Oleh: Derajat Fitra Marandika
Hidayatullah.com |Dunia pendidikan selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Bahkan, terjadinya perkembangan dari fase masyarakat agraris ke fase masyarakat industri atau dari berbasis teknologi konvensional menuju arah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi seperti saat ini, meniscayakan desain pendidikan untuk selalu menemukan relevansinya dengan perubahan tersebut.
Zaman dahulu, masih banyak sekolah yang menggunakan papan tulis hitam dan kapur sebagai media pembelajaran. Orang-orang pun mesti mencari buku secara manual atau datang ke perpustakaan dan menggunakan peralatan seadanya untuk membuahkan suatu karya tulis.
Namun kini, komputer ataupun gawai telah menjadi media pembelajaran, penyimpan berbagai dokumen, memudahkan pencarian beragam referensi melalui koneksi internet dan fungsi-fungsi canggih lainnya yang memanjakan manusia. Kemajuan teknologi digital kini telah membuat hidup manusia seolah-olah menjadi serba praktis.
Kondisi ini tentunya merupakan suatu tantangan, khususnya bagi seorang guru. Selain harus meningkatkan kompetensi dirinya dengan memetik berbagai manfaat yang ditawarkan kemajuan teknologi digital agar tidak tergilas oleh perkembangan zaman, seorang guru juga harus memperhatikan dampak negatif-nya yang banyak menimbulkan kemunduran kualitas kepribadian ataupun akhlak murid. Banyaknya pelajar, terutama dari sekolah dasar maupun menengah yang terdampak virus gadget di tengah mencuatnya berbagai berita tentang perilaku bolos sekolah, tawuran antar pelajar, perundungan, hamil di luar nikah dan masalah degradasi moral pelajar lainnya, mengindikasikan bahwa kepribadian di kalangan para pelajar masih butuh banyak bimbingan dan teladan khususnya dari para guru di sekolah.
Istilah guru seringkali dikaitkan dengan seorang figur yang digugu dan ditiru. Maka dari itu, seorang guru haruslah mampu menumbuhkan ruh atau jiwa keikhlasan sebagai pribadi berilmu yang mampu mengajarkan ilmunya agar titahnya digugu dan mesti memiliki kesempurnaan moral agar tindakannya menjadi teladan yang ditiru oleh muridnya, atau bahkan oleh masyarakat luas.
Sebagaimana adigium yang popular di kalangan santri menyatakan bahwa dalam pendidikan metode lebih penting dari materi pembelajaran. Namun, ada yang jauh lebih penting lagi dari sekadar metode, yaitu jiwa atau ruh guru. Memang, meningkatkan kualitas dan menumbuhkan jiwa keikhlasan memang bukan perkara mudah.
Dengan perjuangan yang sungguh-sungguh meningkatkan kompetensi diri dan menampilkan kinerja terbaik dalam tugas mendidiknya, seorang guru sedikit banyaknya akan dapat mempengaruhi jiwa muridnya sehingga mampu menjadi pribadi yang baik dan mampu mengembangkan segenap potensinya menjadi kompetensi yang dapat digunakan untuk menghadapi berbagai perubahan dan tuntutan hidup pada masa kini maupun masa yang akan datang.
Kita tahu bahwa kebahagiaan yang sejati adalah daya dorong manusia untuk mau berpikir, bergerak, berjuang, dan bersabar dalam menjalani setiap episode kehidupan. Maka dari itu, upaya seorang guru dalam mendidik murid haruslah sejalan dengan tujuan pendidikan yang menghantarkan umat manusia kepada kebahagiaan yang sejati itu.
Kebahagiaan yang bukan sekadar kebahagiaan sesaat, tetapi kebahagiaan yang dapat dirasai setiap saat, dalam kondisi apapun, pada situasi perkembangan zaman apapun, sepanjang hayat. Kebahagiaan yang kita dambakan itu tiada lain adalah kebahagiaan baik saat hidup di dunia ini maupun kelak di akhirat sana.
Adapun prasyarat utama dan terpenting bagi kebahagiaan seseorang sejatinya adalah ilmu. Namun masalahnya pada era kontemporer ini, akibat konsep-konsep keilmuan yang dikembangkan peradaban Barat sekular, makna ilmu sudah banyak dijauhkan atau bahkan dihilangkan dari nilai-nilai adab.
Implikasinya, terjadilah suatu fenomena yang oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas disebut sebagai the loss of adab (hilangnya adab). Dampak buruk dari fenomena tersebut adalah terjadinya kebingungan atau kekeliruan pemahaman tentang ilmu pengetahuan, efeknya, timbul ketiadaan akhlak yang mulia di kalangan masyarakat, sehingga muncul para pimpinan di berbagai bidang yang sejatinya tidak layak memimpin.
Akhirnya terjadilah kerusakan di berbagai aspek kehidupan. Padahal, ilmu dan adab adalah dua hal yang saling bersepadu dan saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya.
