Oleh: Al-Faqir Muhammad Hanif Alathas, Lc
Hidayatullah.com | HARI-HARI beredar luas video Fadhilatul Habib Ali al-Jufri – hafidzhohullah- yang berisi fatwa beliau tentang hukum mengucapkan Selamat Natal. Fatwa beliau menjadi polemik serta menuai pro kontra di tengah umat Islam Indonesia, khususnya kalangan penuntut ilmu agama.
Awalnya alfaqir sungkan untuk ikut berkomentar dalam hal ini, karena Habib Ali adalah sosok dai yang tidak asing lagi kiprahnya dalam dunia dakwah. Namun seiring derasnya pertanyaan yang masuk ke alfaqir terkait masalah tersebut, maka amanat ilmu mengharuskan alfaqir untuk menyampaikan apa yang harus disampaikan agar selamat dari ancaman Nabi ﷺ bagi mereka yang menyembunyikan ilmu.
Tentunya, tulisan ini hanyalah corat-coret ilmiah, tanpa mengurangi rasa hormat, ta’dzhim dan mahabbah alfagir kepada beliau. Harap dibaca dengan seksama dan utuh, agar dapat dipahami dengan baik.
Pertama, Habib Ali al-Jufri memandang boleh mengucapkan Selamat Natal, beliaupun akan mengucapkannya pada tanggal 25 desember mendatang, namun beliau menjelaskan bahwa mayoritas Ulama mengharamkan ucapan selamat (tahni’ah) atas hari raya orang kafir, hanya saja menurut beliau dalam mazhab Hanbali ada 3 pendapat dalam hal ini, yaitu; Haram, Makruh, Mubah. Sehingga ini menjadi khilaf yang mu’tabar dan selama khilaf mu’tabar tidak boleh di-inkari.
Sejauh mana kebenaran dari penjelasan Habib Ali tersebut?
Sudah tepat apa yang disampaikan Habib Ali bahwa mayoritas Ulama mengharamkan ucapan selamat hari raya bagi non Muslim, bahkan dalam Mazhab Syafi’i, Muslim yang mengucapkan selamat hari raya kepada kafir dzimmi diberikan ta’ziir/sanksi [lihat : Mughni al-Muhtaj 4/162, an-Najmu al-Wahhaj 9/244]. Semua ibaroh ulama tentang keharaman ucapan Selamat Natal dari berbagai referensi otoritatif 4 mazhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali dimuat secara akurat, gamblang dan sistematis oleh al-Allamah as-Syeikh Dr. Abdunnashiir Ahmad al-Malibari as-Syafi’I dalam kitabnya “Roddu al-Aughood ‘an Muwalaati al-Kuffar wa at-Tasyabbuh bihim wa Tahni’atihim bil A’yad”, terlalu panjang jika harus saya kutip di sini satu per satu.
Yang menjadi tanda tanya besar, apa benar yang Habib Ali jelaskan bahwa ada pendapat dalam mazhab Hanbali yang bolehkan ucapan Selamat Natal?
Beliau mengatakan bahwa pendapat tersebut dikutip dari kitab al-Inshof karya al-Imam al-Mardaawi, berikut redaksi aslinya :
[قوله (وفي تهنئتهم وتعزيتهم وعيادتهم: روايتان) وأطلقهما في الهداية، والمذهب، ومسبوك الذهب، والمستوعب، والخلاصة، والكافي، والمغني، والشرح، والمحرر، والنظم، وشرح ابن منجا. إحداهما: يحرم. وهو المذهب. صححه في التصحيح. وجزم به في الوجيز، وقدمه في الفروع والرواية الثانية: لا يحرم. فيكره. وقدمه في الرعاية، والحاويين، في باب الجنائز. ولم يذكر رواية التحريم. وذكر في الرعايتين، والحاويين رواية بعدم الكراهة. فيباح وجزم به ابن عبدوس في تذكرته. وعنه: يجوز لمصلحة راجحة، كرجاء إسلامه. اختاره الشيخ تقي الدين. )الإنصاف في معرفة الراجح من الخلاف للمرداوي 4/ 234)]
Pada redaksi ini pengarang/muallif menjelaskan tentang hukum tahni’ah (beri ucapan selamat) kepada orang kafir dzimmi, begitu pula hukum bertakziah dan menjenguk mereka ketika mereka sakit, dalam hal ini ada tiga pendapat dalam mazhab Hanbali; haram, makruh, dan mubah. Pendapat ketiga (mubah) diunggulkan oleh Syekh Ibnu Taimiyyah jika ada motiv sebuah kemaslahatan dan diharapkan bisa masuk Islam.
