Oleh: Teten Romly Qomaruddien
Hidayatullah.com | AKHIR-akhir ini hangat dibincangkan soal hak asasi manusia (HAM). Topik ini selalu jadi perhatian setiap tiba tanggal 10 Desember.
Publik mengenalnya sebagai hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia. Kehadirannya laksana “pahlawan” di atas pahlawan, menjadi kata tuntas untuk segala persoalan. Itulah Hak Asasi Manusia (HAM) yang sejak digelindingkannya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tertanggal 10 Desember 1948 dan dikenal dengan Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disingkat DUHAM.
DUHAM telah menjadi “juru penolong” bagi sebahagian kalangan yang menginginkan untuk berlepas dari kemapanan. Dan prakteknya bisa menjadi kepentingan berstandar ganda (bukan sekedar digunakan untuk kepentingan positif, juga bisa pula digunakan untuk kepentingan negatif).
Karenanya, perlu dicermati gagasan yang pernah disampaikan Dr. Yusril Ihza Mahendra (saat sebelum Profesor). Ia berpandangan tentang HAM sebagai berikut: “Pentingnya menggali konsep HAM religius yang merujuk pada sumber doktrin keagamaan mengingat (dalam konteks Indonesia) mayoritas penduduknya adalah Muslim.” (Yusril, “HAM dan Ummat Islam”, Membongkar Mitos HAM, KISDI, 1997: hlm. 7).
Itulah salah satu yang melatar belakangi Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia (KISDI), yaitu lembaga yang digagas Allaahu yarham Dr. Mohammad Natsir dan dinakhodai Allaahu yarham H. Ahmad Sumargono, SE. Beliau mulai membicarakan pentingnya Hak Asasi Manusia perspektif Islam yang diselenggarakan pada tanggal 10 Desember 1996 di Auditorium Perpustakaan Nasional Jakarta dalam rangka mengenang detik-detik sejarah disahkannya Piagam Universal HAM di PBB.
Pembahasan ini dirasakan sangat penting, mengingat HAM yang ada lebih berpijak pada humanisme sekuler sehingga dalam prakteknya seringkali kontradiksi dengan ajaran agama. Terlebih, menurut Allaahu yarham Hussein Umar (Tokoh Dewan Da’wah) pernah menegaskan: “Konsep Islam sebenarnya sangat berpijak pada kewajiban, bukan pada hak. Islam mengajarkan pada ummatnya untuk mendahulukan apa yang wajib dilakukannya, bukan apa yang harus dituntutnya”. (Hussein, “Kontroversi Seputar HAM”, Membongkar Mitos HAM, KISDI, 1997: hlm. xi/ 1).
Peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Hamid Fahmy Zarkasy, Ph.D, juga berpandangan sama terkait konsep HAM. Ia menandaskan, “Jika konsepsi Islam dan Barat dibandingkan secara seksama akan didapati bahwa Islam memiliki kekayaan konsep ketimbang Barat sekuler. Islam telah lama menghilangkan rasisme, sektarianisme, atau apapun yang melebihkan orang lain berdasarkan ras dan asal-usul keturunannya. Lebih maju dari sekedar pengelompokan primordial di Eropa waktu itu, Islam mentransfer dari tribalisme, kesukuan, ras, warna kulit yang sempit dan ekslusif kepada parameter kemanusiaan yang lebih luas. Dengan cara ini tidak mungkin ada perbedaan dan perselisihan serta kebencian di antara manusia. Islam tidak hanya mengemukakan teori tapi mempraktekkannya sejak zaman Nabi, zaman Khulafaur Rasyidin dan zaman ulama di zaman keemasan Islam.” ( Islam, HAM dan Kebebasan Beragama, INSISTS, 2011: hlm. 27).
Seiring perjalanannya, DUHAM yang dicetuskan PBB itu, menjadi perdebatan sengit di kalangan pemikir Muslim seperti halnya Zafrullah Khan (Pakistan) dan Jamil al-Barudi (Saudi Arabia), sekalipun di dalamnya telah mencakup pasal-pasal Deklarasi Universal HAM menurut Agama-agama (DUHAMA), namun belum memuaskan dahaga jiwa mereka. Berikutnya disempurnakan oleh para cendikiawan dan pemimpin Muslim menjadi Universal Islamic Declaration of Right di London (1981) yang diikrarkan secara resmi oleh UNESCO di Paris. Lalu diikuti oleh Deklarasi Kairo yang dikeluarkan Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1990, yang apabila disarikan meliputi lima poin berikut:
Pertama, HAM dalam Islam diderivasi dari ajaran Islam; di mana manusia dianggap sebagai makhluq mulia. (QS. 17: 70).
Kedua, HAM dalam Islam adalah karunia dari Tuhan dan bukan pemberian dari manusia kepada manusia lain dengan kehendak manusia (artinya, hak asasi dalam Islam adalah innate/ fithrah).
Ketiga, HAM dalam Islam bersifat komprehensif; termasuk di dalamnya hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Keempat, HAM dalam Islam tidak terpisahkan dari syari’ah.