Mengenai kaitan ilmu dan adab, dalam tradisi intelektual Islam telah banyak ulama salaf yang melahirkan karya tentang ilmu dan adab, dengan kajian yang mendalam dan komprehensif. Misalnya Imam Bukhari (194-256 M) menulis Adab al-Mufrad, Imam al Mawardi (w. 450 H) menulis Adab al-Dunya wa al-Din dan Adab al-Wazir, Imam Al Ghazali (450-505 H) menulis kitab Al ‘ilm, dan bab Fatiha al Ulum dalam Ihya ulum al-Din, al Zarnuji (6 H) menulis ta’lim al Muta’allim, dan Syekh Hasyim Asy’ari dalam karyanya Adab al Alim wa al Muta’allim.
Ilmu dan adab adalah inti dari ilmu ‘nafi atau ilmu yang bermanfaat.
Dalam kitabnya, Tadzkirah al-Sami’ wa ‘al Mutakallim fii Adab Al-A’lim wa al-Mutaalim, Ibnu Jama’ah mengutip sebuah kaidah dari Imam Syafi’i yang menjelaskan bahwa tidaklah disebut ilmu, apa yang hanya dihafal, tetapi ilmu adalah apa yang diaktualisasikan dalam bentuk adab yang memberikan manfaat. Menurut Naquib al-Attas, ilmu didefinisikan secara deskriptif sebagai sesuatu yang datang dari Allah SWT dan diperoleh oleh jiwa yang aktif serta kreatif.
Adapun makna adab yang dimaksud dalam hal ini adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasanya segala sesuatu ada dalam suatu hirarki atau rencana susunan berperingkat martabat dan derajat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta. Pengenalan berkaitan dengan ilmu dan pengakuan itu mengimplikasikan amal. Maka pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal. Artinya, pengenalan harus bersepadu dengan pengakuan sebagaimana ilmu harus bersepadu dengan amal. Dengan demikian, dalam konteks ini adab itu sejatinya mencakup ilmu dan amal.
Lebih lanjut, al-Attas menjelaskan bahwa adab dalam Islam bukan hanya ditujukan kepada manusia saja, tetapi juga kepada seluruh alam termasuk alam fisik, alam ruhani, dan ilmu. Selain itu, adab sesungguhnya adalah suatu kelakuan yang harus diamalkan terhadap diri, berdasarkan pada ilmu, sehingga perilaku atau amalan itu bukan saja ditujukan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada makhluk-makhluk lainnya yang merupakan ma’lumat atau atau informasi atau objek-objek ilmu.
Apabila merujuk kepada ilmu, adab terhadap ilmu maknanya adalah mengenali serta mengakui taraf keluhuran dan keutamaan ilmu serta mengupayakan diri supaya mampu memahami dan mendudukkan berbagai macam ilmu, khususnya ilmu-ilmu yang ditekuninya, pada tempatnya yang tepat. Sehingga ilmu-ilmu yang terukir di dalam jiwa manusia menjadi ilmu yang dapat membawa kemanfaatan bagi diri.
Terlebih arus informasi atau ma’lumat ilmu yang seolah tanpa batas di permulaan abad 21 ini telah menandai bahwa manusia sedang memasuki abad pengetahuan. Oleh karena faktor utama penggerak kemajuan di abad ini dalam berbagai aspek kehidupannya adalah pengetahuan, maka guru sebagai sumber daya manusia utama dalam proses pendidikan haruslah mampu membangun diri menjadi insan yang berilmu dan beradab.
Dalam menghadapi perubahan zaman guru harus terus belajar bagaimana memanfaatkan keberlimpahan informasi di era digital ini untuk diolah dan dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi ilmu pengetahuan dan teknologi baru yang dapat membawa kebahagiaan bagi seluruh umat manusia.
Dalam Islam, ilmu, adab, dan kebahagiaan sangat terkait erat dengan pemahaman tentang wahyu Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, wahyu adalah realitas bangunan konsep yang memiliki unsur-unsur yang permanen atau stabil (tsawabit), dan dinamis (mutaghayyirat). Artinya, meskipun perubahan merupakan suatu kemestian yang terjadi di alam semesta, dalam ajaran Islam, perubahan itu bukanlah hakikat dari segala sesuatu. Dengan kata lain, tidak segala hal dapat berubah sesuai perkembangan zaman atau relatif dan harus ditafsirkan secara kontekstual sesuai cara pandang sekular.
Unsur-unsur permanen itu di antaranya adalah keyakinan mendasar yang mencakup prinsip-prinsip dasar agama Islam, baik dalam hal aqidah, syariat, dan akhlak ataupun pandangan hidup yang mendasari dan merangkumi konsep-konsep metafisika, teologi, epistemologi, maupun etika bahkan estetika. Kebenaran Islam hakikatnya telah sempurna, final, dan universal. Agama Islam tidak tunduk pada pemikiran manusia, perubahan zaman, tempat maupun budaya.
