Oleh: Kholid
Hidayatullah.com | DALAM satu bagian tubuh manusia yang penting adalah mata. Dalam bahasa Indonesia, kata mata kadang-kadang dikaitkan dengan hati. Biasa disebut dengan mata hati.
Frasa ini menarik untuk digarisbawahi, bahwa makna mata tidak selalu berkolerasi dengan salah satu organ inderawi yang biasa digunakan untuk melihat alam fisik yakni alam semesta sebagai manifestasi dari ciptaan-Nya, melainkan juga berkenaan dengan alam metafisik yang lebih luas cakupannya dari alam yang sebatas fisik.
Hati sebagai sandingan dari ‘Mata’, dimaksudkan adalah hati yang abstrak yang biasa dipahami untuk mengekpesikan sesuatu yang abstrak pula seperti rasa senang, sedih, bahagia, dsb. Oleh karenanya dalam Islam, mata hati tidak melulu bermakna qalb, tapi bisa bermakna aql, ruh, nafs.
Varian indera dalaman ini disesuaikan dengan objeknya. Ketika berkenaan dengan perasaan, maka qalb berfungsi. Jika berkenan dengan intelektus dan rasio, maka aql berfungsi, dan seterunya.
Dalam bahasa arab ‘mata’ diterjemahkan dengan kata ‘ain’ ( عين ). Kata ‘ain’ memiliki beberapa makna meliputi mata air, sumber, dan yang berkedudukan tinggi. Makna-makna ini bersesuaian dengan hakekat ‘ain itu sendiri, dimana ia menjadi sumber awal dalam menilai sesuatu, yang kemudian ditransfer ke fakultas aql untuk diolah dan pada akhirnya menghasilkan suatu keputusan. Oleh karenanya, dari kata ‘ain ini muncul kata ‘ayyana’ ( عيّن ) yang memiliki makna menetapkan, menentukan, menunjukkan dengan tepat.
Namun terkadang tatapan ‘mata’ seseorang terhadap suatu objek tidaklah selalu tepat. Apa yang dikatakan benar berlandaskan pada proses penglihatan dengan mata tidaklah selamanya benar.
Mata ketika melihat tongkat yang sebagiannya berada di dalam air akan menilai bahwa tongkat itu bengkok. Padahal jika ditarik kembali ternyaat tongkat itu lurus. Di jalan aspal, mata melihat di kejauhan terdapat genangan air, ketika didekati ternyata tidak ada air. Itulah fatamorgana.
Oleh karenanya, mata tidak bisa menjadi satu-satunya sumber dalam menilai sesuatu. Ia perlu disandingkan dengan saluran pengetahuan lainnya yang bisa membantu untuk menyimpulkan sesuatu dengan benar dan tepat.
Dalam Epistemologi Islam, saluran pengetahuan terbagi menjadi empat, panca indera, rasio, khabar shadiq, dan intuisi. Mata (penglihatan) sendiri adalah salah satu bagian dari panca indera selain telinga (pendengaran) , hidung (pencium) , lidah (perasa) , dan kulit (peraba).
Jadi, ‘mata’ adalah bagian integral dari saluran pengetahuan lainnya yang harus dimaksimalkan dalam melihat suatu realitas dan kebenaran. Panca indera dan rasio adalah bagian integral dalam Islam yang berfungsi untuk saling melengkapi. Berbeda dengan filsafat Barat yang memiliki sejarah panjang perdebatan antara kubu empirisisme dan rasionalisme. Antara pengusung paham tersebut saling beradu argument dan mengklain bahwa sumber epistemenya yang lebih benar daripada lainnya.
Panca indera dan rasio juga tidak bisa dilepaskan dari khabar shadiq. Iman Nasafi membagi khabar shadiq menjadi dua, yakni khabar mutawatir ( suatu berita yang tidak diragukan lagi kebenarannya karena sudah menjadi aksioma khalayak umum ) dan ‘wahyu’ yang berupa al-Qur’an dan Sunnah. Jika kita melepaskan aspek khabar shadiq khususnya wahyu dari panca indera dan rasio, maka konsekuensinya akan sama dengan apa yang terjadi di Barat yakni timbulnya paham sekulerisme. Paham yang memisahkan aspek agama dari kehidupan.
Kembali ke aspek ‘mata’ yang disebut dengan ‘ain diatas. Bahwa dari kata ‘ain memunculkan kata lain yakni isti’anah ( استعانة ), bentuk masdhar dari fiil sudasi ista’ana – yastainu ) ( استعان – يستعين yang bermakna meminta pertolongan. Dalam surah al-Fatihah, lafadz isti’anah digunakan dalam konteks meminta pertolongan kepada Allah swt. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in ( kepada-Mu lah kami menyembah dan kepada-Mu lah kami meminta pertolongan ). Hal ini menunjukkan bahwa kata ‘ain sendiri, tidak bisa dilepaskan dari sang Pencipta ‘ain tersebut. ‘Ain sebagai organ yang penuh keterbatasan perlu dibimbing dan diarahkan oleh wahyu.
Jadi ketika kita melihat suatu objek, mata adalah bagian integral yang tidak menjadi sumber satu-satunya dalam menilai. Islam telah menawarkan konsep integratif antara melihat dengan mata sebagai panca indera, dan mata hati sebagai rasio dan intuisi, disertai bimbingan dari khabar shadiq. Dengan saluran pengetahuan ini, akan membantu kita dalam menilai dan menyimpulkan bahwa realitas yang kita lihat adalah benar-benar real.*
Penulis adalah alumni Dalwa