Namun timbul lagi pertanyaan, di situ hanya disebutkan “tahni’ah” yang artinya ucapan selamat, tanpa embel-embel “tahni’ah kuffar bil ‘iid”, selamat atas hari raya kuffar/natal, dll. Lantas apa yang dimaksud dengan “ucapan selamat” dalam masalah di atas?
Ternyata yang dimaksud “tahni’ah” dalam ibaroh kitab “al-Inshof” di atas bukan Tahni’ah bi ‘idil Kuffar/ucapan selamat atas hari raya orang kafir atau natal sebagaimana yang dijelaskan Habib Ali al-Jufri, namun lebih tepatnya memberikan ucapan selamat dalam perkara-perkara duniawi, seperti selamat atas kelahiran anaknya, selamat atas rumah barunya, selamat atas kesuksesan bisnisnya, dll.
Hal ini bisa dipahami dari keterangan ulama Hanabilah dalam kitab-kitab lainnya, sebab karakter kitab-kitab fiqih itu saling melengkapi satu sama lain. Keterangan tersebut dapat ditemukan secara implisit dalam Kitab “Al-Muharror” karya Majduddin Ibnu Taimiyyah al-Jadd dan secara eksplisit dalam kitab “Ahkam ahli dzimmah” karya Ibnu al-Qoyyim, yang mana keduanya merupakan ulama yang banyak dijadikan rujukan dalam mazhab Hanbali. Berikut redaksinya :
[وفي جواز تهنئتهم وتعزيتهم وعيادتهم روايتان ويدعى لهم إذا أجزناها بالبقاء وكثرة المال والولد ويقصد به كثرة الجزية – إلى قوله – ويمنعون من إظهار المنكر وضرب الناقوس وإظهار أعيادهم (المحرر في الفقه على مذهب الإمام أحمد بن حنبل 2/ 185) ]
[ فصل، في تهنئتهم بزوجة أو ولد أو قدوم غائب أو عافية أو سلامة من مكروه ونحو ذلك، وقد اختلفت الرواية في ذلك عن أحمد فأباحها مرة ومنعها أخرى، والكلام فيها كالكلام في التعزية والعيادة ولا فرق بينهما، ولكن ليحذر الوقوع فيما يقع فيه الجهال من الألفاظ التي تدل على رضاه بدينه، كما يقول أحدهم: متعك الله بدينك أو نيحك فيه، أو يقول له: أعزك الله أو أكرمك إلا أن يقول: أكرمك الله بالإسلام وأعزك به ونحو ذلك، فهذا في التهنئة بالأمور المشتركة. وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم، فيقول: عيد مبارك عليك، أو تهنأ بهذا العيد، ونحوه، فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات، وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب، بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. (أحكام أهل الذمة 1/ 441)]
Dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa apa yang disampaikan Habib Ali jufri tentang adanya pendapat dalam mazhab Hanbali yang membolehkan ucapan Selamat Natal adalah keterangan yang Tidak Tepat, sebab yang disebutkan oleh al-Mardawi dalam kitabnya al-Inshof bukan masalah Ucapan Selamat Natal, akan tetapi hanya sekadar Ucapan Selamat, yang kemudian dijelaskan dalam kitab Mazhab Hanbali lainnya bahwa maksudnya adalah Ucapan Selamat Dalam Perkara Duniawi sebagaimana dijelaskan di atas, adapun ucapan Selamat Natal secara spesifik dan eksplisit disebutkan keharamannya dalam keterangan kitab mazhab Hanbali di atas. Justru jika ditelaah lebih dalam, Mazhab Hanbali dalam hal ini sangat keras, jangankan Muslim mengucapkan Selamat Natal, menurut mereka, orang Nasranipun dilarang menampakkan syiar hari raya mereka, itu dalam Mazhab Hanbali.
Karenanya, secara otomatis gugurlah klaim beliau bahwa qoul dalam mazhab Hanbali ini adalah pendapat otoritatif / mu’tabar dari mutaqoddimin yang memperbolehkan ucapan Selamat Natal.
