beli, menikah-sepersusuan, perang-jihad dll.
Jadi, fikih itu sebutan bagi ‘pengetahuan mengenai berbagai hukum’ sekaligus sebutan bagi ‘hukum’ itu sendiri. (Dr. Musthafa al-Khin & Dr. Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i: I/7-8).
Produk Perang Salib?
Bagi yang sudah mempelajari fikih Islam mungkin akan heran, ketika mendengar pernyataan ‘fikih adalah produk Perang Salib’, sebab pernyataan tersebut menunjukkan kefakiran literasi yang sangat akut, karena era Perang Salib terjadi jauh sekali setelah era kodifikasi mazhab fikih, atau mungkin ada motif lain di balik pernyataan itu –semisal motif politik, silahkan para pembaca menilai sendiri.
Bahkan kalau kita lebih cermat lagi, tuduhan tersebut keliru besar, berdasarkan dua aspek berikut ini:
Pertama, fikih secara prinsip sudah muncul pada era Nabi ﷺ dan Sahabat radhiallahu ‘anhum. Lebih presisi lagi, artinya sudah muncul saat masa hijrah dari Makkah ke Madinah kala itu. Syaikh Prof. Wahbah az-Zuhaili menerangkan:
وقد بدأت نشأة الفقه تدريجياً في حياة النبي صلّى الله عليه وسلم وفي عصر الصحابة، وكان سبب نشوئه وظهوره المبكر بين الصحابة هو حاجة الناس الماسة إلى معرفة أحكام الوقائع الجديدة، وظلت الحاجة إلى الفقه قائمة في كل زمان لتنظيم علاقات الناس الاجتماعية، ومعرفة الحقوق والواجبات لكل إنسان، وإيفاء المصالح المتجددة، ودرء المضار والمفاسد المتأصلة والطارئة
Kemunculan fikih secara bertahap dimulai pada masa Nabi shallallu ‘alaihi wa sallam dan pada masa Sahabat, sebab lahir dan muncul awalnya terjadi di antara Sahabat, yakni kebutuhan masyarakat Islam kala itu untuk mengetahui berbagai hukum peristiwa baru. Kebutuhan terhadap fikih senantiasa ada di setiap zaman, demi mengatur interaksi sosial manusia, mengetahui hak serta kewajiban setiap orang, mewujudkan kemaslahatan yang baru dan mencegah bahaya-kerusakan yang muncul. (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, I/18).
Kedua, fikih Islam merupakan sekumpulan hukum syariah yang diperuntukkan Allah bagi hamba-Nya, hukum tersebut seluruhnya merujuk kepada empat sumber utama: al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas Syar’i. Artinya asas dari fikih sejatinya wahyu ilahi yang sangat berbeda dengan undang-undang buatan manusia. Syaikh Prof. Wahbah az-Zuhaili menjelaskan:
يتميز الفقه عن غيره من القوانين الوضعية بأن مصدره وحي الله تعالى المتمثل في القرآن والسنة النبوية، فكل مجتهد مقيد في استنباطه الأحكام الشرعية بنصوص هذين المصدرين، وما يتفرع عنهما مباشرة، وماترشد إليه روح الشريعة، ومقاصدها العامة، وقواعدها ومبادئها الكلية
Fikih berbeda dengan undang-undang konvensional, karena sumber fikih adalah wahyu Allah ta’ala yang tercermin dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabawi. Setiap mujtahid dalam menggali hukum syara’ secara langsung terikat dengan dua nash sumber tadi beserta turunannya, petunjuk ruh syariah, tujuan umum syariah, serta kaidah dan prinsip syariah yang bersifat menyeluruh. (Ibid).
Berdasarkan dua aspek tersebut, yakni dari aspek kemunculan dan sumber fikih Islam; bukan hanya tidak ada hubungan dengan Perang Salib, bahkan fikih Islam pun sangat jauh berbeda dengan peraturan atau perundang-undangan buatan hawa nafsu manusia.
Fikih Bukti Kesempurnaan Ajaran Islam
Fikih sebagai sebuah pengetahuan mengenai berbagai hukum syara’, memiliki banyak sekali aspek hukum yang dibahas, sangat lengkap mencakup seluruh bidang kehidupan, baik pengetahuan hukum seputar ibadah, urusan privat, bahkan aturan bermasyarakat dan bernegara, semua ada dalam fikih Islam. Syaikh Prof. Wahbah az-Zuhaili menjelaskan:
يمتاز الفقه الإسلامي عن القوانين بأنه يتناول علاقات الإنسان الثلاث: علاقته بربه، وعلاقته بنفسه، وعلاقته بمجتمعه، لأنه للدنيا والآخرة، ولأنه دين ودولة، وعام للبشرية وخالد إلى يوم القيامة
Fikih Islam memiliki keungulan dari undang-undang konvensional, sebab fikih membahas tiga dimensi interaksi manusia: hubungan manusia dengan Rabb-nya, hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan hubungan manusia dengan masyarakat. Sebab fikih hadir demi kebaikan dunia dan akhirat, mengatur agama dan negara juga seluruh manusia dan berlaku abadi hingga hari kiamat. (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, I/19).
Ketika kita telusuri berbagai kitab fikih, maka akan ditemukan ada tujuh hukum utama yang dibahas dalam fikih Islam sebagai berikut:
Pertama, ibadah: berbagai hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah, semisal wudhu, shalat, shaum, zakat, haji, dan ibadah lainya.