Bagi seorang guru yang beriman dan menyadari wahyu adalah realitas dan kebenaran yang datang dari Tuhan. Maka sesungguhnya wahyu bukanlah hasil konstruksi akal pikiran dan imajinasi manusia maupun seluruh makhluk lainnya. Wahyu baginya adalah sumber kebenaran yang membawa pandangan hidup dengan lafaz dan makna yang dapat dipastikan berasal dari-Nya, oleh-Nya, dengan kata-kata-Nya.
Hal ini dapat dibuktikan, sekurang-kurangnya melalui kandungan bahasa dan logikanya, yang intinya dapat dipahami sama oleh seluruh manusia sesuai kadar masing-masing pemahamannya, yakni sebagai pedoman untuk mencapai kebenaran tentang segala realitas yang niscaya secara pasti. Terutama sebagai pedoman yang membimbing manusia ke arah pengenalan dan pengakuan terhadap kedudukan Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud.
Adapun dalam urusan peningkatan kompetensi diri seorang guru di abad pengetahuan, khususnya yang berbasis digital kini, dapat ditempuh dengan beragam cara secara dinamis. Kedinamisan yang dalam hal ini adalah kedinamisan dalam Islam, yakni kedinamisan yang membawa kemanfaatan dan justru mengukuhkan kedudukan unsur-unsur yang permanen itu.
Sebagaimana menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, karya-karya para ilmuwan muslim dalam sejarah peradaban Islam bersifat dinamis dalam arti mencerminkan kegiatan fisik dan pemikiran secara berterusan dalam rangka memecahkan permasalahan sejarah, konsep, dan praktek. Solusi-solusi mereka dapat dikatakan baru. Namun tidak secara fundamental mengubah unsur-unsur permanen. Melainkan memerinci dan memperkuat aspek metafisika, epistemologi, etika, hukum, dan prinsip-prinsip dasar lainnya. Kedinamisan inilah yang menjadi penunjang guru untuk melahirkan berbagai cara meningkatkan kompetensinya, baik kompetensi yang berhubungan dengan pembelajaran atau pedagogik, kompetensi professional, sosial, maupun spiritual, sehingga mampu menguasai dinamika perubahan zaman.
Di abad pengetahuan ini guru dituntut mampu berliterasi dengan baik sehingga mampu menguasai berbagai prinsip, model, strategi, perilaku dan keterampilan pendidikan serta pembelajaran baru yang mesti diterapkan di sekolah, bahkan pesantren, rumah tangga keluarga, dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Apabila memerlukan penjelasan ilmu atau kebenaran yang pasti tentang agama dan inspirasi ilmu sains alam, sosial dan teknologi, telah ada sumber ilmu yang tetap dan bimbingan para otoritas keilmuan Islam, sejak dari Nabi ﷺ, para sahabat Nabi, ulama dari kalangan tabiin, tabiut tabiin hingga para ulama penegak kebenaran sepanjang zaman, tanpa kehilangan cara berpikir kreatif, dinamis dan ilmiah.
Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, konsep pembaharuan namun juga merupakan stabilisasi ini disebut sebagai dynamic stabilism. Dengan semangat dynamic stabilism, setiap insan termasuk seorang guru tidak mesti terjebak dalam kepermanenan yang berlebihan ataupun kedinamisan yang berlebihan sehingga melahirkan totalitarianisme, kejumudan ataupun kebingungan menentukan kebenaran agama secara mutlak seperti dalam paham sekularisme, relativisme, skeptisisme, nihilisme dan semacamnya hingga akhir zaman.
Ilmu sebagai apa yang diaktualisasikan dalam bentuk adab yang memberikan manfaat sejatinya akan mendatangkan iman dan khasyah atau rasa takut kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, sehingga pemiliknya dapat mendekatkan diri kepada-Nya, mengakui keagungan-Nya, dan melahirkan ketundukan serta penghambaan kepada-Nya. Namun ilmu tidak akan dapat dipelajari secara sempurna dan diajarkan oleh guru kepada murid kecuali jika guru tersebut meng-adab-kan diri dan memiliki adab yang tepat, khususnya terhadap diri dan ilmu dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang ilmu yang sedang ditekuninya.
Ilmu tanpa adab ibarat pohon tanpa buah, adab tanpa ilmu ibarat orang yang berjalan tanpa petunjuk arah. Tanpa ilmu dan adab, perjuangan seorang guru dalam dunia pendidikan seperti berjalan tanpa ruh dan makna. Ilmu dan adab adalah sarana bagi seorang untuk menavigasi diri dan murid agar menjadi manusia yang benar-benar berjangkar pada suatu prinsip hidup yang pasti benar dalam menghadapi situasi zaman apapun. Tentu tidak mudah, tetapi bukanlah sesuatu yang mustahil untuk diperjuangkan.*
Pegiat PIMPIN Bandung dan Guru di SMP-MA Inspiratif Al Ilham Bojongsoang Bandung