Oleh: A. Kholili Hasib
INSTITUTE for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) baru-baru ini menggelar seri kuliah spektakuler tentang Islamic science (sains Islam) bertajuk “Science in the Muslim World up to 1500 CE”. Seri kuliah menghadirkan Prof. Paul Lettinck sebagai pembicara utama, diadakan selama empat hari, yaitu tanggal 12-13 Januari dan 19-20 Januari 2016 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Depok.
Paul Lettinck adalah pakar di bidang sejarah sains Islam. Dia pernah menjadi Guru Besar sejarah dan filsafat sains Islam di ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) Kuala Lumpur Malaysia. Meraih gelar Ph.D dua kali. Pertama dalam bidang fisika nuklir pada tahun 1973 dan kedua dalam bidang Semitik dari Vrije Universiteit Amsterdam Belanda pada tahun 1991.
Sejak dia berkunjung ke kawasan Afrika Utara (Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libiya), ia tertarik dengan budaya Arab dan peradaban Islam. Menurutnya, bahasa Arab itu bagus, luas dan kaya dengan berbagai jenis literature. Bersamaan dengan itu ia terus menekuni budaya semitik dan sejarah sains di dunia Islam.
Buku-buku Paul Lettinck antara lain; Aristotle’s Physics and its Reception in the Arabic World (Leiden: Brill, 1994), Aristotle’s Meteorology and its Reception in the Arabic World I (Leiden: Brill, 1999), Philoponus: On Aristotle Physics 5-8 with Simplicius: On Aristotle on the Void (Bloomsbury, 2004).
Dia merupakan ilmuan Barat pengkaji budaya ketimuran yang mengakui kehebatan saintis-saintis Muslim. Menurutnya, peradaban Islam, termasuk di dalamnya sains, telah diteliti dengan serius oleh para akademisi di Eropa sejak zaman Renaissans. Sebut saja, misalnya, Thomas Erpenius di Leiden, yang aktif sampai akhir hayatnya di tahun 1624. Dan memang sekarang, tambahnya, ada sejumlah lembaga-lembaga kampus di seluruh dunia yang secara khusus melakukan penelitian sejarah sains Islam seperti di universitas-universitas Barcelona (pusat studi Historia de la Ciencia Árabe), New York (Columbia University), Yale (Amerika Serikat), Aleppo (Suriah), Frankfurt (Jerman), dan banyak lagi.
Hal ini membuktikan ternyata sains Islam itu diakui beberapa ilmuan Barat.
Meskipun Paul Lettinck banyak berbicara dari sisi sejarah, karena memang ini bidangnya, sudah cukup bukti bahwa sains Islam itu pernah ada dan berjaya. Sains di dunia Islam berbeda dengan sains modern dalam sisi paradigma, dan falsafah dasarnya – meskipun sains modern dikembangkan dari sains di dunia Islam. Jika saintis-saintis Muslim tidak melepaskan paradigm ketuhanan dalam sains, maka sains modern menurut Hossein Nasr sudah kehilangan ‘jejak’ Tuhan.
Acara ini merupakan seri kuliah sains Islam pertama di Indonesia yang menggunakan bahasa Inggris. Kecuali narasumber lokal. Selain Paul Lettinck eri kuliah ini juga diisi oleh pembicara dalam negeri yaitu Dr Hamid Fahmy Zarkasy (Direktur Utama INSISTS) yang membawakan makalah berjudul Worldview Sebagai Landasan Sains Islam, Adnin Armas, MA (mantan Direktur Eksekutif INSISTS) berbicara tentang Fakhruddin Ar-Razi, Dr. Wendi Zarman (Peneliti INSISTS) mengetengahkan Konsep Alam dalam Pendidikan Sains Islam, dan Kandidat Doktor Usep Muhammad Ishaq (Peneliti Institut PIMPIN, Bandung) berbicara tentang Ibn Haitham.
Seri kuliah Islamic science ternyata mendapatkan sambutan luar biasa. Para peserta tidak hanya dari Jakarta dan sekitarnya, tetapi dari Purwokerto, Jogjakarta, Bandung, Surabaya, dan Jombang. Di antara mereka ada yang dari mahasiswa, peneliti, dosen bahkan professor. Beberapa dari mereka memperkenalkan diri dari LIPI dan Balitbang Kemenag. Seorang professor dari fakultas Kesehatan Masyarakat UI aktif mengikuti seri kuliah sampai akhir. Beberapa kali dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Dan rupanya dia cukup respek.
Menurut Paul Lettinck, masih banyak sekali karya-karya saintis Muslim dalam bentuk manuskrip yang tersimpan di perpustakaan di seluruh dunia yang belum dikaji. Ini sebuah tantangan besar, khususnya, ilmuan Muslim saat ini. Lettinck menyarankan karya-karya tersebut dilacak keberadaannya, didata, diedit dan diterbitkan. Setelah itu diteliti, diuraikan isi dan membandingkan dengan teks-teks sejenis dari periode sebelumnya. Untuk melakukan ini, menurut Letticnk diperlukan penguasaan bahasa Yunani (Greek), Latin, Arab dan Inggris. “Banyak proyek yang bisa digarap di bidang ini”, ujar Lettinck.
Dia merupakan orientalis yang objektif melihat sumbangan sains Islam terhadap sains yang berkembangan sejak pencerahan Eropa.
Contohnya Nicolaus Copernicus, mengadopsi karya-karya astronomi para ilmuwan Muslim di Abad Pertengahan. Lettinck mengemukakan bahwa Copernicus bisa saja mengambil ide-ide para astronom Muslim. Isu sejarah ini telah mengemuka sejak lama karena hampir seluruh isiDe Revolutionibus karya Copernicus sangat identik dengan karya Nashiruddin Ath-Thusi, Ibnul Shatir atau bahkan Abu Rayhan Al-Biruni.
Copernicus, dengan karyanya De Revolutionibus di awal abad 16 lalu ialah pionir revolusi sains Eropa. Ia figur paling bertanggung jawab atas wajah sains Barat modern, khususnya dalam astronomi serta kosmologi yang di kemudian hari disempurnakan oleh Galileo dan Isaac Newton.* (BERSAMBUNG)
Penulis adalah Peneliti InPAS