Oleh: Kholili Hasib
USAHA pelegalan homoseks di Indonesia menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan. Di Indonesia terdapat komunitas yang bernama ‘GaYa Indonesia”, perkumpulan khusus kaum Gay. Keberadaan mereka memang tidak terlalu terbuka, tapi menurut pengamatan aktivis kesehatan, perkembangannya sudah menjamur.
Karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu membuat sistem kontrol terhadap penderita kelainan seksual tersebut. Di lain pihak, tantangan meredam homoseksualitas itu makin besar, menyusul munculnya survey yang menstigmatisasi bahwa melarang homoseks merupakan tindakan intoleran.
Kita patut khawatir, sebab tren homoseks untuk kalangan tertentu ternyata bukan sesuatu yang eksklusif lagi atau dosa yang harus ditutup-tutupi. Kita bisa simak, beberapa waktu ketika pendiri organisasi homoseksual GaYA Nusantara seusai melakukan saat fit and proper test sebagai sarat calon komisioner Komnas HAM di Komisi III DPR RI, Selasa (16/10/2012) ia mengaku akan terus memperjuangkan hak-hak kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT), meski tidak lolos anggota Komnas HAM.
Sebelumnya, 28 Maret 2010 Polwiltabes Surabaya pernah membatalkan izin kongres ILGA (International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender dan Intersex Association) di Surabaya. Bagi banyak pihak penyelenggaraan kongres ILGA di Surabaya sama halnya memberi angin segar maraknya hubungan sesame jenis yang merupakan larangan banyak agama di dunia ini. Karenanya, jika aparat keamanan akhirnya menghentikan acara tersebut, bisa dimengerti dan dihapahami.
Namun baru-baru ini, Lembaga Survey Indonesia (LSI) merilis hasil survei di Jakarta pada Minggu, 21 Oktober 2012 yang mengungkap banyaknya masyarakat yang intoleran terhadap keberagaman. Sikap intoleran ditunjukkan dengan ketidaknyamanan terhadap perbedaan agama, juga perbedaan orientasi seksual. Masyarakat yang menolak homo dan lesbi disebut intoleran.
LSI menemukan bahwa intoleransi terhadap kaum homoseksual lebih tinggi dari keengganan responden terhadap orang-orang mengikuti agama yang berbeda, berselisih 15,1 persen. Untuk survei, LSI mewawancarai 1.200 responden antara 1 Oktober dan 8 Oktober. Para responden malah lebih suka tinggal bersebelahan dengan apa yang mereka anggap sebagai pengikut aliran sesat seperti Syi’ah dan Ahmadiyah, bukan dengan gay atau lesbian. Survei menunjukkan bahwa 41,8 persen dan 46,6 persen dari responden merasa tidak nyaman tinggal di samping pengikut Syiah atau Ahmadiyah.
Opini yang hendak dibentuk dari survey LSI tersebut adalah bahwa orang yang tidak menyukai perilaku homoseks sebagai kelompok yang tidak toleran. Benarkah hal ini bentuk intoleransi?
Maki kita kembalikan kepada perspektif agama dan kesehatan. Homoseks dan lesbi dalam pandangan agama, baik Islam dan Kristen sebagai bentuk tindak kejahatan. Secara medis-psikologis, homoseks termasuk kelainan seksual.
Kitab Bibel mengutuk keras pelaku homoseks, karena dinilai perbuatan keji tidak manusiawi. Kitab Imamat 20:30 mengatakan: “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri”.
Dalam Bibel versi King James tertulis, “Jika seorang pria berbaring dengan pria lain, sebagaimana ia berbaring dengan seorang wanita, keduanya telah melakukan kejahatan: mereka harus dihukum mati; darah mereka harus ditumpahkan”.
Dalam pandangan Islam, homoseks disebut liwath, termasuk dosa besar dan perbuatan kotor yang keluar dari fitrah suci. Ia juga merupakan kelainan.
Rasulullah saw bersabda, “Terlaknatlah orang yang mencela ayahnya, terlaknatlah orang yang mencela ibunya. Terlaknatlah orang yang menyembelih bukan karena Allah, terlaknatlah orang yang merubah batas tanah, terlaknatlah orang yang membisu (tidak mau memberi petunjuk) terhadap orang yang buta yang mencari jalan. Terlaknatlah orang yang menyetubuhi binatang dan terlaknatlah orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth (homoseks) ”(HR. Ahmad). Dalam hadis lain Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR Ibnu Majah).
Imam Syaf’i berfatwa bahwa, pelaku homoseksual harus dijatuhi hukuman mati, baik palaku (subjek) maupun yang diperlakukan (objek) sodomi, sebagaimana yang tersurat dalam hadits.
Pandangan normatif agama tidak berbedah jauh dengan perspektif medis. Secara medis homoseks dan lesbi memicu penyakit menular berbahaya, yaitu siphilis, gonorrhoea, dan AIDS.
Praktik tersebut juga memicu menurunnya daya pikir disebabkan oleh menurunnya fungsi simpul-simpul syaraf. Prof. Dr. Malik Badri, pakar psikologi asal Sudan, menyarankan agar pelaku-pelaku homoseks dan lesbi diterapi khusus. Pengobatannya dilakukan secara simultan dan bertahap.
Akhirul kata, sesungguhnya tidak ada celah dalam agama manapun untuk pelegalan homoseksualitas. Dalam perspektif agama Islam, tindakan itu disebut sebuah tindakan kriminil (jarimah) sedang dalam medis-psikologis perbuatan homoseks merupakan sebuah kelainan.
Pertanyaannya, bagaiman mungkin LSI menilai masyarakat intoleran gara-gara menolak tindak kriminil dan kelainan seks seperti homoseks ini?
Di sinilah persoalannya. Toleransi dalam cara pandangan LSI ternyata berideologi relativisme. Pihak Danny JA Foundation, lembaga yang menaungi LSI, sesungguhnya ingin memberikan kesan pada banyak orang bahwa tidak boleh ada penghukuman salah terhadap orang berorientasi seksual sejenis, meski agama mereka melarang.
Relativisme memang mengajarkan tidak ada dan tidak boleh ada pendapat yang paling benar. Relativisme melampaui toleransi, karena mencurigai kebenaran, bahkan meragukan kebenaran itu sendiri.
Masalah utama dalam paham ini, jika senbuah kebenaran dicurigai, maka sama saja dengan intoleran terhadap kebenaran. Berarti wacana intoleran terhadap homoseksual sesungguhnya intoleran terhadap kebenaran agama itu sendiri.*
Penulis adalah peneliti InPAS Surabaya