Kelima, HAM dalam Islam tidak absolute karena dibatasi oleh objek-objek syari’ah dan oleh tujuan untuk menjaga hak dan kepentingan masyarakat yang di dalamnya terdapat individu-individu. (Suleiman Abdul Rahman al-Hageel dalam Hamid F. Zarkasy, 2011: hlm. 48).
Sekedar merekam fakta penyalahgunaan HAM, kini deklarasi ini sedang mendapatkan tempatnya, di mana berbagai polah dunia ketiga/ negara maju seolah mendapatkan pembenaran serta pembelaan dalam memperlakukan negara berkembang hampir di setiap lini kehidupan. Bai itu lini ideologi, politik, sosial, ekonomi, hukum dan budaya.
Demi keamanan politik semesta, Amerika boleh menyerang Afghanistan, Iraq dan negara-negara lain yang dianggap mengganggu ketertiban dunia. Dibenarkannya Rusia menggempur Checnya, diniarkannya Israel merampas Palestina, juga Rezim keji Bashar al Asaad menghabisi warganya yang sunni atas nama pembelaan diri dan menyelamatkan kemanusiaan dari para pemberontak kontra pemerintah.
Demikian pula dengan pesta “keroyokkannya” tentara Suriah ini bersama Angkatan Udara Vladimir Puttin dan milisi pendukung Revolusi Syi’ah dalam meluluh lantahkan kota-kota peradaban Islam seperti Baghdad, Damaskus dan Halab/Alepo. Semua itu menggambarkan, ada banyaknya berbagai kepentingan superior kepada inferior dalam geo-sosial politik dan geo-ekonomi yang tengah dimainkannya.
HAM dan Kebebasan
Dalam perkembangan berikutnya, justeru sekarang terjadi peralihan yang sangat dahsyat, di mana isu HAM lebih di arahkan kepada berbagai permasalan pemikiran, ideologi dan kebudayaan. Kebebasan menentukan keyakinan/ ideologi seperti halnya pindah agama (murtad), nikah beda agama, memproklamirkan LGBT, menghidupkan aliran-aliran menyimpang yang keluar dari arus utama.
Ditambah lagi dengan adanya tuntutan perlindungan hukum bagi eksponen yang diduga mengembangkan dan membangkitkan paham komunisme (Marxisme, Leninisme dan Stalinisme dan lain-lain), revolusi Syi’ah yang semakin menemukan bentuknya, pengajuan kaum Bahaiyyah untuk menjadi agama baru, aliran kebatinan yang menggeliat dan berbagai upaya kelompok tertentu terhadap peninjauan ulang undang-undang yang telah dianggap final sebelumnya (seperti halnya kasus UU PNPS No.1/ 1965) menjadi bukti kuat bahwa “permainan itu” sudah dimulai.
Apabila kembali pada Islam, adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, bukanlah barang baru. Bagaimana Islam menjaga dan menghargai jiwa manusia; larangan melenyapkan nyawa tanpa hak dan pertumpahan darah, menjunjung tinggi keadilan dan persamaan, menghargai agama di luar Islam, perlakuan terhadap wanita, etika bermasyarakat sampai etika perang dan lain-lain telah diatur sedemikian rincinya dalam Al-Qur’an, sunnah nabi-Nya.
Karenanya sangat wajar, bila seorang A.J. Wensinck dan Montgomery Watt (keduanya tokoh Orientalist) tidak dapat menyembunyikan temuannya, kalau Islam itu sangat menghargai Hak Asasi Manusia. Hal ini dibuktikan dengan wujudnya “Medina Charter“, yaitu Perjanjian Madinah (miitsaaq madienah) yang sangat menghargai kemajemukan, heterogenitas dan nilai-nilai kemanusian yang harus dihargai dalam bentuk kesepakataan bersama (mu’aahadah).
Karenanya, piagam ini disebut sebagai “Konstitusi Negara Tertulis Yang Pertama di Dunia“. (Lihat H. Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad ﷺ, Bulan Bintang, tahun 1973). Hal serupa diakui oleh Prof. Dr. Marcel A. Boisard (penulis L’ Humanisme De L’ Islam, Paris, 1979) yang diterjemahkan Prof. Dr. H.M. Rasjidi dengan penerbit Bulan Bintang, tahun 1980 menjadi Humanisme Dalam Islam.
Buku ini menjelaskan, bahwa peradaban (civilization) Islam merupakan peradaban pertama dalam memberi ketentuan yang jelas untuk melindungi nasib manusia dan masyarakat, juga untuk mengatur hubungan antar bangsa. Inilah sekedar catatan ringkas dan terbatas sebagai pengantar muhaadharah untuk sama-sama dikritisi dan disempurnakan.
Yang jelas, perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM), harus diiringi pula dengan perjuangan penyadaran akan Kewajiban Asasi Manusia (KAM), terutama kewajiban terhadap Penciptanya. Sesuatu yang tidak boleh terjadi, manakala perjuangan Hak Asasi Manusia mengalahkan apa-apa yang menjadi Hak Allah ‘azza wa jalla.*
Penulis annggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam dan Ketua Bidang Kajian dan Ghazwul Fikri Dewan Da’wah