Kedua, adapun ungkapan Habib Ali terkait dalil yang dijadikan sandaran para ulama mutaqoddimin dalam mengharamkan ucapan Selamat Natal, maka menurut kacamata Ushul Fiqih tugas kita dan beliau sebagai muqollid hanya mengikuti apa yang para mujtahid tuangkan dalam berbagai referensi fiqih yang mu’tabar selama masalah yang dipertanyakan dimuat dalam kitab-kitab mereka. Kita belum sampai kapasitas mufti terlebih mujtahid dengan berbagai tingkatannya yang bisa langsung melahirkan hukum dari dalil serta mengutak atik qiyas.
Bahkan, saya teringat keterangan Syaikhuna al-Allamah al-Ushuli Muhammad al-Amin as-Syinqithi al-Maliki al-Hasani (yang juga merupakan guru dari Habib Ali al-jufri), beliau menjelaskan bahwa tatkala kita mengkaji dalil dari hukum yang kita ikuti dari seorang mujtahid, pada hakikatnya kita masih pada taraf mengira-ngira saja, adapun kumpulan dalil yang pada hakikatnya dijadikan dasar hukum oleh mujtahid yang kita ikuti, hanya beliau yang mengetahui, karena sudut pandang dalil yang mujtahid tidak ungkapkan seringkali jauh lebih banyak ketimbang yang diungkapkan, bahkan terkadang mujtahid tidak ungkapkan dalil yang ia gunakan sama sekali, meskipun ijtihadnya pasti berlandaskan dalil, karena tidak ada keharusan bagi Imam Mujtahid untuk menyampaikan dalil kepada para pengikutnya.
Ketiga, sebagai penutup, saya ingin sampaikan sebuah perumpaan, saya tidak berani menyebut ini sebagai dalil syari, hanya pendekatan logika agar mudah dipahami. Jika ada seseorang minum khamar, tentu tak mungkin kita ucapkan selamat padanya atas khamar yang ia minum, karena sama saja memberikan selamat atas sebuah kemunkaran. Begitu pula, jika ada yang kumpul kebo, tak mungkin kita ucapkan padanya; selamat kumpul kebo, karena kita tau kumpul kebo itu adalah kemunkaran.
Dalam pandangan umat kristiani, Natal adalah hari lahirnya Yesus sebagai Anak Tuhan, sedangkan menjadi harga mati bagi seorang Muslim bahwa Allah tidak bisa dan tidak boleh disekutukan, lantas kenapa kita memberikan selamat atas hari yang diyakini sebagai penyekutuan Allah, padahal dalam kacamata kita itu adalah kemunkaran terbesar? Di situ ada “Syubhatul Iqror” seolah ada pemberian restu atas keyakinan, meskipun kita tidak berniat dan meyakini demikian! Yang membuat saya terus bertanya-tanya, mengapa Habib Ali al-Jufri menganggap “Syubhatul Iqror” itu hanya ada di zaman dulu, padahal di zaman sekarang, dengan derasnya penyebaran paham pluralisme yang meyakini semua agama itu sama, justru “Syubhatul Iqror” menjadi semakin kuat, apalagi di Indonesia sedang digiring bahwa menganggap agama di luar Islam sebagai “kafir’ adalah tindakan intoleran dan merasa benar sendiri. Jika syubhatul iqror itu dianggap sebagai illat hukum, maka keberadaan illat itu semakin kuat dan nyata di tengah derasnya penyebaran pluralisme, bukan malah hilang.
Keempat. Saya sangat setuju dengan Sayyidil Habib Ali al-jufri bahwa kita harus menjunjung tinggi toleransi dan sebagaimana saya setuju ajakan beliau untuk berbuat al-birr (kebaikan) kepada non-Muslim yang tidak harbi. Namun toleransi dan al-birr tidak harus dengan mengucapkan Selamat Natal. Di -Indonesia, dari dulu kita hidup damai penuh toleransi dengan kaum Nasrani tanpa mengucapkan Selamat Natal, no problem.
Toleransi dan al-birr diiwujudkan dengan tidak menggangu ibadah satu sama lain, saling bahu membahu membangun bangsa dan melakukan aksi kemanusiaan, saling memenuhi hak dan kewajiban, dll, tanpa harus melanggar apa yang telah digariskan oleh Aslafuna Solihin. Sekali lagi, tulisan ini saya buat tanpa mengurangi rasa cinta, hormat, dan ta’dzhim saya kepada Habib Ali al-Jufri, semoga Allah berikan beliau umur yang panjang serta sehat wal afiat dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Wallahu a’lam.*
Ketua Umum Front Santri Indonesia