Kedua, ahwal syakhsiyyah: berbagai hukum yang berkaitan dengan keluarga, semisal pernikahan, cerai, nasab, nafkah, persusuan, warisan dan lain sebagainya.
Ketiga, mu’amalah: berbagai hukum yang berkaitan dengan aktivitas manusia serta interaksi di antara mereka, semisal jual-beli, menggadaikan, ijarah, dakwaan, pembuktian, peradilan dan lain-lain.
Keempat, ahkam sulthaniyyah atau siyasah syar’iyyah: berbagai hukum yang berkaitan dengan kewajiban penguasa dalam menegakkan keadilan, menghilangkan kezhaliman, menerapkan hukum syariah, dan kewajiban rakyat untuk taat penguasa muslim selama tidak bermaksiat, serta hukum siyasah lainnya.
Kelima, uqubat: berbagai hukum yang berkaitan dengan sanksi bagi kriminal, dan menjaga keamanan-ketertiban, semisal sanksi bagi pembunuhan, pencurian, pemabuk dan sanksi lainnya.
Keenam, siyar: berbagai hukum yang mengatur hubungan antara negara Islam dengan negara lainnya, dari aspek perang, perdamaian dan lain sebagainya.
Ketujuh, adab dan akhlak: berbagai hukum yang berkaitan dengan akhlak dan kesopanan, perangai baik dan perangai buruk dll. (Dr. Musthafa al-Khin & Dr. Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i: I/12-13).
Tujuh kategori hukum yang dibahas dalam fikih tersebut, sudah cukup sebagai bukti kesempurnaan ajaran Islam.
FIkih Islam Sangat Relevan dan Wajib Diterapkan
Sebetulnya kita agak heran, mengapa jika berkaitan ajaran Islam, isu klise semisal ‘fikih Islam tidak relevan atau konsep fikih tertentu tidak relevan’ dan bla-bla.. selalu nyaring terdengar, mengapa isu seperti ini tidak diarahkan kepada kasus kontradiksi undang-undang atau hukum yang menuai kontroversi di negeri ini? Atau misalnya kenapa sebagian undang-undang yang merupakan warisan Kolonial di negeri ini, masih dijalankan? Bukankah tidak relevan dan sangat ganjil ketika negeri yang mengaku merdeka menggunakan hukum warisan penjajahnya? Negeri muslim terbesar namun tidak menggunakan hukum Islam, apakah ini wajar dan relevan?
Karena itu dalam konteks fikih, mindset yang benar seharusnya tidak dibangun dari pandangan ‘relevan atau tidak’, tapi yang benar adalah ‘setiap muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam kehidupannya’ sebab ini adalah konsekuensi akidah Islam. Di sisi lain, Allah menurunkan hukum syara’ yang kelak dihimpun dalam fikih Islam, memiliki tujuan jelas demi menyelesaikan seluruh masalah kehidupan manusia melalui ijtihad yang shahih. Syaikh Prof. Wahbah az-Zuhaili menegaskan:
وإنكار حكم من أحكام الشريعة التي ثبتت بدليل قطعي، أو زعم قسوة حكم ما كالحدود مثلاً، أو ادعاء عدم صلاحية الشريعة للتطبيق، يعتبر كفراً وردة عن الإسلام. أما إنكار الأحكام الثابتة بالاجتهاد المبني على غلبة الظن فهو معصية وفسق وظلم؛ لأن المجتهد بذل أقصى جهده لمعرفة الحق وبيان حكم الله تعالى، بعيداً عن أي هوى شخصي، أو مأرب نفعي، أو طلب سمعة أو شهرة زائفة، وإنما مستنده الدليل الشرعي، ورائده الحق، وشعاره الأمانة والصدق والإخلاص
Menolak hukum syariah yang terbukti berasal dari dalil yang pasti, menuduh hukum syariah seperti hudud sebagai hukum yang bengis, dan menyatakan syariah tidak relevan diterapkan, sikap demikian dinilai kufur dan murtad dari Islam. Sedangkan, jika menolak hukum syariah yang terbukti hasil ijtihad yang dilandasi asumsi kuat, maka masuk kategori maksiat, fasik dan zhalim. Karena seorang mujtahid itu mengerahkan segala kemampuan mencari kebenaran dan menjelaskan hukum Allah ta’ala, bukan demi hawa nafsu, manfaat sesaat, ketenaran atau popularitas semu, namun bersandar pada dalil syara’, petunjuk kebenaran, nilai amanah, kejujuran dan keihklasan semata. (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, I/27).
Demikianlah, kaum muslimin wajib membela fikih dan melawan setiap isu yang mendiskreditkan ajaran Islam, karena jika dibiarkan lama kelamaan, kaum muslim bisa saja meninggalkan banyak hukum fikih Islam, meninggalkan fikih sama artinya meninggalkan syariah, meninggalkan syariah sama artinya meninggalkan al-Qur’an dan as-Sunnah, yang pada gilirannya menghambat tegaknya Islam kaaffah. Meninggalkan sumber ajaran Islam, menjadikan kaum muslimin kehilangan identiasnya, saat identitasnya hilang, pemikiran lain bisa saja merasuki umat Islam, setelah itu umat Islam menjadi umat yang kehilangan visi besarnya menjadi Khalifah di muka bumi ini, serta mereka akan dipermainkan dan dikendalikan bangsa lain. Wallahu a’lam*